JAKARTA - Di usianya ke-43 tahun, Marcella Zalianty seakan tidak kehabisan ruang untuk eksplorasi. Tahun ini, ia berkesempatan untuk debut di panggung teater Laksamana Malahayati yang merupakan kolaborasinya dengan TNI Angkatan Laut (AL).
Terhitung sebagai aktor senior, nyatanya Marcella masih merasakan keraguan ketika mengenang proses akting untuk teater. Ia tidak ragu menyebut proyek itu nyaris tidak bisa dijalani. Tapi toh keraguannya sirna juga karena pertunjukan pada 9 September lalu itu sukses digelar.
“Sesuatu yang bisa dikatakan hampir tidak mungkin tapi akhirnya itu bisa terjadi, Alhamdulillah dengan antusias dan respons yang luar biasa dari semua yang menonton. Itu membuat kita punya perasaan yang susah diterjemahkan dengan kata-kata dan lega banget,” kata Marcella Zalianty kepada VOI pada petang itu.
Selain berakting, Marcella juga menjadi produser untuk teater ini. Karakter Laksamana Malahayati sudah menjadi keinginannya untuk dibagikan dalam berbagai medium.
“Saya terinspirasi dari tokoh ini tuh sejak 2007. Pokoknya sebelum beliau diangkat menjadi pahlawan nasional. Bahkan saya sudah mengetahui sudah tentang tokoh ini, saya pelajari riset, saya pergi ke Aceh, saya ke kuburannya. Seperti napak tilas mencari jejak-jejaknya sampai ketemu arkeolog dengan senior-senior sejarawan,” kenang Marcella mengingat proses dasarnya.
“Baca berbagai literatur kemudian FGD (forum group discussion) yang mengundang para kepala adat terus tokoh budayawan di sana. Akhirnya saya membuat komik karena menurut saya cerita ini penting sekali dan kok anak bangsa kita bisa gak tahu?” katanya.
Malahayati merupakan laksamana perempuan pertama di dunia. Tokoh maritim ini ternyata tidak mendapat sorotan meski ia menjadi sosok pahlawan perempuan di Indonesia.
“Menurut saya ada jejak yang terlewat yang mana adalah tokoh ini tidak hanya penting tapi dia adalah simbol budaya kita. Dan juga identitas negara kita yaitu negara maritim. Ini adalah wujud dari simbol kejayaan maritim kita tapi identitas itu seperti hilang ditelan waktu,” jelasnya.
“Kalau kita hanya tahu pahlawan-pahlawan perempuan khususnya Kartini, Cut Nyak Dien semua punya kehebatan masing-masing. Mereka punya cara diplomasi tapi malah Hayati memperjuangkan nyawa dengan darahnya, membela bangsanya, kedaulatan tanah air dan buat saya itu luar biasa artinya perempuan di dalam sejarah klasik nusantara, hanya satu-satunya yang saya temukan begitu kompleks,” katanya lagi.
Ide untuk mengenalkan Malahayati diwujudkan pertama kali melalui komik pada tahun 2018. Marcella menjelaskan, ide itu terlintas karena ia memiliki dua anak yang menggemari komik luar khususnya superhero, namun tidak pernah mengetahui pahlawan dalam negeri.
Magali, salah satu anak Marcella juga sempat diikutkan dalam teater Malahayati. Ini menjadi kebanggaan bagi Marcella yang melihat sang anak mencoba hal baru yang jauh dari minatnya.
“Sebenarnya Magali jauh dari saya, lebih ke bapaknya. Dia suka adrenalin tinggi, hari-hari ya sepeda ngetrill, balap, mobil, kalau mas Kana lebih film. Dengan bermain di situ dia punya pengalaman dan artinya dia dekat terus sama ibunya,” tuturnya.
“Ternyata ketika mereka baca, mereka bilang Indonesia punya their own wonder woman dan buat saya itu keberhasilan yang menjawab. Pemikiran saya mungkin betul bahwa pahlawan-pahlawan kita itu bagus untuk dikomunikasikan dengan cara-cara demikian untuk anak jadi tahu dan paham,” kata wanita kelahiran 7 Maret tersebut.
Kemudian, ia ingin mengenalkan Malahayati dalam format film. Sebagai salah satu sineas, Marcella Zalianty membenarkan bahwa film adalah sesuatu yang kuat untuk menyampaikan sebuah pesan baik itu promosi atau edukasi. Sayangnya rencana itu belum terealisasi lantaran sempat terhalang pandemi.
“Menurut saya, film masih menjadi nomor satu media komunikasi paling powerful maka itu ketika Laksamana Hayati diangkat, dia punya latar menarik sementara ngeliat film yang berkembang di beberapa negara yg memang filmnya sangat maju, mereka banyak mengangkat tema yang punya latar laut, women empowerment, kesetaraan,” lanjut Marcella.
Di tengah kurangnya kemampuan untuk menggarap film, Marcella mulai menemukan dunia teater di Indonesia yang mulai berkembang. Ia kemudian mengajak Jay Subiakto sebagai sutradara serta Iswandi sebagai penulis untuk mengerjakan teaternya.
“Saya melihat gairah yang tumbuh dalam dunia pertunjukan. Seni pertunjukan tanah air perlu disupport, perlu dihadirkan hal berbeda. Saya berpikir konteks Malahayati kalau dibawa ke panggung juga menarik karena dia punya latar setting yang bisa menghadirkan experience berbeda, laut, set yang mungkin ada cukup megah tinggi untuk menggambarkan kekuatan kebesaran dia,” kata putri Tetty Liz itu.
Baca juga:
“Menurut saya, ini tantangan di tengah maskulinitas tapi ada poetic yang disampaikan jadi akhirnya kita sepakat untuk mengangkat ini ke dalam dunia teater lalu saya langsung menemui pimpinan Angkatan Laut dan panglima karena ini tokoh angkatan laut,” ujarnya.
Waktunya begitu tepat lantaran produksi teater ini dibuat ketika hari ulang tahun Angkatan Laut akan segera dirayakan. Marcella merasa hadirnya teater Malahayati ini juga menambah apresiasi terhadap AL serta maritim.
“Ketika diangkat pementasan, banyak media yang baru mengetahui ada tokoh Laksmana Malahayati dan akhirnya mereka mencari tahu Aceh karena nonton pentas itu. Inilah salah satu kekuatannya kesenian ruang untuk kita mengangkat hal seperti ini,” kata Marcella.
Dedikasi Seorang Wanita
Sebagai sesama wanita, Marcella Zalianty memandang Malahayati adalah tokoh yang tidak hanya berjuang untuk negara, tapi juga menjadi figur wanita dan ibu yang menjaga keluarga. Hal itu yang menjadi inspirasi Marcella Zalianty untuk menggarap karakter ini dalam bentuk teater.
“Saya melihat Malahayati tidak lepas dari seorang perempuan, ibu, bagaimana dia harus berjuang mempertahankan keluarganya dan juga di tengah berbuat untuk lebih besar untuk bangsa negara, kedaulatan tanah airnya," kata Marcella memuji.
"Bagaimana dia belajar juga sebagai manusia, bagaimana dia yang akhirnya punya kesadaran kontrol itu menjadi rasa berjuang untuk kecintaan dia terhadap tanah air dan para perempuan atau kaumnya atau bangsanya,” jelasnya.
Marcella Zalianty tumbuh sebagai seorang wanita berkarier yang mengerahkan seluruh kemampuannya dalam berbagai sektor. Mungkin aktingnya beberapa kali Anda jumpai dalam serial atau film, tapi juga Anda mungkin pernah melihatnya menghadiri beberapa acara yang jauh dari dunia hiburan.
Memerankan karakter Malahayati juga membuat kakak dari Olivia Zalianty itu merasakan energinya sangat tersita. Selain belajar akting, ia juga mempelajari dialog, gaya bahasa, hingga sedikit ilmu bela diri.
“Gak gampang jadi produser, main apalagi pentas pertama kali. Mungkin produser di film itu dan main di Batas dan menjadi sutradara di Rectoverso. Tadinya saya pikir film dan sutradara itu lebih sulit. Tapi begitu kemarin di Malahayati, saya merasakan memang ternyata Malahayati menyedot energi luar biasa dan dia menjadi ruh dari seluruh pertunjukkan, kalau dia mati tenggelam ini tidak jadi apa apa,” katanya.
Dalam berakting, Marcella Zalianty menganggap teater jauh lebih menegangkan daripada bermain film. Ia merasa harus menggenggam dan mendapat atensi audiens ketika berada di atas panggung, beda dengan film yang sudah melewati proses produksi.
“Jadi hidup matinya tuh semua ada pada saat itu, di panggung. Itulah magicnya tapi itu juga stressful, beban tapi rasa yang mungkin gak bisa diulang. Jadi kalau berhasil, kepuasannya tuh ada buat saya. Bagaimana yang saya rasakan bisa menebus penonton yang menonton di luar kamera tapi tidak bisa berlebihan karena itu begitu dekat. Kalau di teater, proyeksinya lebih besar karena kita harus menggenggam penonton,” lanjut Marcella.
Sebagai produser, ia ingin terus mengembangkan cerita terutama pahlawan wanita. Pasalnya, belum banyak yang mengeksplor cerita pahlawan secara umum, terlebih sifatnya kelautan. Ia ingin generasi muda dan generasi mendatang punya eksplorasi untuk mengetahui bahwa Indonesia memiliki pahlawannya sendiri.
Marcella juga mengakui sebagai wanita, ia juga dituntut terus menampilkan kualitas. Hal ini yang menyebabkan ia sudah tidak seaktif dahulu dalam berakting. Kini, ia mulai belajar menyusun prioritas sembari mengerjakan segala yang diinginkannya.
“Aku pasti milih jadi aku memang tidak mengejar kuantitas tapi aku memilih kualitas. Aku merasa ada kualitas dengan aku jalankan dalam arti aku bisa belajar sesuatu. Saya cinta dengan dunia seni peran jadi saya kerjakan dengan hati dan milih,” kata istri Ananda Mikola.
“Sebenarnya prioritas gimana ada skalanya hanya kita harus menanamkan pada diri kita bahwa kita harus mau berkorban waktu yang mungkin bisa kita lakukan, ketika kita mau jadi ibu bekerja. Sejak saya menjadi ibu ya prioritas anak saya. Saya bekerja untuk anak-anak juga tapi bisa punya prinsip perempuan harus mandiri, bekerja,” kata Marcella.
Pertemuan kami hari itu juga melalui berbagai perjuangan. Hari itu, Marcella menjelaskan aktivitasnya adalah mengerjakan keperluan bisnis, tapi juga menyempatkan hadir di sekolah untuk keperluan sang anak.
“Kalau bisa aktif dan bermanfaat untuk lingkungan kenapa tidak, lo harus capek, kurang tidur. Mungkin kurang waktu bersosialisasi, liburan, arisan, forget it! Ketika ada waktu itu ya kerja, ada luang pasti spend time with kids,” katanya.
“Saya merasa alhamdulillah dengan segala sesuatu dan saya memilih risiko itu untuk tetap bisa berkarya tapi anak tidak terbengkalai dan tidak kekurangan apapun,” tegasnya.
Bintang film Catatan Si Boy itu meyakini, setiap wanita memiliki kelebihan dan keinginan. Melalui pasang surut dalam hidup, Marcella Zalianty bertekad untuk menjalani dan mencapai semua yang dia inginkan. Keluarga yang baik adalah keluarga yang memberi dukungan.
“Waktu itu singkat jadi mengaktualisasi usia produktif karena ini tidak selamanya. Manfaatkan untuk kita berikan dan anak-anak dan generasi selanjutnya. We just never know what happen in life. Kita tidak boleh menggantungkan diri kita pada siapapun. Kita harus yakin bahwa kita tetap berdiri di kaki kita sendiri. Insya Allah, itu yang akan menyelamatkan kita,” kata Marcella Zalianty.
The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)