Misi Penyelamatan Marwah Mahkamah Konstitusi
Ilustrasi Gambar karya Ilham dan Andri winarko VOI

JAKARTA - Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie membacakan putusan nomor 2/MKMK/L/11/2023 terkait laporan pelanggaran etik hakim dengan terlapor Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman. Jimly menegaskan MKMK tidak punya wewenang lebih jauh untuk mengubah putusan yang telah ditetapkan mahkamah konstitusi.

MKMK yang dipimpin mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie dan dua anggota Bintan Saragih dan Wahidudddin Adam direncananya menjatuhkan putusannya hari ini. Apakah tentang pelanggaran etik itu akan berimbas pada putusan uji materi pasal 169 Huruf q UU No.7/2017 atau dikenal dengan Putusan 90 /PUU-XII/2023 yang dikecam banyak pihak. Lalu bagaimana bagaimana nasib pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden di Komisi Pemilihan Umum, apakah juga bermasalah. Inilah yang menjadi tanya banyak orang.

MKMK telah memeriksa sedikitnya 21 pengaduan pelanggaran etik hakim MK terkait putusan No.90/PUU-XII/2023 tentang batas usia capres/cawapres. Gugatan itu antara lain datang dari PBHI, Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia, Persatuan Advokat Demokrasi Indonesia (PADI), BEM Universitas Nahdlatul Ulama, 16 Guru Besar Tata Negara yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS), LBH Yusuf, dan Denny Indrayana, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak perorangan yang mengajukan, tentang keterlambatan pembentukan MKMK oleh MK, gugatan pelanggaran etik ditujukan kepada Hakim Ketua Anwar Usman.

Laporan pelanggaran etik tidak hanya ditujukan kepada Ketua Hakim Anwar Usman, tetapi terhadap ke 9 hakim MK yang memutus perkara pengujian Pasal 169 huruf q UU 7 /2017. Dalam pelaporan itu Ketua Hakim Aswar Usman mendapat pengaduan hingga 14 pengaduan, sedang hakim Guntur Hamzah dan Manahan Sitompul masing 5 pengaduan, hakim Saldi Istra dan Arif Hidayat 3 pengaduan, hakim Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmik masing-masing 3 pengaduan, serta Hakim Suhartoyo dan Wahiduddin Adam yang menjadi salah anggota Majelis Kehormatan, masing masing mendapat 1 pengaduan.

Salah satu pengaju gugatan Pelanggaran Etik itu, Denny Indrayana meyakini bahwa gugatan itu bisa juga memperbaiki putusan 90. Selain meminta MKMK memutus pelanggaran etik, karena merusak kewibawaan dan kehormatan Mahkamah Konstitusi sehingga ia minta Anwar Usman dijatuhi hukuman berat berupa pemberhentian dengan tidak hormat.

Menurut Mantan Wakil Menkumham di masa Presiden SBY, MKMK juga dapat melakukan ataupun memerintahkan koreksi atas Putusan 90 yang cacat dan tidak dapat ditoleransi. Demikian kesimpulan dari pengajuan Pelanggaran Etik Denny.

Terkait apa putusan yang akan diambil Ketua Majelis Kehormatan Jimly Asshiddiqie, pendapat masyarakat juga terbelah. Ada yang meyakini putusan itu bisa berimplikasi pada Putusan 90. Ada juga kelompok yang meyakini putusan MKMK, hanya sebatas memutus pelanggaran etik hakim dan tidak akan berimbas pada pencalonan Gibran.

Bivitri Susanti, salah satu pihak yang mengajukan gugatan pelanggaran etik, menyadari kewenangan MKMK hanya memutus perkara atau perilaku tidak etis dari hakim seperti yang dilaporkan.

Tapi memang kami para pengaju gugatan, semua meminta agar ada putusan lain dari MKMK. Demi melihat kerusakan yang terjadi dari putusan 90 MK, "Putusan itu telah merusak tatanan hukum Indonesia," katanya. Sebenarnya menurut dia, ada alternatif lain, kalau nantinya MKMK menyatakan keputusan tidak sah. Ada aturan UU MK bahwa jika satu hakim yang memiliki benturan kepentingan maka putusan dinyatakan tidak sah. Tapi siapa yang menguji itu? memang tidak bisa langsung ada harus proses pengkajian ulang.Sidang MKMK (Dafi VOI)

Bivitri berharap MKMK atau Jimly, membuat sejarah baru terobosan hukum karena negara saat ini membutuhkan. Ibaratnya anda yang memegang sejarah itu. mereka memikirkan tentang nasib negara hukum kedepannya, ini bukan soal Gibran. ini untuk masa depan hukum dan negara hukum ke depan.

Pendapat senada juga disampaikan Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Bhayangkara, Prof. Juanda, saat berbicara di acara Sapa Indonesia KompasTV, pekan lalu, menurutnya penerapan Kekuasaan Kehakiman seharusnya tidak hanya untuk hakim di bawah kekuasaan MA, tetapi juga untuk Hakim Konstitusi. Tetapi dalam UU Mahkamah Konstitusi hakim Konstitusi berada di luar itu. Tetapi seharusnya sepanjang belum ada ketentuan yang mengatur itu, aturan itu diberlakukan juga untuk hakim konstitusi.

Memang putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan yang memiliki ciri-ciri dan karakter khusus, dimana tidak ada lagi upaya hukum lain. Ini memang problematik hukum kita secara norma dan hukum positif. Jika nanti bisa dibuktikan ada pelanggaran, secara akademis harusnya putusan bisa dianggap putusan tidak sah.

Masalahnya, kata Juanda, secara norma hukum belum ada yang mengatur ini. Dalam kasus ini saya sebagai dosen ingin melihat hukum itu lebih tinggi norma atau keadilan, meski tidak ingin melihat itu dikonfrontasi. Tapi jika secara norma itu bertentangan. Secara norma hukum yang saya pahami harusnya mengikuti keadilan. "Jika norma bermasalah tidak bisa norma itu serta merta bisa diberlakukan walau dalam norma putusan itu mengikat final dan binding.

Ini lah yang jadi persoalan, kedepan saya usul jika itu menyangkut persoalan maja, persoalan negara, bangsa makna maknaf final dan binding itu ada pengecualian

"Jadi bisa dikatakan jika putusan dinyatakan cacat tidak benar, implikasinya pembatalan keputusan,' ujar Juanda.

Hal senada juga disampaikan Guru Besar Hukum Tata Negara Unsoed Muhammad Fauzan. Menurutnya berdasarkan putusan hukum positif putusan yang sudah dibacakan dalam sidang pleno yang terbuka maka putusan berlaku final dan binding. Persoalannya jika keputusan diambil oleh hakim hakim yang ternyata melakukan pelanggaran etik serius dan dijatuhi hukuman berat, putusan itu menjadi tidak memiliki legitimasi moral.

Dalam kondisi ini saya membayangkan ada terobosan terobosan hukum, karena hukum positif sekalian, landasannya moral, diatas hukum ada moral: Meski hukum positif kurang baik, tetapi dilaksanakan dengan hakim yang memiliki moral yang baik itu akan bisa mendekati keadilan.

Menanggapi polemik putusan MK, menurut Fauzan sebenarnya jika saja putusan MK itu diberlakukan untuk pemilu tahun depan 2029, mungkin tidak akan menimbulkan polemik, Tapi ini terkesan mendadak dan tergesah gesah itu yang memancing reaksi masyarakat.

Soal kedepan mempertimbangkan kembali putusan MK yang mengikat dan final itu ditinjau jika putusan tersebut dilatarbelakangi hal hal yang bertentangan dengan moral dan pelanggaran etik, saya merekomendasikan MKMK putusan bisa ditinjau kembali, melalui mekanisme putusan oleh majelis kehormatan, karena sudah banyak kasus sejenis misalnya putusan hakim yg kemudian hakimnya dinyatakan sebagai tersangka , karena suap." saya membayangkan kedepan selain MKMK memutus sanksi atas pelanggaran etik, lebih jauh bisa memutuskan meninjau kembali hasil putusan mereka

Denny Indrayana sendiri memprediksi empat kemungkinan putusan MKMK yang akan terjadi pertama, MKMK hanya me pelanggaran etik memberi sanksi etik tidak keluar dari itu artinya hakim terlapor hanya diberikan saksi berat berupa pemberhentian tidak hormat. Opsi Kedua, selain pemberhentian tidak hormat MKMK menyatakan putusan 90 tidak sah. Opsi ketiga, selain memberhentikan secara tidak hormat, MKMK minta MK memeriksa kembali perkara 90 dan memberi ruang perbaikan tanpa memeriksa permohonan baru. Opsi keempat, selain memutus pelanggaran etik dengan sanksi pemberhentian tidak hormat, MKMK juga memerintahkan MK untuk melakukan perbaikan. dengan pemeriksaan permohonan yang baru, yang saat ini sudah ada beberapa permohonan yang masuk ke MK

Menolak Putusan Diotak-atik

Sejumlah pakar Hukum Tata Negara mendorong dorong agar MKMK, memutuskan lebih jauh tidak sekedar memutus persoalan pelanggaran etik semata, Termasuk meninjau tentang keabsahan putusan No 90/PUU-XXI/2023 yang sudah diimplementasikan dalam pencalonan di KPU.

Sebagian pihak menentang kemungkinan MKMK mengotak-atik putusan 90, yang telah final dan binding. Politisi Partai Gerindra Habiburrahman, mengatakan ada bermacam pihah, selain kelompok memang mengkritik kebijakan.

Tapi ada juga pihak yang ingin memanfaatkan kasus ini untuk entri poin menggagalkan pencapresan mas Gibran. Saya duga ada dua cara menjegal, salah satunya dengan menyerukan penggunaan hak angket. Ini tidak lazim dan bisa digunakan untuk membatalkan putusan MK. Kedua mendorong putusan pelanggaran etik ini, untuk membatalkan putusan MK. Ini tidak sejarahnya ada putusan Etik bisa membatalkan putusan MK.

Dia menyebut preseden yang pernah terjadi di MK terkait pemberlakuan putusan NK. Pertama, kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan ketua MK waktu itu Akil Mochtar, yang mengadili perkara PHPU, belakangan diketahui menerima suap, perkara Akil Mochtar yang berkekuatan hukum tetap, tetapi tak bisa membatalkan putusan MK terkait putusan tersebut. Kedua, Juga Kasus Patrialis Akbar yang mengadili perkara PU (Pengujian UU), UU yang diuji adakah UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. ini telah diputus dan inkrah tetapi tidak bisa mengubah putusan MK.

Habiburrahman meyakini MKMK tak akan memutus untuk membatalkan putusan MK 90, sehingga mereka pun menyatakan tidak menyiapkan pengganti calon sama sekali.

Terbukti Langar Etik, Anwar Usman Dipecat

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie membacakan putusan nomor 2/MKMK/L/11/2023 terkait laporan pelanggaran etik hakim dengan terlapor Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman. Jimly menegaskan MKMK tidak punya wewenang lebih jauh untuk mengubah putusan yang telah ditetapkan mahkamah konstitusi.

Anwar Usman (Antara)
Caption

MKMK berpendirian menolak atau sekurang-kurangnya tidak mempertimbangkan isu dalam laporan dugaan pelanggaran Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sepanjang berkaitan dengan permintaan Pelapor untuk melakukan penilaian.

"Majelis Kehormatan tidak berwenang menilai putusan Mahkamah Konstitusi, in casu putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023," kata Jimly di gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa, 7 November.

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyebut pihaknya tak bisa mengubah kembali atau mengoreksi putusan MK mengenai batas usia capres-cawapres. Meskipun, semua hakim konstitusi menerima sanksi. Artinya, putusan MK yang membolehkan kepala daerah belum berusia 40 tahun untuk maju sebagai capres-cawapres masih berlaku.

Dalam hal ini, MKMK menjatuhkan sanksi kepada semua hakim MK karena terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi akibat bocornya informasi rahasia dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH) putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Jimly berharap semua pihak bisa menerima hasil putusan yang akan dibacakan. Jimly pun menegaskan bahwa Indonensia, sebagai negara hukum harus membangun tradisi hormat pada pengadilan dan putusannya.

"Harapannya saudara-saudara nanti bisa terima ini, nanti, keempat putusan ini. Tidak semua saudara puas, kan putusan pengadilan begitu. Tidak memuaskan semua pihak," kata Jimly

Yang lebih penting, Jimly berharapagar putusan ini memberi ketenangan kehidupan politik kita menuju Pemilu 2024.

"Karena itu kita tidak boleh berlarut-larut atau membiarkan diri kita berlarut-larut dengan segala macam soal tetek bengek. Begitu, yah. Sekarang semua fokus menyukseskan pemilu itu," kata dia.


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)