Ketimpangan Relasi Kuasa, Salah Satu Penyebab Bunuh Diri Sekeluarga
JAKARTA – Kurangnya bantuan dari masyarakat dan keluarga besar disebut menjadi salah satu penyebab satu keluarga bunuh diri dengan meloncat dari sebuah apartemen di Penjaringan, Jakarta Utara. Belum lagi soal ketimpangan relasi kuasa antara orangtua dan anak, sehingga belakangan masyarakat sering dijejali kabar bunuh diri sekeluarga.
Kabar soal satu keluarga meninggal karena loncat dari lantai 22 Apartemen Teluk Intan, Penjaringan, Sabtu (9/3/2024) sedang menjadi perhatian publik. Mengutip Antara, mereka terdiri dari orangtua EA (50 tahun) serta AEL (52) serta anak mereka CWA (13) dan JL (15).
Adalah seorang karyawan yang bertugas di lobi apartemen yang pertama kali mengetahui aksi bunuh diri tersebut setelah ia mendengar sebuah suara dentuman keas. Ia kemudian melaporkan kejadian ini Polsek Penjaringan.
Kematian Putus Asa
Aksi bunuh diri yang dilakukan oleh satu keluarga adalah kabar memilukan. Hingga saat ini, polisi masih mendalami motif di balik aksi bunuh diri tersebut. Namun, kriminolog menyebut kasus semacam itu dengan istilah desperate death atau kematian putus asa. Ini terjadi karena keluarga-keluarga ini terpaksa harus berdiri sendiri dan tidak bisa mengakses bantuan sosial.
Kriminolog Universitas Indonesia Adrianus Meliala mengatakan keluarga seharusnya dapat menjadi jaring pengaman atau safety net dalam pencegahan bunuh diri. Namun, jarak antara anggota-anggota keluarga yang kian renggang di era sekarang ini justru membuat masyarakat merasa segan untuk meminta tolong kepada kepada keluarga besar soal kesulitan hidup yang dihadapi, termasuk kesulitan finansial.
Selain itu, Adrianus juga menyoroti adanya kemungkinan relasi kuasa yang menyebabkan terjadinya aksi bunuh diri keluarga. Ia menduga orangtua berperan besar dalam memengaruhi anaknya atau memaksa anaknya secara halus.
Dalam aksi bunuh diri tersebut, polisi menemukan ikatan tali yang putus pada tangan keempat jasad. Kapolsek Penjaringan, Kompol Agus Ady Wijaya menuturkan, kondisi EA terikat dalam tali yang sama dengan JL, sementara AIL terikat di tali yang sama dengan JWA.
Ketimpangan relasi kuasa, termasuk yang terjadi dalam keluarga masih menjadi sorotan sampai sekarang. Mengutip Hukum Online, Michael Foucault yang merupakan seorang filsuf pelopor strukturalisme mengatakan kekuasaan adalah satu dimensi dari relasi. Di mana ada relasi, di sana ada kekuasaan dan kekuasaan selalu teraktualisasi lewat pengetahuan, karena pengetahuan selalu punya efek kuasa. Hal ini berarti, di dalam suatu relasi antar individu maka pengetahuan akan dirinya dan orang lain di saat bersamaan dapat menciptakan kekuasaan.
Relasi kuasa biasa terjadi antara dosen dengan mahasiswa, orangtua dengan anak, artis dengan fans, bos dengan karyawan, rentenir dengan pengutang, dan sebagainya.
Ketimpangan relasi kuasa ini juga disebut-sebut menjadi salah satu penyebab banyaknya kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dekat, misalnya ayah kepada anak atau guru terhadap peserta didik. Ketimpangan relasi kuasa terjadi ketika pelaku merasa memiliki posisi yang lebih dominan daripada korban.
Dugaan soal ayah memengaruhi istri dan kedua anaknya ikut mengakhiri hidup dengan loncat dari lantai 22 apartemen juga dianalisa pakar psikologi klinis dari Universitas Islam Indonesia Qurotul Uyun. Ia menilai orangtua memiliki peran krusial memengaruhi anaknya ikut mengakhiri hidup.
"Jika memang di situ, keluarga kompak dalam ide mengakhiri hidup, mungkin orangtuanya yang sangat kuat mempengaruhi keluarganya, sehingga mempengaruhi pola pikir keluarganya menjadi negatif terhadap masa depannya," kata Uyun.
Bunuh Diri dan Pembunuhan
Sementara itu psikolog forensik, Reza Indragiri Amriel memandang kasus yang terjadi di apartemen tersebut memuat dua hal, yaitu bunuh diri dan pembunuhan. Menurut psikolog lulusan Universitas Gadjah Mada tersebut, narasi ‘satu keluarga bunuh diri’ perlu dikoreksi. Ia menilai masyarakat butuh perubahan cara berpikir saat memperbincangkan kasus-kasus serupa.
“Empat individu yang melompat dari atap apartemen itu dapat dikatakan bunuh diri sekeluarga (bersama-sama) hanya apabila bisa dipastikan bahwa pada masing-masing orang tersebut ada kehendak dan antarmereka ada kesepakatan (konsensus) untuk melakukan perbuatan fatal sedemikian rupa,” ujar Reza dalam keterangannya.
Lebih lanjut Reza mengatakan, masyarakat harus membuka mata bahwa dua anak yang turut menjadi korban tidak memiliki kehendak sendiri atau bersepakat dalam peristiwa tersebut.
“Dalam situasi apa pun, anak-anak secara universal harus dipandang sebagai individu yang sama sekali tidak memberikan persetujuannya bagi aksi bunuh diri,” kata Reza lagi.
Reza menganalogikan kasus ini dengan aktivitas seksual. Dari sudut pandang hukum, anak yang terlibat dalam aktivitas seksual harus selalu didudukkan sebagai individu yang tidak menginginkan dan tidak bersepakat melakukan aktivitas seksual.
Anak-anak pun, terlepas mau atau tidak mau, sengaja atau tidak sengaja, setuju atau tidak setuju, selama-lamanya absolut harus dianggap tidak mau dan tidak setuju akan aktivitas seksual yang menyertakan mereka itu.
“Sehingga, apa pun dalihnya, individu yang melangsungkan aktivitas seksual dengan anak-anak secara universal selalu diposisikan sebagai pelaku kejahatan seksual. Pada anak-anak pun, apa pun suasana batinnya, secara otomatis tersemat status korban,” imbuhnya.
また読む:
Kembali ke peristiwa terjun bebas di Jakarta Utara. Terlepas apakah anak-anak pada peristiwa itu mau atau tidak mau, sepakat atau tidak sepakat, tetap - sekali lagi - mereka harus diposisikan sebagai orang yang tidak mau dan tidak sepakat. Aksi terjun bebas tersebut, dengan demikian, mutlak harus disimpulkan sebagai tindakan yang tidak mengandung konsensus.
“Karena mereka dipaksa melompat, maka mereka justru korban pembunuhan. Pelaku pembunuhannya adalah pihak yang - harus diasumsikan - telah memaksa anak-anak tersebut untuk melompat sedemikian rupa,” Reza menegaskan.
Pentingnya Peran Masyarakat
Kasus bunuh diri satu keluarga bukan hanya kali ini terjadi. Pada September 2023 lalu, Grace Arijani Harapan (68) dan David Aryanto Wibowo (38) ditemukan mati lemas karena mengurung diri di ruang sempit di kawasan Cinere, Kota Depok. Mereka diduga frustrasi dan depresi akibat masalah ekonomi setelah ditinggal kepala keluarga.
Tak lama kemudian, seorang guru SD di Kabupaten Malang melakukan bunuh diri dengan meminum obat nyamuk karena terlilit utang. Ia mengajak istri dan satu anak perempuannya melakukan aksi tersebut.
Kesulitan ekonomi diduga menjadi motif aksi bunuh diri setidaknya dua keluarga tersebut. Masalah ekonomi mungkin sebaiknya memang diselesaikan secara individu, tapi masyarakat seharusnya memiliki peran sebagai salah satu pencegahan aksi bunuh diri. Salah satu langkah pencegahannya adalah keberanian masyarakat untuk membahas bahwa merasa frustrasi di tengah kesulitan adalah hal yang lumrah.
Sebagaimana diungkapkan Presiden Asosiasi Indonesia untuk Pencegahan Bunuh Diri Dr. Sandersan Onie, masyarakat Indonesia masih enggan bercerita kepada orang terdekat ketika timbul keinginan bunuh diri.
“Bunuh diri tidak mencerminkan kesehatan mental seseorang, namun mencerminkan kehidupan seseorang. Ini bukan hanya tentang apa yang ada di dalamnya, tapi juga tentang lingkungan dan segala sesuatu di sekitarnya,” ungkap pria yang akrab disapa Sandy.