Suhu di permukaan bumi kian hari kian panas. Menurut Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, MSc, PhD, suhu bumi di akhir abad 21 akan meningkat 3 hingga 3,5 derajat celsius. Akibat suhu bumi yang terus naik, bencana kekeringan akan terjadi yang berujung pada krisis pangan. Tak ada pilihan, semua pihak harus sadar akan kondisi ini. Sekarang saja bencana sudah terjadi di mana-mana, apalagi saat kenaikan suhu sudah mencapai 3 kali lipat dari sekarang.
***
Sudah sejak beberapa dasawarsa silam peringatan akan meningkatnya suhu bumi dan efek rumah kaca dikemukakan banyak pihak. Agenda aksi yang sudah dilakukan untuk mengantisipasi keadaan ini adalah ditandatanganinya Paris Agreement tahun 2015. Indonesia termasuk negara yang menandatangani perjanjian yang disposori oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) ini.
Perjanjian ini seperti dilansir Wikipedia, mengawal negara-negara agar mengurangkan emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca lain untuk membatasi pemanasan global agar tak lebih dari 2,0 derajat celsius.
Menurut Dwikorita Karnawati, lembaganya memprediksi peningkatan suhu bumi di akhir abad 21 akan meningkat signifikan. “Prediksi BMKG, suhu bumi di akhir abad 21 akan mengalami kenaikan 3 sampai 3,5 derajat celsius dibandingkan dengan zaman sebelum ada industri,” katanya.
Sekarang saja suhu udara permukaan di Indonesia dan dunia sudah naik 1,1 sampai 1,2 derajat celsius bencana sudah terjadi di mana-mana. “Bagaimana kalau naiknya 3 hingga 3,5 derajat celsius? Artinya bencana akan terjadi tiga kali lipat dari yang ada sekarang. Kasihan anak cucu kita kalau bumi kita biarkan seperti ini,” ujarnya.
Beberapa waktu belakangan Jakarta dan sekitarnya menjadi pusat perhatian karena kualitas udaranya yang buruk. Yang menarik, kata Prof. Rita begitu dia biasa disapa, kualitas udara di Jakarta itu di akhir pekan mengalami perubahan. “Menurut hasil pemantauan kami dari awal Agustus 2023 hingga bulan September 2023, kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya memang terlihat tidak sehat, ditunjukkan oleh indikator berwarna kuning. Namun, saat akhir pekan (Sabtu dan Minggu), indikatornya berubah menjadi biru, yang artinya kualitas udara berubah menjadi sedang,” katanya kepada Edy Suherli, Savic Rabos, dan Irfan Medianto dari VOI yang menyambanginya di kantor BMKG di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat belum lama ini. Ia bicara banyak soal perubahan iklim, kualitas udara, dan bagaimana penanggulangannya ke depan. Inilah petikan wawancara selengkapnya.
Jakarta menjadi sorotan karena polusi udara. Indeks Kualitas Udara (versi IQAir) di Jakarta mencapai 167 AQI US, yang termasuk dalam kategori "tidak sehat". Apa yang bisa dilakukan untuk menurunkan angka ini?
Kami bertugas mendukung Kementerian Lingkungan Hidup dalam memonitor kualitas udara di Indonesia. Hasil monitoring tersebut langsung kami sampaikan kepada publik melalui aplikasi BMKG. Peralatan yang kami gunakan untuk memonitor cuaca telah distandarisasi dan dikalibrasi dengan baik. Menurut hasil pemantauan kami dari awal Agustus hingga bulan September, kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya memang terlihat tidak sehat, ditunjukkan oleh indikator berwarna kuning. Namun, saat akhir pekan (Sabtu dan Minggu), indikatornya berubah menjadi biru, yang artinya kualitas udara sedang.
Apa artinya ini?
Artinya ada perubahan saat memasuki akhir pekan. Perubahan ini sudah kami temukan sejak sebelum peristiwa kualitas udara buruk di Jakarta menjadi berita utama. Jadi, pada akhir pekan, kualitas udara membaik. Hal ini terjadi karena penggunaan kendaraan bermotor menurun drastis, karena pekerja yang biasanya bekerja di Jakarta sedang libur dan tidak menggunakan kendaraan untuk pergi ke kantor.
Teman-teman kami dari bagian klimatologi melakukan pengamatan melalui satelit Sentinel, dan mereka menemukan beberapa sumber pencemaran udara. Yang paling besar adalah kegiatan transportasi, selain itu ada industri dan PLTU. Setelah mengetahui sumber pencemar ini, kami harus serius dalam mengatasi masalah ini. BMKG bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, Kementerian Perhubungan, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kami berbagi tugas, di mana Kemenhub dan Korlantas Polri mengatur lalu lintas, sementara publik diarahkan untuk menggunakan transportasi publik daripada transportasi individu. Menteri KLHK bersama Kepolisian mengatur uji emisi, dan kendaraan yang tidak lolos uji tidak boleh digunakan. Ada juga Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang bertugas mengatur PLTU yang juga menjadi penyumbang pencemaran udara.
Apa lagi yang dilakukan BMKG?
Kami, bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan instansi terkait, melakukan modifikasi cuaca untuk membersihkan polutan di udara. Bersama pemerintah daerah DKI Jakarta, kami juga menerapkan generator embun atau "water mist" yang disemprotkan ke udara melalui atap gedung-gedung tinggi. Di atas gedung BMKG, kami telah memasang dua perangkat untuk disemprotkan dan membersihkan udara di sekitar area tersebut. BMKG juga berkolaborasi dengan TNI untuk menyemprotkan partikel air melalui pesawat. Sebenarnya, ini adalah tanggung jawab bersama kita semua untuk menjaga lingkungan. Aturan-aturan untuk mengatasi polusi udara sudah ada, tinggal kita laksanakan.
Setelah melakukan upaya-upaya tersebut, bagaimana evaluasinya?
Kami terus melakukan evaluasi terhadap upaya yang sudah dilakukan. Semua ini bergantung pada volume dan kelanjutan upaya ini. Lembaga-lembaga, kementerian, dan pemerintah daerah DKI Jakarta terus berkoordinasi untuk mencari solusi. Bu Menteri KLHK sempat menghubungi saya, menanyakan apakah kondisinya sudah berubah. Beliau kemudian berkoordinasi dengan Presiden terkait masalah ini. Jadi, kami semua terus berupaya agar masalah ini dapat terselesaikan. Estimasi musim hujan baru akan terjadi pada bulan Oktober.
Anda mengatakan bahwa semua orang harus bertanggung jawab dalam mengatasi polusi. Dari masyarakat, apa yang bisa mereka lakukan?
Kami meminta masyarakat untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan beralih ke transportasi massal yang tersedia. Untuk Jakarta, sudah tersedia berbagai alternatif transportasi yang relatif memadai, seperti MRT, TransJakarta, Commuter Line, dan yang baru saja beroperasi, LRT Jabodebek. Jika seseorang harus menggunakan kendaraan pribadi, mereka harus siap untuk mengikuti uji emisi demi kebaikan bersama. Alternatif lainnya adalah menggunakan kendaraan listrik atau kendaraan ramah lingkungan. Selain itu, masyarakat harus menghindari membakar sampah sembarangan. Selain dapat menyebabkan polusi udara, terutama dalam kondisi kering seperti saat ini, hal ini dapat menyebabkan kebakaran. Baru-baru ini, sebuah pemotretan dengan flare wedding telah menyebabkan savana di area Gunung Bromo terbakar.
Apakah polusi udara yang saat ini menjadi bisa dicegah?
Iya, segala peraturan yang diperlukan telah ada, tinggal kita menerapkannya. Selain itu, masyarakat juga harus berperan aktif sesuai dengan kemampuan dan peran masing-masing.
Bagaimana dengan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap)?
Dari pengamatan melalui satelit, kami telah memberi tahu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang masalah ini. Kontribusi dari PLTU ini kurang dari 10 persen, masih di bawah sektor transportasi yang sangat masif pada hari kerja. Sebagai masalah yang sedikit lebih rendah dibandingkan PLTU, industri juga berkontribusi pada pencemaran udara. Solusi jangka panjang adalah perubahan dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan. Gaya hidup kita juga harus lebih disiplin, termasuk dalam hal membuang sampah dengan benar dan menghindari pembakaran sampah.
Bagaimana BMKG menghadapi fenomena El Niño?
BMKG telah mengidentifikasi potensi terjadinya El Niño pada akhir tahun 2022. Informasi ini telah kami sampaikan kepada Presiden, Kementerian terkait, Gubernur seluruh Indonesia, dan masyarakat. Dampak dari El Niño ini adalah curah hujan yang sangat rendah, yang diperkirakan akan terjadi pada akhir Juni dan awal Juli, meskipun tidak merata di seluruh Indonesia. Musim hujan diperkirakan akan terjadi pada Oktober atau November. Kekeringan diperkirakan akan menyebabkan kebakaran hutan. BMKG, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), BRIN, dan instansi terkait telah melakukan rekayasa cuaca di wilayah yang sering mengalami karhutla. Kami telah mempersiapkan diri untuk menghadapi situasi serupa dengan fenomena tahun 2019, dan ini tidak diperkirakan lebih buruk dari tahun 2015. Sejak Februari, kami telah melaksanakan pelatihan lapangan iklim bagi petani di seluruh Indonesia. Bersama dengan Dinas Pertanian, kami membantu petani untuk memahami informasi cuaca dan iklim dan menentukan tanaman yang sesuai untuk budidaya.
Baru-baru ini, Papua Tengah mengalami kekeringan. Apakah ini memiliki korelasi dengan prediksi El Niño yang telah disampaikan?
Tidak ada fenomena El Niño di daerah tersebut sudah kering. Kehadiran El Niño membuat kekeringan semakin parah. Informasi ini telah disampaikan sejak awal tahun 2023, dan seharusnya bisa diantisipasi, meskipun terkadang ada faktor tak terduga di lapangan. Mungkin perlu dievaluasi agar tidak terulang di masa depan.
BACA JUGA:
Bencana apa pun ada di Indonesia; orang bilang kita ini "supermarket bencana". Bagaimana kesadaran masyarakat akan hal ini?
Dibandingkan dengan sebelum 2005 dengan saat ini, ada peningkatan kesadaran yang sangat signifikan. Puncak kegagalan kita itu saat terjadi tsunami besar di Aceh 2004. Kita tidak siap, peringatan dini pun tidak ada. Setelah itu kita bangkit; tahun 2007, UU penanggulangan bencana disahkan. Tahun 2009, UU No. 31 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika disahkan. Saat itu, isu kebencanaan juga dimasukkan ke dalam kurikulum SD. Jadi, kesadaran masyarakat relatif baik.
Di kota Palu, sebenarnya sudah disiapkan untuk menghadapi gempa bumi dan tsunami. Data tahun 2001 sudah menunjukkan bahwa Palu itu rawan tsunami. BNPB, Bappenas, dan perguruan tinggi setempat sudah menyiapkan warga untuk menghadapi kondisi tersebut. Dosen-dosen dikirim ke luar negeri untuk belajar mengenai mitigasi bencana. Peta-peta rawan bencana dan jalur evakuasi juga telah dibuat. BMKG juga melakukan penelitian tentang pergeseran tanah. Pemerintah Kabupaten Donggala bahkan mengubah rencana pembangunan kantor setelah mendapat masukan dari kami. Namun, sampai tahun 2014, tidak ada gempa yang merusak atau tsunami di sana. Pimpinan yang sebelumnya telah dilatih untuk menghadapi bencana telah pindah tugas ke divisi lain. Tahun 2018, ketika semua orang sudah lupa, gempa besar dan tsunami datang di Palu.
Pelajaran apa yang bisa dipetik dari kasus di Palu ini?
Kata kuncinya adalah keberlanjutan, itu sangat penting. Bahwa setiap kali ada pergantian kepemimpinan, program peduli bencana harus tetap berlanjut. Jika pemimpin sebelumnya belum mencapai kesempurnaan, tugas pemimpin berikutnya melanjutkan dan menyempurnakan program tersebut. Contoh yang bagus adalah Sumatera Barat, mereka selalu memiliki program peduli bencana yang berkesinambungan. Bali dan DIY juga begitu, program peduli bencananya juga berlanjut.
Gempa, banjir, dan sebagainya adalah bencana; bagaimana mengoptimalkan hal itu untuk studi dan penelitian?
Setiap bencana yang terjadi tidak cukup hanya diratapi atau kita memberikan bantuan kepada warga yang terdampak. Harus ada pelajaran yang bisa dipetik. Mengapa korban yang ditimbulkan begitu banyak? Bangunan yang dibangun harus tahan gempa, dan asuransi yang dapat meng-cover bencana harus dipertimbangkan. Peneliti dan para ahli dapat belajar dari apa yang telah terjadi. Harapannya, mereka akan menemukan temuan atau produk teknologi yang dapat diimplementasikan untuk meminimalkan korban saat bencana terjadi.
Saya pernah meneliti tentang longsor, dan dari penelitian itu, kami mengembangkan teknologi peringatan dini untuk longsor. Teknologi ini telah dipasang dari Aceh hingga Papua. Bahkan, Myanmar, Vietnam, dan Amerika telah membeli teknologi ini untuk digunakan di negara-negara mereka. Jepang juga menggunakan teknologi kami saat membantu Nepal. Artinya, di balik bencana, terdapat hal-hal yang dapat ditemukan.
Apa saran Anda untuk masyarakat harus lebih peduli terhadap bencana?
Berdasarkan data dari BNPB, 95 persen bencana yang terjadi adalah bencana hidrometeorologi. Dengan meningkatnya suhu bumi, bencana hidrometeorologi akan terjadi lebih sering. El Nino dan La Nina sebelum tahun 1980 terjadi lima hingga tujuh tahun sekali. Setelah itu, data BMKG menunjukkan bahwa fenomena tersebut terjadi tiga hingga lima tahun sekali. Bahkan La Nina terjadi setiap tahun.
Prediksi BMKG prediksi suhu bumi di akhir abad 21 akan mengalami kenaikan sampai 3,5 derajat Celsius dibandingkan dengan zaman sebelum ada industri. Suhu udara permukaan di Indonesia dan dunia sudah naik 1,2 derajat Celsius. Saat kenaikan suhu baru 1,1 derajat lalu 1,2 derajat saja bencananya sudah seperti sekarang. Bagaimana kalau naiknya 3 atau 3,5 derajat celsius. Artinya tiga kali lipat dari sekarang. Kasihan anak cucu kita kalau bumi kita biarkan seperti ini.
Kondisi ini semoga bisa menyadarkan kita semua ya?
Ya, bahkan Organisasi Meteorologi Dunia memperkirakan di tahun 2050-an nanti akaj terjadi krisis pangan. Karena laju kekeringan yang semakin para akan menganggu pertanian, produksi pangan akan terganggu. Ini karen emisi gas rumah kaca yang melompat, ini terjadi karena aktivitas kita. Dari kendaraan, industri, dan lain-lain. Oleh karena itu, kita semua harus peduli, tidak boleh acuh. Gaya hidup yang meningkatkan suhu bumi harus ditinggalkan. Penggunaan energi yang ramah lingkungan (EBT) harus dipromosikan. Jika kita tidak peduli, semua orang akan merasakan dampaknya.
Dwikorita Karnawati, Selalu Siaga dan Sigap Saat Orang Beristirahat
Tiada hari tanpa siaga, mungkin itulah yang dilakukan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, MSc, PhD. Soalnya yang namanya bencana alam tak ada jadwalnya. Kadang terjadi di hari kerja dan kali lain di akhir pekan. Ketika semua orang sedang libur, dia beserta jajaran harus sigap menghadapi dampak bencana yang terjadi.
Meski sibuk dengan beragam tugas sebagai birokrat kini, dan dulu sebagai dosen dan peneliti, Prof. Rita, begitu dia kerap disapa, tetap mengupayakan sesi olahraga. “Meski sibuk, olahraga itu harus tetap dilakukan untuk menjaga kesehatan tubuh. Tak perlu yang mahal, yang penting peregangan, gerak badan, dan berjalan. Semua itu kan nyaris tak memerlukan biaya, pokoknya murah meriah tapi hasilnya sehat,” kata perempuan kelahiran Yogyakarta, 6 Juni 1964 ini.
Bukannya ia tak mau berolahraga secara khusus atau menghibur diri sekadar rileks dari rutinitas kerja. Namun, ia sudah berkomitmen sejak dilantik sebagai Kepala BMKG pada 2017 untuk selalu siap memberikan bantuan saat bencana datang. “Bencana itu datangnya tiba-tiba. Kadang di saat hari biasa dan kadang-kadang di akhir pekan saat banyak orang sedang berlibur. Kalau sudah ada laporan bencana alam di suatu daerah, saya harus siap membantu,” kata perempuan yang pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Gadjah Mada ini.
Karena kondisi yang harus selalu siaga itulah kata Rita, dia pun menyesuaikan diri untuk kegiatan olahraga yang dilakoninya. “Saat ke lapangan, saya manfaatkan untuk gerak badan. Soalnya kalau cek lapangan harus menempuh medan yang berat, kadang harus naik gunung dan menyusuri lembah. Kalau sudah begitu, saya menganggap aktivitas itu seperti olahraga sambil bekerja,” ungkap Guru Besar Geologi Lingkungan dan Mitigasi Bencana UGM.
Jangan Terlalu Banyak
Sejatinya Rita amat suka dengan makanan yang kata orang enak. Namun dia harus membatasi agar tetap bisa bekerja dan beraktivitas dengan baik. “Biasanya makanan yang kata orang enak itu cenderung tidak sehat. Saya tidak terlalu ketat, yang penting asupan makanan enaknya jangan berlebihan. Soalnya kalau berlebihan nanti tak bisa bekerja,” kata Dwikorita Karnawati.
Yang tak boleh ditawar bagi Rita adalah soal kebersihan. “Buat saya kebersihan itu paling utama. Karena itu saya harus mengecek benar makanan yang akan saya makan,” kata Rita yang penelitiannya dalam Sistem Peringatan Dini Longsor Berbasis Masyarakat, di The Institute for Advanced Studies, Bristol University, Inggris pada 2003 mendapat pujian banyak. Bahkan teknologinya sudah digunakan di banyak negara untuk mengurangi dampak bencana.
Gara-gara kurang memerhatikan atau sedikit abai dalam urusan kebersihan makanan, dia pernah mengalami diare saat memantau sebuah daerah terdampak bencana. “Saya pernah mengalami kejadian yang tidak mengenakkan karena makanan yang saya santap kebersihannya tak terjaga. Akhirnya saya kena diare. Kalau sudah seperti itu malah merepotkan dan tak bisa bekerja. Saya belajar dari kejadian itu dan selanjutnya menjaga benar soal kebersihan makanan yang saya makan,” terangnya.
Dukungan Keluarga
Rita bersyukur suaminya Prof. Ir. Sigit Priyanto, MSc, PhD, yang juga guru besar di almamater yang sama, memberikan dukungan penuh untuk aktivitasnya sebagai akademisi, peneliti, dan kini sebagai birokrat. “Sejak anak saya masih kecil mereka sudah saya ajak dan terlibat atas apa yang saya lakukan. Ketika mereka masih ASI, sudah saya ajak ke laboratorium. Kadang tengah malam hingga dini hari saya dorong menggunakan stroller,” katanya.
Jadi anak-anaknya sudah terlibat dengan aktivitasnya sejak mereka belum bisa bicara sampai sekarang mereka sudah punya anak. “Artinya anak saya itu, sejak mereka belum bisa bicara sampai sekarang sudah berkeluarga dan punya anak juga melihat kehidupan orang tuanya seperti apa. Insha Allah mereka paham dengan kesibukan ibu dan bapaknya,” ujarnya.
Ingin bermain dengan cucu bagi Rita tak perlu direncanakan. “Soalnya kalau direncanakan kadang buyar. Penyebabnya tidak lain adalah kegiatan dan tugasnya sebagai Kepala BMKG yang membuat dia harus selalu siaga. Selagi ada waktu untuk bermain dengan cucu ya saya lakukan. Kalau pas ada kesibukan yang lebih penting seperti ada bencana yang melanda, saya harus fokus pada peristiwa yang sedang terjadi. Main dengan cucunya ditunda dulu,” akunya.
Tips sehat yang lain dari Dwikorita Karnawati adalah melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslimah dengan baik. “Saat salat kita menjaga kesehatan jasmani dan rohani. Ketika kita salat kita istirahat sejenak dari rutinitas kerja. Pengalaman pribadi saya, setelah salat menjadi rileks. Mendengarkan ceramah agama melalui dunia maya juga menambah motivasinya dalam melakukan kebaikan,” katanya menyudahi perbincangan.
"Kata kuncinya adalah keberlanjutan, itu sangat penting. Bahwa setiap kali ada pergantian kepemimpinan, program peduli bencana harus tetap berlanjut. Jika pemimpin sebelumnya belum mencapai kesempurnaan, tugas pemimpin berikutnya melanjutkan dan menyempurnakan program tersebut,"