JAKARTA – Sejumlah warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo yang masih bertahan terus melakukan aksi penolakan terhadap rencana pemerintah yang akan menjadikan desa tempat tinggalnya sebagai lahan pertambangan batu andesit.
Mereka bahkan sampai membuat tugu berbentuk tangan kiri mengepal dengan menggunakan batuan andesit dari Desa Wadas yang berlokasi tepat di tengah jalan Dusun Randuparang. Ini, menurut Siswanto, sebagai simbol perjuangan.
“Kami sengaja pakai konstruksi batuan andesit karena inilah batu yang diinginkan pemerintah. Batuan yang kokoh melambangkan perjuangan. Kami bangun ini urunan kira-kira selama sepekan dan baru diresmikan pada 8 Februari 2023. Sekaligus mengenang, menolak lupa represi dan kezaliman negara terhadap warga Desa Wadas,” kata warga warga RT 3 RW 3 Randuparang, Desa Wadas ini kepada VOI pada 9 Februari lalu.
Memang saat ini, lanjut Siswanto, jumlah warga yang menolak pertambangan telah menurun drastis paling hanya tersisa 30 persen. Mayoritas sudah menyerahkan lahan miliknya kepada pemerintah. Siswanto menganggap mereka tak punya pilihan.
Pascainsiden 8 Februari 2022, kehidupan warga seolah jauh dari kesan aman dan damai. Selalu ada petugas yang berkeliling masuk desa hampir setiap hari.
“Ini seperti teror bagi kami. Bahkan sampai muncul isu-isu ancaman, entah benar atau tidak, tapi fakta inilah yang membuat warga khawatir dan takut,” kata Siswanto.
Padahal, pada 2018, seluruh warga kompak menentang upaya pemerintah yang akan menjadikan Desa Wadas sebagai lokasi pertambangan batu andesit. Sebab, penambangan akan menyebabkan warga jatuh miskin karena kehilangan mata pencahariannya sebagai petani.
“Jadi, bukan karena ada biaya ganti rugi. Besaran ganti rugi juga tidak jelas dasar perhitungannya. Coba saja cek ke warga yang sudah menerima, sesuai tidak dengan yang dijanjikan. Itupun kalau mereka mau bicara. Jelas, warga Desa Wadas menyerahkan lahan memang tidak punya pilihan lain, terpaksa,” ucap Siswanto.
Kilas Balik
Selama kurun waktu tiga tahun dari 2015 hingga 2017, pemerintah sering melakukan penelitian, mengambil sampel batu andesit untuk kebutuhan laboratorium. Lalu, pada akhir 2017, warga Desa Wadas terkejut ternyata sudah terbit Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) tanpa sosialisasi dan pemberitahuan sebelumnya.
Ketika itulah warga mengetahui rencana pemerintah yang akan menambang batuan andesit di Desa Wadas sebagai material pembuatan Bendungan Bener.
“Kami tegas menolak. Dulu, kami sering menyampaikan aspirasi ke pemerintah desa, sampai pasang poster, banner, sebagai bentuk penolakan,” ucap Siswanto.
Namun, pemerintah tak menggubris. Justru malah dilakukan sosialisasi pada awal 2018.
“Warga Desa Wadas sempat berembug karena berpikir buat apa ikut sosialisasi, toh kita juga menolak. Akhirnya kami putuskan datang tetapi dengan kesepakatan tidak akan tanda tangan apapun,” kata Siswanto.
Nyatanya, warga mau tak mau tetap harus menandatangani daftar hadir. Sosialisasi pun hanya menerangkan pembuatan Bendungan Bener, bukan terkait pertambangan di Desa Wadas.
“Disetelin video ketika bendungan sudah jadi itu keindahannya seperti apa. Acara belum selesai, warga sudah meninggalkan ruang kantor desa karena warga memang tidak butuh itu,” katanya.
Lalu, beberapa bulan kemudian, warga Desa Wadas mendapat undangan lagi untuk konsultasi publik. Kali ini, warga lebih dilematis karena isu yang bergulir ada atau tidak warga yang hadir, konsultasi publik tetap dinyatakan sah. Usai berembug, warga kembali memutuskan hadir.
Menurut Siswanto, lagi-lagi prosesnya sama. Tetap harus tandatangan, bahkan sampai empat kali.
“Saya tanya pertama, ini tanda tangan apa, untuk daftar hadir saja. Tanda tangan kedua saya tanya lagi, katanya untuk akomodasi dapat Rp30 ribu. Tanda tangan ketiga katanya untuk makan. Tanda tangan keempat untuk snack,” lanjutnya.
Ternyata, isi forum tersebut lebih mengecewakan. Alih-alih mempertimbangkan keberatan warga, pemerintah malah melakukan pencocokan nama bidang tanah kepada masing-masing warga yang hadir.
Belum selesai acara, warga langsung keluar. Menyatakan sikap menentang arogansi pemerintah dan menolak rencana pertambangan di Desa Wadas.
Setelah itu, masih pada tahun yang sama, terbit Izin Penetapan Lokasi (IPL) pertambangan dari Gubernur Jawa Tengah yang terpampang di papan pengumuman kantor desa.
“Kami sempat audiensi ke Pak Ganjar meski hanya bertemu stafnya. Mereka bilang nanti akan disampaikan ke atasan, akan dikaji ulang, akan ditinjau. Kalau warga Desa Wadas tidak setuju nanti akan dicarikan alternatif,” kata Siswanto.
Ternyata, kata Siswanto, pemerintah terus melanjutkan ke tahap proses pengukuran lahan dan inventaris aset tanpa mempedulikan keberatan warga Desa Wadas.
Alhasil, warga bereaksi dengan memblokade seluruh akses masuk Desa Wadas secara bergiliran selama 24 jam, baik akses dari Desa Cacabang, Desa Pekacangan, maupun Desa Kaliwates.
Aksi penghadangan para petugas pengukuran lahan membuat polisi turun tangan. Insiden pertama terjadi pada 23 April 2021.
“Kami tentu tidak bisa melawan, kami hadang polisi dengan melakukan ibadah semacam pengajian, kami duduk melingkar di jalan akses masuk. Tak lama terjadi aksi saling dorong. Beberapa warga ditangkap karena dianggap provokator,” kata Siswanto.
Puncaknya pada 8 Februari 2022. Menurutnya, ribuan aparat kepolisian berseragam tameng datang ke Desa Wadas. Warga akhirnya lebih memilih berkumpul melakukan ibadah pengajian serupa di masjid.
Puluhan warga ditangkap. Selama tiga hari kondisi Desa Wadas mencekam. Setiap satu jam, kata Siswanto ada petugas polisi yang berkeliling membawa tameng dan senjata.
“Listrik mati, sinyal drop, warga yang tidak ditangkap pulang ke rumah, tapi enggak berani kemana-mana, mereka kunci pintu. Ada yang mengungsi ke rumah saudaranya. Warga trauma setelah itu,” Siswanto menjelaskan singkat.
Upaya Hukum
Selain audiensi, warga Desa Wadas juga sudah melakukan gugatan terhadap Gubernur Jawa Tengah ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang. Berdasar putusan hakim PTUN Semarang Nomor 68/G/PU/2021/PTUN.SMG tanggal 30 Agustus 2021, gugatan tersebut ditolak.
Gugatan yang dilayangkan adalah pembaruan penetapan lokasi pengadaan tanah bagi pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Wonosobo.
“Ya ditolak, karena pemerintah dianggap punya data dan bukti yang kuat, termasuk tanda tangan kami ketika sosialisasi awal dan konsultasi publik dijadikan berita acara,” kata Siswanto.
Namun, Kepala Biro Hukum Provinsi Jawa Tengah, Iwanuddin Iskandar berharap warga menghormati putusan. Ini adalah waktu untuk berkonsolidasi.
Dia mengajak semua pihak dari tingkat desa hingga pemerintah pusat merangkul warga, termasuk pihak Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWS-SO), sebagai pihak yang nantinya berwenang dalam proses pembangunan Bendungan Bener.
"Selanjutnya kami imbau pemohon dalam hal ini BBWS melakukan konsolidasi warga baik yang kontra dan pro. Ini bukan semata masalah warga yang mendukung maupun tidak. Jangan kita jauhi, semua harus kita dukung. Semua harus kita rangkul," katanya kepada awak media pada 2 September 2021.
Selain ke PTUN Semarang, kuasa hukum warga Desa Wadas, Dhanil Al Ghifary dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta mengatakan juga telah melayangkan gugatan terhadap Dirjen Minerba Kementerian ESDM ke PTUN Jakarta pada Oktober 2022.
Dalam gugatannya, warga mempersoalkan Surat Keputusan Dirjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bernomor T-178/MB.04/DJB.M/2021. Surat itu intinya memperbolehkan rencana pertambangan di Desa Wadas dilakukan tanpa izin pertambangan.
Padahal, kata Dhanil, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dan Nomor 3 Tahun 2020 tentang pertambangan minerba beserta aturan-aturan turunannya sudah sangat jelas. Tidak ditemukan klausul yang memperbolehkan penambangan dilakukan tanpa izin dengan alasan dan kepentingan apapun.
Lagipula, perizinan pertambangan bagi warga Desa Wadas sangat penting. Sehingga mereka memiliki kepastian hukum.
“Misalnya, berapa luasan yang akan ditambang, berapa lama penambangan, berapa kuantitas batu yang akan ditambang, apa hak dan kewajiban dari si penambang, siapa yang akan melakukan pengawasan saat terjadi pelanggaran-pelanggaran di aktivitas pertambangan,” kata Dhanil kepada VOI pada 10 Februari 2023.
“Kalau tidak ada izin, bisa saja dalam praktiknya yang ditambang itu tidak hanya 114 hektar, melebihi itu misalnya. Atau ketika pemerintah berjanji akan menambang 16 juta meter kubik, bisa saja lebih, atau ketika besok terjadi pelanggaran di lapangan tidak ada yang bertanggung jawab,” lanjutnya.
Namun, upaya hukum warga Desa Wadas tetap menemui jalan buntu. Hakim PTUN juga menolak gugatan karena objek sengketa tidak bersifat final. Adapun objek sengketa yang dimaksud adalah surat rekomendasi yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal ESDM.
“Selanjutnya, kami sudah siap melakukan banding,” imbuh Dhanil.
Masih Pembebasan Lahan
Proyek Bendungan Bener sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 56 Tahun 2018 tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional.
Total lahan yang dibebaskan di Desa Wadas adalah 153,64 hektar. Sebanyak 145 hektar dimanfaatkan sebagai lahan tambang sedangkan 8,64 hektar sebagai akses masuk lokasi tambang. Pembebasan lahan tersebut akan berdampak terhadap 1.800 jiwa penduduk Desa Wadas.
Prosesnya saat ini, kata Siswanto, masih dalam tahap pembebasan lahan dan pembersihan akses menuju galian. Sudah ada 70 persen warga yang sudah menerima ganti rugi.
Namun, menurut Kedeputian IV Kantor Star Kepresidenan, Joko Joanes kepada VOI pada 10 Februari 2023, sudah lebih dari 90 persen menyetujui pembebasan lahan.
“Artinya hanya tinggal beberapa persen saja, tidak sampai 10 persen yang masih bertahan. Yang pasti, kami akan terus melakukan pendekatan kepada warga,” ucapnya.
Siswanto berharap pemerintah lebih bijaksana menyikapi permasalahan lahan di Desa Wadas.
“Warga yang kontra saat ini berpendapat, kita tidak menolak jual beli, kita hanya menolak rencana pertambangan, baik ada yang sudah terjual tanahnya kami memohon pemerintah untuk dialihfungsikan jadi lokasi pertanian. Ini penghidupan kami sebagai warga Desa Wadas,” imbuh Siswanto.
また読む:
The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)