JAKARTA – Secara harafiah, broken heart berarti patah hati yang ternyata secara medis bisa memicu penyakit jantung. Bagaimana bisa? Seperti yang diketahui secara umum, bahwa stres atau mengalami tekanan baik pada pikiran maupun pada fisik bisa menurunkan kesehatan tubuh.
Broken heart syndrome, dilansir Cleveland Clinic, Rabu, 15 Desember, memiliki gejala yang mirip dengan serangan jantung. Meskipun berbeda tetapi gejalanya sama, antara lain mengalami sesak napas dan nyeri dada. Namun pada broken heart syndrome, tidak mengalami penyumbatan arteri koroner ataupun kerusakan jantung permanen.
Broken heart syndrome disebut juga dengan stres kardiomiopati atau takotsubo cardiomyopathy. Takotsubo adalah sebutan di Jepang untuk perangkap gurita dengan bagian bawah yang lebar dan leher yang sempit. Bentuknya menyerupai ventrikel kiri jantung yang tertekan seperti pada broken heart syndrome.
Sindrom yang menyebabkan penyakit yang mirip dengan serangan jantung ini dipicu stres emosional dan fisik. Seperti kesedihan karena kematian orang yang dicintai, perasaan kehilangan, kabar buruk, ketakutan yang intens, kemarahan yang ekstrim, bahkan menerima kabar baik pun bisa jadi pemicunya.
Disamping peristiwa yang memicu stres emosional di atas, masalah kesehatan tertentu juga bisa meningkatkan risiko broken heart syndrome, seperti peristiwa fisik yang melelahkan, serangan asma, dypnea, kejang, stroke, demam tinggi, hipoglikemia, kehilangan banyak darah, dan operasi.
Dalam banyak kasus, broken heart syndrome ini tidak memicu semakin parah. Artinya hanya 1 persen dari seluruh orang yang pernah mengalami broken heart syndrome meninggal dunia. Rata-rata, kondisi jantung tidak normal karena stres emosional dan fisik dialami wanita. Sejumlah 88 persen penderita broken heart syndrome adalah wanita setelah menopause dalam rentang usia 58-77 tahun.
BACA JUGA:
Apa penyebab broken heart syndrome pada jantung? Gejala yang dijelaskan di atas, ternyata tidak diketahui secara pasti penyebabnya. Para ahli berpikiran bahwa hormon-hormon stres, seperti adrenalin, noradrenalin, epinefrin, dan norepinefrin, bisa mengganggu fungsi jantung dan paling masuk akal menjadi pemicu broken heart syndrome.
Menurut ahli, broken heart syndrome bisa mengganggu ritme jantung yang mulanya normal menjadi tidak stabil. Selain itu, menyebabkan bagian dari jantung membesar sementara waktu dan menyebabkan kontraksi yang lebih kuat di jantung area lainnya. Perubahan tersebut memicu terjadi kegagalan otot jantung dalam memompa darah.
Tanda-tanda broken heart syndrome, meliputi nyeri dada yang parah, sesak napas, ventrikel kiri jantung melemah, cairan menumpuk di paru-paru, dan tekanan darah rendah. Broken heart syndrome juga memicu komplikasi meskipun jarang terjadi. Oleh karena serangan ini tidak terduga dan bersifat sementara, maka sangat disarankan untuk melakukan cek kesehatan secara rutin.
Nah, sebagai langkah pencegahan, ahli menyarankan untuk mempelajari dan menjalani manajemen stres serta teknik pemecahan masalah yang membantu menurunkan tingkat stres fisik dan emosional.
Misalnya dengan teknik-teknik relaksasi seperti yoga, meditasi, menulis jurnal, dan membiasakan mindfulness. Disamping itu, perlu menjalani pola hidup sehat untuk menyokong kesehatan secara keseluruhan.