JAKARTA – Sejarah hari ini, 103 tahun yang lalu, 27 Oktober 1919, Mohammad Husni (M.H) Thamrin diangkat pemerintah kolonial Hindia-Belanda sebagai Anggota Dewan Kota Batavia. Jabatan itu membuat Thamrin memiliki kapasitas besar membela orang Betawi dan kaum bumiputra.
Ia acap kali bersuara supaya kaumnya dapat perlakukan setara. Tak hanya itu, Thamrin juga aktif menyokong pejuang kemerdekaan untuk mengumandangkan perlawanan terhadap Belanda. Semua dilakukan Thamrin karena gerah melihat penjajahan.
Perjalanan hidup Thamrin penuh dengan dinamika. Ia terlahir dalam keluarga yang berada. Ayahnya adalah seorang abmtenaar. Sedang kakeknya adalah pengusaha. Status itu membuat Thamrin dapat mengakses pendidikan.
Meski begitu, Thamrin tak lantas membuat batas dengan teman-temannya. Ia berteman dengan siapa saja. Apapun latar belakang keluarganya. Thamrin tak peduli. Karenanya, Thamrin punya banyak teman. Utamanya yang berasal dari jelata.
Nyatanya, keluwesan Thamrin yang mampu berteman kepada siapa saja membuatnya peka akan lingkungan sekitar. Ia menyaksikan sendiri bagaimana pemerintah Hindia-Belanda membelakukan orang kaum bumiputra, khususnya orang Betawi.
Kaum bumiputra justru berada dalam strata terendah Hindia-Belanda. Mereka kalah dengan orang China dan Eropa. Diskriminasi ras cukup terlihat dari ragam kebijakan yang buat. Orang Eropa dan China didahulukan. Sedang kaum bumiputra tak diakui sama sekali. Mereka sukar mendapatkan akses hidup yang layak, air bersih, pekerjaan, hingga hak istimewa lainnya.
“Pertumbuhannya menjadi besar menambah semarak keluarganya. Sebagaimana halnya anak-anak sebayanya, Muhammad Husni Thamrin pun mempunyai sifat-sifat nakal bandel dan semacamnya. Dia mempunyai beberapa orang teman sebayanya yang merupakan teman sepermainan sehari-harinya. Yang menarik dalam hal hubungan perkawanannya itu ialah bahwa di antara sekian banyak temannya itu, pada umumnya berasal dari rakyat biasa, orang-orang kecil.”
“Mereka bukan anak anak yang berasal dari kelas masyarakat ambtenaar sebagaimana asalnya sendiri. Kawan-kawannya itu bukanlah anak-anak wedana, anak-anak kepala kampung, bukan pula anak-anak pedagang besar atau yang semacamnya. Mereka justru adalah anak-anak penjual nasi atau anak-anak tukang gerobak dan atau penjual bunga untuk keperluan ziarah ke kuburan dan semacamnya,” ungkap Sejarawan Anhar Gonggong dalam buku Muhammad Husni Thamrin (1985).
Pemikiran Thamrin semakin berkembang ketika ia beranjak dewasa. Pun begitu pula dengan peluang Thamrin memperjuangkan hak kaumnya yang terbuka lebar. Perkenalan Thamrin dengan seorang Belanda bernama Van Der Zee menguatkan keinginannya.
Tokoh politik sosialis yang berkerja di Gemeenteraad (Dewan kota) Batavia banyak membuka cakrawala berpikir Thamrin. Van Der Zee juga membukakan pintu supaya Thamrin dapat menjadi salah satu Anggota Dewan Kota Batavia dari kaum bumiputra pada 27 Oktober 1919.
Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Thamrin. Dewan Kota jadi panggung Thamrin untuk bersinar. Retorikanya menggelegar. Belanda dipaksa peduli dengan kaumnya. Bahkan, Belanda sampai tak mampu menolak segala macam tuntutan Thamrin untuk memperbaiki nasib kaum bumiputra.
"Apabila saya ikuti hati saya, pastilah hari ini saya akan melontarkan kepada sidang yang terhormat ini semua isi hati saya. Sejak kecil, saya dihadapkan pada kenyataan pahit kehidupan kaum saya: banjir yang menimbulkan kemelaratan dan penyakit. Saya melihat sendiri, seorang sahabat saya mati karena malaria. Saya pun merasa tidak semestinya bila emak sahabat saya mencuci beras dengan air kali yang kecokelat-cokelatan.”
“Saya melihat sendiri betapa becek kampung dan jalanan di kampung tempat saya bermain. Betapa gelap di malam hari karena tidak ada penerangan. Saya ingin semuanya itu berubah. Jalan-jalan menjadi jalan aspal, banjir ditiadakan, air minum hendaknya air yang bersih, kesehatan hendaknya dapat dipelihara. Jalanan mendapat lampu penerangan. Saya hanya mengharapkan agar semua cita-cita saya itu dapat menjadi kenyataan" terang M.H. Thamrin dalam pidato pengangkatannya sebagai Anggota Dewan Kota Batavia sebagaimana ditulis Toto Widyarsono dalam buku Cahaya di Batavia (2018).
VOIR éGALEMENT:
The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)