JAKARTA - Berbicara tentang Jakarta, beberapa kata pasti tersirat di kepala. Salah satunya adalah 'macet'. Ini merupakan kondisi yang dialami hampir seluruh lapisan masyarakat Ibu Kota. Terlebih, Jakarta juga memiliki segudang masalah. Banjir misalnya. Sehingga masyarakat harus memutar otak untuk menghadapi permasalahan yang ada.
Dengan masalah di Jakarta yang seolah tak terselesaikan, tentu berdampak buruk bagi masyarakat. Bukan hanya sisi materil, psikologi pun seolah terserang. Tingkat stres di Jakarta pun melonjak tinggi.
Stres, tentu akan mengarah soal penyakit gangguan kejiwaan. Depresi hingga yang sering kita sebut 'gila' merupakan bagian di antaranya. Banyak anggapan jika para penderita gangguan kejiwaan merupakan hal buruk. Bahkan, tak jarang dianggap sebagai aib bagi keluarga. Kasus pemasungan pun kerap terdengar terjadi di beberapa daerah.
Pandangan negatif kepada para penderita gangguan kejiwaan, muncul karena kurangnya informasi. Terlebih, masyarakat hanya tahu jika 'gila' adalah penyakit orang-orang tak terurus dan kerap berkeliaran di jalan.
VOI mencoba untuk merasakan apa yang dianggap sebagian orang sebagai hal aneh, yaitu berdampingan dengan para penderita penyakit gangguan kejiwaan. Rumah Sakit Dr. Soeharto Heerdjan atau lebih dikenal RSJ Grogol jadi tempat yang kami pilih. Warga Jakarta pasti tak asing dengan tempat itu. Walaupun tak pernah mendatangi atau melihat, setidaknya kuping mereka pernah mendengarnya.
Namun, mayoritas masyarakat Jakarta menganggap rumah sakit jiwa merupakan hal yang tabu. Sehingga, keberadaannya seolah tak dipedulikan.
Rabu, 18 Desember, kami pilih sebagi hari baik. Meski sebetulnya tak ada korelasinya dengan kunjungan kami ke sana. Saat itu, mentari belum lama bersinar. Sekitar pukul 08.00 WIB tepatnya.
Setibanya di Rumah Sakit, tanpa sengaja kami disambut dengan sekelompok orang yang berbaris rapi sembari berlari kecil. Tepatnya di depan pintu masuk rumah sakit. Mereka mengenakan seragam olahraga berwarna putih dengan gradasi biru. Entah siapa mereka.
Kemudian kami melanjutkan perjalanan. Memarkir kendaraan dan lanjut bertemu dengan petinggi rumah sakit. Tentunya untuk mengantongi izin peliputan. Sekitar setengah jam perbincangan dengan Direktur Utama Rumah Sakit rampung, kami diberikan izin untuk mencari tahu dan merasakan beraktivitas bersama para penderita gangguan kejiwaan.
Jujur, kami lega bisa diberi izin, tapi rasa takut juga menyelimuti hati. Orang-orang yang berteriak tak jelas, ngobrol sendiri, hingga marah-marah tanpa sebab membuat terbayang di dalam pikiran; takut menjadi sasaran mereka.
Perjalanan menyusuri rumah sakit dimulai. Kami tak sendirian, perempuan cantik berhijab menemani untuk melihat dan merasakan aktivitas para penderita gangguan kejiwaan. Namanya Ananditya. Agar lebih akrab, kami memanggilnya Dokter Ana. Dia merupakan Kepala Instalasi Rehabilitasi Psikososial. Kami diajak berkeliling dan berinteraksi dengan pasien di sana. Menyusuri lorong, tempat pertama yang dituju adalah ruang lukis.
Di ruangan yang cukup besar dengan ukuran luas sekitar 15 meter itu, kami diperlihatkan hasil lukisan para pasien. Gambar pemandangan hingga abstrak dengan berbagai warna.
Pertanyaan yang ada di pikirkan kami adalah, bagaimana bisa mereka menggambar seperti itu. Sebab, lukisan-lukisan itu cukup bagus dan sedap dipandang mata.
Hanya saja, setelah melihat satu persatu lukisan. Kami tertuju dengan satu gambar yang ditempatkan paling atas di antara lukisan lainnya. Hanya ada tiga warna pada lukisan itu, hitam, putih, dan agak kecokelatan. Tapi bukan itu alasannya kenapa lukisan itu menarik perhatian.
Gambar pada lukisan itu adalah seorang yang sedang bersedih. Air mata jelas terlihat jatuh membasahi pipi. Seolah ada sesuatu hal yang dirasakan si pelukis. Kami pun bertanya, siapa pelukis gambar itu?
Tapi pertanyaan itu tak terjawab. Alasannya, karena si pelukis sudah tidak lagi dirawat saat dokter Ana bekerja di rumah sakit. Hanya saja dikatakan, melukis adalah salah satu metode untuk mengetahui suasana hati pasien.
"Bisanya kalau sedang sedih, pasien itu menggambar dengan warna-warna gelap. Tapi sebaliknya, jika senang warna yang dipilih lebih cerah dan gambarnya sendiri lebih mendekati ke objek asli," kata Ana.
Pembahasan soal lukisan memang cukup seru, tapi diputuskan berpindah ke tempat lainnya. Aula besar menjadi tujuan selanjutanya. Di sana belasan pasien terlihat duduk rapi. Tangan mereka terlipat di atas meja kayu panjang.
Awalnya, kami merasa takut. Terpikir jika nanti menjadi sasaran kemarahan mereka. Tapi itu semua hilang sedikit demi sedikit. Sebab, yang terjadi justru tidak seperti perkiraan kami.
Mereka lebih tenang dan mengikuti semua arahan dari petugas rumah sakit. Konteks penderita gangguan kejiwaan sama sekali tak terlihat. Bahkan, salah seorang di antara mereka mengabsen rekan-rekannya.
Sadar dengan rasa heran kami, dokter Ana pun tersenyum. Dia menjelaskan jika pasien yang ada di aula itu merupakan penderita gangguan kejiwaan yang sudah lebih bisa mengontrol diri. Dengan sedikit tertawa, kami membalas, itu semua di luar perkiraan yang sudah ada sebelumnya.
Namun, rasa penasaran masih ada di hati. Kami meminta untuk melihat pasien lainnya. Dokter Ana membawa kami ke lokasi yang disebut ruang rawat inap. Kedua kaki pun melangkah. Mengikuti arah yang dituju. Lorong berkelok pun dilalui. Hingga akhirnya, ada pintu besi yang terkunci tepat di hadapan kami.
Seorang petugas diminta untuk membuka pintu besi itu. Persimpangan telah menyambut. Arah kiri jadi jalan yang kami ambil. Kemudian, kaki kami kembali melangkah.
Lima meter dari pintu besi, bangsal atau lebih mirip dengan kamar terlihat. Namun, kondisi berbeda sangat jelas terlihat. Jeruji besi mengelilingi tempat itu. Ternyata, lokasi tersebut merupakan tempat rehabilitasi bagi para penderita gangguan kejiwaan yang dianggap parah.
Konteks parah bukan berarti tidak bisa diobati. Lebih kepada pasien yang baru dirawat dan baru masuk tahap observasi. Di sana juga terlihat banyak petugas rumah sakit yang menemani para pasien.
"Di sini ada 13 bangsal lah ya kita sebutnya. Di sini juga untuk pasien yang harus kita assesment dulu," kata Ana.
Sayangnya, kami dilarang mengambil gambar di lokasi tersebut. Alasannya, pihak keluarga pasien tidak berkenan dengan hal itu. Sehingga pihak rumah sakit harus memenuhinya.
Meski demikian, di sana lebih terasa situasi yang sebelumnya kami pikirkan. Beberapa pasien ada yang berbicara sendiri. Bahkan, ada pasien pria yang terlihat hanya berdiri di depan pagar besi. Selain itu, para pasien di lokasi itu juga terlihat mengenakan pakaian dengan warna senada, yaitu, baju biru dan celana putih.
Di sudut lokasi itu, juga terlihat beberapa pasien pria yang dikumpulkan. Tiga sampai empat petugas ikut mendampinginya. Tepatnya, mereka sedang menjalani metode penyembuhan. Mengasah dan mengembalikan pola pikir para pasien jadi tujuannya.
Kami tak berlama-lama di sana, menyusuri lorong beralas ubin putih kembali dilakukan. Melihat satu per satu kegiatan para pasien lainnya. Dapur pun disinggahi. Di sana ada beberapa pasien yang diajar memasak.
Memotong wortel hingga kentang, jadi pemandangan. Bahkan, saat kami mengamati aktivitas mereka, ada satu pasien yang menoleh ke arah kami. Kemudian, berbicara cepat dengan kalimat tak jelas.
Akhirnya, pasien itu diminta untuk berhenti oleh dokter Ana. "Ya seperti itu kalau sedang kambuh. Tapi kami harus sabar untuk menghadapinya," ungkapnya.
Kunjungan kami hampir di penghujung waktu. Namun, mengingat tak lama lagi akan menyambut perayaan Natal, pihak rumah sakit pun mengadakan acara yang diperuntukan bagi pasien. Sayang, kami tak menyaksikan secara langsung acara tersebut. Akan tetapi, bisa dipastikan jika itu semua lebih kepada kegiatan yang mengasah kemampuan pasien.
"Ada banyak acara, kami buat seperti kegiatan yang punya manfaat bagi mereka. Selain tentunya tujuan utama ya untuk memperingati Natal bagi pasien yang merayakannya," kata Ana.
Sebelum meninggalkan rumah sakit, kami diajak untuk melihat kafe. Tak ada yang berbeda ketika tiba di sana. Terlihat, empat pegawai dengan seragam warna abu yang dipadukan dengan celemek hitam melayani pembeli.
Menjual makanan ringan dan minuman, juga tak mengubah kesan pada umumnya. Hingga akhirnya, petugas rehabilitasi bernama Susi memberitahu jika mereka merupakan mantan penderita gangguan kejiwaan.
Sontak kami pun terkejut. Sebab, tak ada perbedaan dengan orang pada umumnya atau orang normal. "Mereka ini dulunya pasien di sini. Mereka sudah bisa dikatakan sebagai pasien yang sembuh atau bisa mengendalikan diri dan merawat dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain," kata Susi.
Bekerja sebagai penjual di kafe itu bukan tanpa alasan. Hal itu juga merupakan metode akhir dari tahap rehabilitasi di mana mereka dituntut memiliki tanggung jawab atas pekerjaan mereka.
Terlebih, mereka juga harus berinteraksi dengan orang lain. Sehingga secara berkala pasien-pasien itu akan dinilai apakah layak atau bisa kembali ke masyarakat.
Lantas kami pun mencoba berbincang-bicang dengan salah satu di antara mereka. Perempuan muda yang sebelumnya menjadi pasien lantaran menderita penyakit gangguan kejiwaan itu tak segan berinteraksi dengan kami. Mulai dari apa yang dia rasakan saat menderita penyakit itu hingga tanggapan tentang dirinya di mata masyarakat sempat menjadi perbincangan.
Kepada kami ia bercerita, saat menjadi pasien, hal yang dirasakannya adalah banyak suara-suara di kupingnya. Suara itu memerintahkan untuk melakukan hal-hal tak masuk akal, seperti marah-marah hingga merusak atau membanting barang.
Sehingga kami beranggapan, jika pasien terlihat berbicara seorang diri berarti dia sedang merespons suara-suara yang didengarnya.
"Kalau aku sih ya, di kuping tuh kayak ada banyak suara gitu. Aku juga pusing sebenarnya," kata dia sambil duduk di kursi kayu.
Dengan gincu merah di bibirnya, perempuan ini tanpa rasa malu mengatakan jika dia penderita skizofrenia. Selain itu, wanita itu pun juga menceritakan pengalamannya saat menjalani perawatan di tempat lain. Di sana, tindakan kasar sempat dialaminya. Mulai diborgol hingga dipukul dengan ikat pinggang pernah dirasakannya.
Bahkan, ia tak segan menujukan bekas luka ditangganya akibat dari tindakan kekerasan itu. Meski sempat bercerita kepada kedua orang tuanya, seolah tak ada yang percaya atas ucapannya.
"Tidak ada yang percaya sama cerita aku, tapi setelah orang tua pikir mungkin ada banyak bekas luka di badan aku ini, mereka baru sadar," cetusnya.
Lima menit berlalu, perbincangan pun kami selesaikan. Hingga kami menyadari, penderita penyakit gangguan kejiwaan tidak seperti apa yang dipikirkan pada umumnya.