Sebagai salah satu syariat Islam, zakat memiliki dimensi vertikal dan horizontal sekaligus. Ketika dikelola dengan baik, dana zakat bisa menjadi sarana untuk mengentaskan berbagai problem yang dihadapi umat seperti kemiskinan. Namun hingga kini, kata Ketua Umum Forum Organisasi Zakat (FOZ) Wildhan Dewayana Rosyada, zakat masih dikelola secara parsial, belum dihimpun sehingga menjadi sesuatu yang memiliki kekuatan besar.
***
Zakat diwajibkan kepada para kaum muslimin yang sudah memenuhi syarat, sudah cukup memenuhi batas minimal (nishab), dan rentang waktu kepemilikan harta sudah mencapai satu tahun (haul). Setelah dikumpulkan, zakat didistribusikan kepada delapan golongan yang sudah ditetapkan sebagai penerima yaitu: fakir, miskin, amil, mualaf, budak, orang yang berhutang, orang yang berjihad di jalan Allah (fi sabilillah), dan anak jalanan.
Persoalannya di Indonesia, begitu banyak lembaga yang melakukan pengumpulan zakat. Masing-masing lembaga punya kebijakan, karena itu pengelolaan zakat ini masih parsial. Padahal jika diorkestrasi, ini adalah potensi yang amat besar. “Sampai saat ini ada sekitar 700-an lembaga pengelola zakat di seluruh Indonesia. Sebaran organisasi zakat di seantero Indonesia juga tidak merata. Tantangannya, bagaimana mengorkestrasi lembaga zakat yang ada sehingga menjadi sebuah gerakan yang memiliki kekuatan besar. Zakat itu bisa membantu memecahkan problem nasional seperti kemiskinan, kesenjangan sosial, dan sebagainya,” ujarnya.
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di seluruh dunia, Indonesia memiliki potensi yang tidak sedikit dalam bidang zakat. Tahun 2023 silam, menurut Wildhan, dana zakat terkumpul Rp30 triliun. Dari dana itu, sudah disalurkan kepada 34 juta orang dengan skema penyaluran yang bermacam-macam. “Ada sekitar 400 yang bisa diangkat dari garis kemiskinan. Kalau kita merujuk data orang miskin di Indonesia; 24 juta orang lebih, target ini memang masih amat jauh,” terangnya.
Ke depan, menurut Wildhan, petugas zakat dituntut untuk amanah dan profesional. “Zakat itu bertujuan mengentaskan kemiskinan. Sekarang ini pengumpulan zakat itu masih berserakan di mana-mana dan dilakukan banyak lembaga pengelola zakat. Padahal kalau bisa bersatu dan berkolaborasi, akan lebih besar kekuatannya dalam mengentaskan kemiskinan yang ada di masyarakat. Bagaimana seorang mustahik (penerima zakat) dibina, kemudian mandiri dan selanjutnya bisa menjadi muzakki (pembayar zakat),” kata Wildhan Dewayana Rosyada kepada Edy Suherli, Bambang Eros, Irfan Meidianto, dan Dandi Juniar saat bertandang ke kantor VOI, di bilangan Tanah Abang, Jakarta Pusat belum lama berselang. Inilah petikan selengkapnya.
FOZ baru menggelar Munas ke-10, apa saja poin penting yang dihasilkan selain memilih ketum?
Munas FOZ adalah hajatan setiap tiga tahun sekali sejak 1997. Sesuai amanat AD/ART, masa bakti kepengurusan FOZ itu setelah tiga tahun bertugas harus diganti. Dalam munas ini kami bertemu dan bersilaturahmi serta membicarakan agenda penting perzakatan setelah melalui masa waktu tiga tahun. Kami di asosiasi zakat ini juga membuat rekomendasi agenda zakat dan mengevaluasi AD/ART. Puncaknya adalah pemilihan Ketua Umum dan Sekretaris Umum FOZ.
Isu penting apa saja yang dihasilkan Munas kali ini?
Banyak isu yang kami angkat, zakat itu beririsan langsung dengan persoalan mendasar umat yang ada di Indonesia bahkan dunia. Tantangannya adalah bagaimana menjadikan zakat sebagai salah satu solusi untuk mengatasi problem yang ada. Untuk mengeluarkan manusia dari kesulitan melalui skema 8 asnaf zakat. Dan juga isu seperti bagaimana kualitas pengelola zakatnya. Kita juga berhadapan dengan kapasitas lembaga pengelola zakat yang kini ada. Dan ada juga isu yang berkaitan dengan ekosistem kebijakan dan bagaimana zakat bisa membantu mewujudkan visi Indonesia emas 2045.
Zakat harus membuktikan sebagai instrumen pembangunan. Kami pengelola zakat ini ingin berkontribusi dengan sungguh-sungguh untuk dapat membantu menyelesaikan problem bangsa.
Itu secara umum, apa bisa sedikit lebih rinci?
Lebih spesifik adalah pada pengelola zakat atau amil. Kita dihadapkan pada pertama soal kompetensi, alhamdulillah beberapa tahun terakhir ini kita sudah punya institusi yang menghasilkan pengelola zakat yang well-designed dan well-prepared. Dulu saya masuk di lembaga zakat tahun 1999, tidak ada lembaga seperti ini, saya belajar otodidak. Alhamdulillah saya tersesat di jalan yang lurus, hehehe.
Seiring berjalannya waktu, masyarakat sudah banyak yang melirik zakat. Kehadiran pemerintah dalam urusan zakat juga sudah lebih terasa. Sehingga kita bisa menyiapkan tenaga amil yang lebih kompeten karena memiliki kompetensi.
Yang kedua, karena yang dikelola itu instrumen syariat (rukun Islam), maka kita berhadapan dengan persoalan integritas dan attitude, bagaimana para amil itu mencerminkan akhlakul karimah. Lalu ada juga isu kesejahteraan, para amil itu memang dituntut untuk fokus pada persoalan zakat. Timbal baliknya perlu gaji yang memadai untuk para amil ini agar mereka profesional. Termasuk soal masa depan karier bagi para amil, bisa memberikan ruang karier yang bagus. Kalau tidak, sektor zakat tidak akan dimasuki oleh bakat-bakat terbaik dari anak bangsa ini. Saya kira ini pekerjaan rumah kita bersama.
Apakah FOZ sudah mengadopsi teknologi dalam penerimaan dan penyaluran zakat?
Ya, bagaimana sistem pengelolaan lembaga penerima dan penyalur zakat itu punya sistem yang bagus dan kuat. Tentunya mengadopsi teknologi untuk era sekarang adalah keniscayaan. Meskipun untuk mewujudkan hal itu perlu biaya. Muaranya adalah lembaga zakat yang efektif, akuntabel, yang menerapkan teknologi dan relevan dengan kebutuhan teman-teman amil.
Apakah kolaborasi antarlembaga pengelola zakat sudah terjadi?
Sampai saat ini ada sekitar 700-an lembaga pengelola zakat di seluruh Indonesia. Ini poin yang ketiga, sebaran organisasi zakat di seantero Indonesia juga tidak merata. Tantangannya adalah bagaimana mengorkestrasi lembaga zakat yang ada sehingga menjadi sebuah gerakan yang memiliki kekuatan besar. Bagaimana zakat bisa membantu memecahkan problem nasional seperti kemiskinan, kesenjangan sosial, dan sebagainya.
Dari populasi muslim di Indonesia, apakah terdata berapa banyak yang berstatus muzakki dan berapa banyak yang berstatus mustahik?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa ungkap soal potensi dana zakat. Potensi dana zakat itu sekitar Rp 30 triliun-an per tahun. Dari dana yang terkumpul ini bisa dirasakan oleh 34 juta orang dengan skema penyaluran yang bermacam-macam. Dari data itu ada sekitar 400 ribu yang bisa diangkat dari garis kemiskinan. Kalau kita merujuk data orang miskin di Indonesia, ada 24 juta orang, target ini masih amat jauh.
Untuk di FOZ sendiri, berapa dana zakat yang terkumpul dalam setahun lalu?
Di FOZ sendiri ada hampir Rp 3 triliun dari 174 anggota. Angka ini baru dilaporkan oleh 60% anggota kita, jadi masih ada yang belum melaporkan. Kita memang perlu berkolaborasi menyatukan kekuatan sehingga zakat bisa bermanfaat maksimal. Setiap organisasi zakat punya kelemahan dan kelebihan, bagaimana kita bisa saling melengkapi dan menutupi kekurangan pihak lain. Ya, perlu ada orkestrasi agar menjadi sesuatu yang luar biasa. Ada sekian banyak organisasi pengelola zakat yang ada, saatnya bersatu dan berkolaborasi. Saya kira ini tantangan yang harus kita tuntaskan.
Untuk lembaga pengelola zakat di FOZ, menyalurkannya ke mana saja, dalam negeri atau luar negeri?
Dari 174 anggota punya mekanisme sendiri-sendiri dalam menyalurkan zakat yang terkumpul. Dana zakat kita salurkan sebagian besar ke dalam negeri (80%). Ada yang disalurkan ke luar negeri (20%) seperti Palestina. Kita berharap pertikaian segera berakhir sehingga kita bisa ikut menyalurkan zakat dalam bentuk jangka panjang; bagaimana kita berkontribusi membangun kembali kota Gaza yang hancur. Bisa membangun sekolah, rumah sakit, dan sarana umum lainnya.
Wacana zakat produktif, apakah ada realisasinya dari FOZ dan anggotanya dalam menyalurkan zakatnya?
Zakat itu memang bertujuan mengentaskan kemiskinan. Sekarang ini pengumpulan zakat masih berserakan di mana-mana di banyak lembaga pengelola zakat. Padahal kalau bisa bersatu, berkolaborasi semua lembaga pengelola zakat, akan lebih besar kekuatannya dalam mengentaskan kemiskinan yang ada di masyarakat. Bagaimana seorang mustahik bisa dibina, kemudian mandiri dan selanjutnya menjadi muzakki. Seperti sapu lidi, kalau sendirian dia lemah, tapi kalau sudah dalam satu ikatan, kuat sekali. Kita bisa lebih produktif dan bisa lebih mengentaskan persoalan kemiskinan. Soalnya kalau pendekatannya tidak benar, bukannya mengentaskan kemiskinan, tapi melanggengkan kemiskinan.
Zakat itu tidak hanya mengentaskan kemiskinan, tapi juga menguatkan secara spiritual. Jadi para mustahik itu diharapkan kuat secara ekonomi dan kuat juga secara spiritual. Di lembaga zakat yang saya pimpin ada program pembinaan dalam bidang ekonomi dan spiritualnya. Jadi dua-duanya berjalan beriringan. Kita bisa bandingkan antara sebelum dan setelah dibantu, ada perubahan atau tidak.
BACA JUGA:
Dalam fikih ada 8 mustahik zakat, untuk era sekarang apakah ada golongan yang layak menerima namun belum masuk dalam kategori itu?
Kedelapan golongan itu memang sudah terang dibahas dalam fikih yaitu; fakir, miskin, amil, mualaf, budak, orang yang berhutang, orang yang berjihad di jalan Allah (fi sabilillah), dan anak jalanan. Tapi untuk interpretasi tentu akan mengikuti perkembangan zaman. Dulu ada golongan budak, sekarang apa masih ada? Jadi ini yang saya katakan perlu interpretasi untuk era kekinian.
Agar tidak salah sasaran dalam menyalurkan zakat, apa metode yang dilakukan FOZ dan anggotanya?
Kita memang membuat protokol agar teman-teman anggota FOZ punya panduan dalam menyalurkan zakat. Lalu mereka punya attitude dalam mengelola zakat. Soalnya yang dikelola teman-teman itu adalah kepercayaan para muzakki, jadi benar-benar harus dijaga. Ada kode etik amil, agar teman-teman bisa tahu apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Jadi amil itu harus amanah dan profesional.
Apakah FOZ sudah menerapkan teknologi terkini dalam mengumpulkan dan menyalurkan zakat?
Secara parsial, sebagian teman-teman sudah menerapkan. Adopsi terhadap perkembangan dunia digital sudah dilakukan. Di banyak lembaga pengelola zakat, pertumbuhan dari sektor digital itu amat menggembirakan. Dalam kepengurusan FOZ yang baru ditambahkan soal adopsi teknologi ini, ada bidang penguatan kelembagaan dalam aspek kepatuhan, tata kelola, dan adopsi teknologi. Di FOZ kita punya aplikasi Digi Zakat, ini digunakan oleh tim kami untuk mengelola dan mengompilasi data.
Apa saran anda untuk masyarakat agar rajin berzakat dan pemerintah untuk hadir memberikan fasilitas dalam pengelolaan zakat?
Zakat itu rukun Islam yang tidak hanya berhubungan dengan Yang Maha Kuasa secara vertikal, tapi juga ada implikasi kepada sesama manusia secara horizontal. Kalau kita lihat sejarah, keberpihakan pemimpin pada rakyatnya bisa dilihat pada seberapa besar kepedulian pemimpin pada pengumpulan dan penyaluran zakat. Di zaman khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, saat ada kaum yang menolak membayar zakat, dia mengirimkan pasukan ke kaum itu. Soalnya saat zakat tidak tersalur dengan baik, ada hak mustahik yang tersumbat. Artinya, kalau pemerintah bisa mengelola zakat dengan baik, banyak problem masyarakat yang bisa dientaskan.
Perlu dicatat, yang akan mendapatkan keuntungan pertama saat zakat dibayarkan adalah muzakki, bukan orang lain. Allah akan membalas dengan jumlah yang jauh lebih besar dari zakat yang dikeluarkan. Itu sisi normatifnya. Kalau sisi implementatifnya adalah semangat gotong-royong. Zakat itu tidak mudah, semua pihak dari amil, pemerintah, perbankan, kampus, dll., harus peduli. Selama ini literasi tentang zakat masih rendah, ingatan masyarakat kalau mendengar kata zakat ya bulan Ramadan. Perlu kolaborasi semua agar zakat semakin berkembang.
Wildhan Dewayana Rosyada dan Cita-cita Tinggal Landas Bersama Zakat
Jalan hidup seseorang memang susah ditebak. Setelah menyelesaikan studi di SMAN 3 Bandung, Wildhan Dewayana Rosyada diterima di Jurusan Penerbangan Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun, selepas kuliah, ia malah terperangkap dalam urusan pengelolaan zakat. Nyaris seperempat abad ia telah berkutat dalam urusan zakat. Cita-citanya ingin tinggal landas dalam urusan zakat.
“Tidak ada yang menyangka saya akan betah mengurusi zakat selama 20 tahun lebih. Mungkin inilah namanya jalan hidup,” kata Wildhan yang sudah 24 tahun dan menuju 25 tahun menekuni urusan zakat.
Semua ini bermula ketika Wildhan menyelesaikan tugas akhir di kampusnya. “Saat itu era reformasi 1998, semangat untuk mengabdi di tengah masyarakat amat tinggi. Saya dapat peluang untuk bekerja, saya terima tantangan mengurusi zakat. Ternyata saya enjoy, sampai sekarang saya masih di dunia per-zakat-an ini,” ujar Direktur Utama Inisiatif Zakat Indonesia (IZI).
Ada niat untuk kembali ke industri penerbangan? “Ada, tapi banyak faktor yang di luar kendali saya sehingga saya tetap saja di profesi ini. Bahkan sampai hari ini saya masih mengurusi zakat,” lanjutnya.
Sebagai hamba, lanjut Wildhan, kita boleh saja berencana dan bercita-cita, namun semuanya Allah yang menentukan. “Tinggal kita harus ridha dengan apa yang saya sebut sebagai panggilan dari langit ini. Semoga apa yang saya pilih ini mendapat bimbingan dari Allah,” kata pria yang melanjutkan studi di Program Ketahanan Nasional – Kajian Strategik Kepemimpinan Fakultas Pascasarjana UI (S2).
Banyak Tantangan
Hampir seperempat abad berkutat dengan persoalan zakat, Wildhan Dewayana Rosyada merasakan benar perbedaan yang ada saat ia baru menekuni zakat dengan saat ini, yang sudah bersentuhan dengan teknologi.
“Memang seorang pengelola zakat itu bukan sebuah profesi yang menarik. Para khatib juga jarang menyeru agar umat menunaikan zakat. Buku yang membahas persoalan zakat juga tidak banyak. Sekolah yang khusus membahas soal zakat juga tak ada. Jadi ini memang menantang sekali,” kata pria kelahiran 20 September 1976 ini.
Wildhan amat yakin persoalan zakat akan berkembang seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran umat untuk menunaikan zakat sebagai kewajiban seorang Muslim. “Saya mengikuti benar tahun demi tahun zakat itu bertumbuh. Dan ke depan saya yakin ini akan semakin besar. Dulu kita bergerak di pinggiran, sekarang sudah masuk ke level istana,” katanya.
Zakat, lanjut Wildhan, sudah naik kelas. “Karena potensinya yang besar, kita sudah membahas penyaluran zakat dengan pejabat negara. Jadi bagaimana membuat zakat ikut membantu pembangunan,” lanjut Wildhan yang suka membaca buku.
Harus Tepat Sasaran
Ilmu merancang pesawat memang tidak ada kaitan dengan dunia zakat. Namun, Wildhan menerapkan prinsip tak boleh ada kesalahan saat merancang pesawat dan mengaplikasikannya pada persoalan zakat. Dalam pengumpulan dan penyaluran zakat, tak boleh salah dan harus tepat sasaran.
Dia tak setuju dengan metode trial and error yang kerap digunakan untuk mencoba sesuatu yang baru. “Kalau saya lebih sepakat dengan istilah trial and improve. Soalnya saya enggak mau ada yang error dalam pengelolaan zakat. Mencoba boleh, tapi harus improve,” lanjutnya.
Wildhan termasuk sosok yang perfeksionis dalam meluncurkan sebuah program. “Soalnya saya ingin sebuah program yang disodorkan kepada masyarakat itu unggul dan berkualitas. Itu prinsip yang saya bawa dari kampus ke urusan zakat,” kata Wildhan yang kerap nonton drama Korea bersama istri tercinta.
Setelah hampir 25 tahun menekuni zakat, Wildhan nyaris tak menyangka pengelolaan zakat akan semaju seperti sekarang ini. “Karena sudah sejauh ini saya melangkah dan mengarungi dunia zakat, saya sudah sulit untuk kembali ke dunia penerbangan. Tapi esensi yang saya dapat di dunia penerbangan masih bisa saya terapkan. Bagaimana membawa zakat itu terbang tinggi ke tempat yang jauh. Zakat bisa membawa sebanyak mungkin orang untuk sampai ke tujuannya dengan selamat,” jelasnya.
Satu hal yang tak pernah dilupakan Wildhan Dewayana Rosyada adalah memohon pertolongan Allah SWT. “Mengurusi zakat itu tidak mudah, lho. Makanya saya membutuhkan pertolongan Allah. Saya tidak mungkin bisa menyelesaikan persoalan tanpa pertolongan Yang Maha Kuasa,” katanya.
"Tantangannya, bagaimana mengorkestrasi lembaga zakat yang ada sehingga menjadi sebuah gerakan yang memiliki kekuatan besar. Zakat itu bisa membantu memecahkan problem nasional seperti kemiskinan, kesenjangan sosial, dan sebagainya,"