Partager:

Keberadaan PT Dirgantara Indonesia (PTDI) di tengah kebutuhan industri penerbangan yang terus meningkat amat strategis. Dirut PTDI, Gita Amperiawan, menegaskan perusahaannya yang didukung oleh ratusan insinyur dan tenaga ahli berhasil untuk pertama kalinya menuntaskan produksi pesawat N219 dari tahap perancangan hingga mendapatkan sertifikasi.

***

Sertifikasi untuk pesawat N219 ini diserahkan oleh Ditjen Perhubungan Udara kepada PTDI, disaksikan langsung oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi di Jakarta, Senin, 28 Desember 2020 lalu. Kini, PTDI tengah menyiapkan produksi massal untuk pesawat baling-baling 19 penumpang yang memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan pesawat sejenis.

Menurut Gita Amperiawan, capaian yang diraih oleh para insinyur yang mengabdi di PTDI ini layak diapresiasi. Inilah kali pertama perusahaan dirgantara kebanggaan bangsa ini mencapai satu fase penting dalam produksi pesawat.

“Pesawat N219 adalah produk yang melibatkan tenaga ahli anak bangsa. Dari mulai desain sampai produksi, terlibat sekitar 400 insinyur. Dan ini adalah yang pertama dalam sejarah penerbangan kita, membuat pesawat, lalu kita proses untuk sertifikasi sampai selesai dan siap diproduksi massal. Mudah-mudahan ini menjadi penerus cita-cita mendiang Pak Habibie dalam membangun Pesawat N250,” ujarnya.

Meski belakangan media mempublikasikan secara luas kecelakaan pesawat Jeju Air di bandara Muan Korea Selatan Minggu 29 Desember, jatuhnya pesawat Azerbaijan 25 Desember dan sejumlah kecelakaan lainnnya, tingkat keamanan angkutan udara ini masih lebih baik dibandingkan moda transportasi darat dan laut. Karena pembuatan pesawat dan pengoperasiannya menggunakan standar keamanan yang tinggi. “Kami membuat pesawat dengan keamanan yang tinggi, sebelum beroperasi juga  harus mendapat sertifikasi. Itu tak mudah mendapatkannya,” katanya.

Di kawasan Asia Tenggara, PTDI adalah satu-satunya industri dirgantara yang eksis. Namun, kata dia, banyak yang belum mengetahui kondisi ini. Ia sempat iri dengan kota Sacheon, Provinsi Gyeongsang Selatan, Korea Selatan, markas Korea Aerospace Industries (KAI) yang menjadi kebanggaan negeri ginseng itu.

“Orang yang ke Bandung tak banyak yang tahu kalau ada PTDI yang produksinya pesawat terbang. Karena itu, dana CSR (Corporate Social Responsibility) kami gunakan untuk program edutainment bagi pelajar dan mahasiswa di akhir pekan,” kata Gita Amperiawan kepada Edy Suherli, Bambang Eros, Irfan Meidianto, dan Dandi Juniar saat singgah di kantor VOI belum lama berselang. Inilah petikan selengkapnya.

Menurut Dirut PTDI Gita Amperiawan pesawat N219 yang mereka produksi memiliki keunggulan dibandingkan dengan pesawat sejenis. (Foto: Bambang Eros, DI: Raga Granada VOI)
Menurut Dirut PTDI Gita Amperiawan pesawat N219 yang mereka produksi memiliki keunggulan dibandingkan dengan pesawat sejenis. (Foto: Bambang Eros, DI: Raga Granada VOI)

Apa target utama PTDI dalam mengembangkan pesawat N219?

Pesawat N219 adalah produk yang melibatkan tenaga ahli anak bangsa. Dari mulai desain hingga produksi, sekitar 400 insinyur terlibat. Ini adalah yang pertama dalam sejarah penerbangan kita, membuat pesawat, lalu memprosesnya hingga mendapatkan sertifikasi dan siap diproduksi massal. Mudah-mudahan ini menjadi penerus cita-cita mendiang Pak Habibie dalam membangun Pesawat N250. Dengan memproduksi N219, PTDI berhasil menyelesaikan satu siklus dalam pembuatan pesawat, dari desain hingga mendapatkan sertifikasi. Saat ini, pesawat sudah masuk ke fase produksi.

Pesawat N219 juga menjadi wahana bagi PTDI untuk mulai penetrasi secara agresif ke pasar komersial. Dulu, PTDI pernah melakukannya untuk pesawat CN250, namun tidak berkembang. Jadi sekarang kami akan memulai lagi. Selain itu, kami juga membidik pasar pertahanan dan pasar komersial karena sektor ini memiliki peluang yang sangat besar.

Apa saja kelebihan pesawat N219?

Pesawat ini adalah pesawat 19 penumpang yang serbaguna (multi-purpose). Kelebihan pesawat N219 adalah kemampuannya tinggal landas dan mendarat di landasan pendek, yaitu sekitar 600 meter hingga 800 meter. Landasannya tidak harus beraspal; pesawat ini juga bisa digunakan di atas tanah liat atau rumput. Pesawat ini sangat cocok untuk penerbangan perintis dengan landasan bandara pendek. Hampir 100 bandara perintis di Indonesia memiliki landasan pacu di bawah 1.000 meter.

Pesawat N219 sangat sesuai untuk menjangkau daerah 3T (Terdepan, Terpencil, dan Terluar). Daerah-daerah ini memiliki karakter unik dengan landasan pacu pendek. Selain itu, kecepatan stol (short take-off and landing) pesawat ini dirancang rendah, sehingga sebelum mendarat, pesawat dapat mengitari bukit. Pesawat ini cocok dengan kondisi geografis daerah terpencil yang memiliki fasilitas bandara minim.

Apakah sudah ada spesifikasi amfibi, mengingat wilayah negara kita kepulauan?

Pengembangan selanjutnya adalah pesawat amfibi. Alhamdulillah, langkah ke arah itu sudah dimulai melalui pesanan BRIN. Dari Bappenas, sudah ada lampu hijau untuk membantu pengembangan pesawat ini dari versi dasar yang telah mendapatkan sertifikasi menuju versi amfibi. Meski spesifikasinya untuk mendarat di air, pesawat ini masih bisa mendarat di landasan biasa karena dilengkapi roda untuk pendaratan di darat.

Sampai saat ini, pihak mana saja yang sudah menyatakan minat untuk membeli N219?

Sejak mendapatkan sertifikasi pada Desember 2020, pesanan datang dari berbagai pihak. Kementerian Pertahanan RI, di bawah kepemimpinan Pak Prabowo sebagai Menhan, telah memesan pesawat ini. Saat ini, kami juga sudah masuk ke pasar komersial. Perjuangan kami panjang, termasuk menyiapkan layanan untuk servis berkala serta menyediakan lembaga pendanaan. Kami menawarkan skema pembiayaan dan sistem kepada calon pembeli.

Kami telah merintis proyek dengan beberapa pemerintah daerah melalui program pengentasan ekonomi yang didukung Bappenas. Proyek pertama adalah di Provinsi Kepulauan Riau, di mana pesawat N219 digunakan sebagai sarana konektivitas wilayah.

Saat berhubungan dengan perbankan yang berminat menjadi penyedia dana, mereka bertanya apakah secondary market-nya sudah terbentuk. Ini tantangan baru bagi kami. Namun, di ajang Bali International Air Show baru-baru ini, kami telah menandatangani pemesanan dengan dua pihak. Kami berharap dalam waktu dekat ini akan dilanjutkan dengan kontrak pembelian.

Kami juga sudah menandatangani kontrak pembelian dengan seorang pengusaha nasional yang memiliki tambang di Kongo. Di Afrika, pesawat N219 sangat efektif untuk daerah terpencil. Hingga saat ini, total sudah ada 5 kontrak pembuatan pesawat N219 yang kami kerjakan. Dengan ini, kami telah masuk ke tahap komersial.

Jadi, PTDI banyak belajar dalam pemasaran pesawat?

Luar biasa, ini benar-benar sesuatu yang baru bagi PTDI.

Dana CSR kata Dirut PTDI Gita Amperiawan mereka gunakan untuk mengundang pelajar SMA dan mahasiswa berwisata ke perusahaan mereka. Ternyata ini disambut baik, sekarang anak TK dan PAUD pun berwisata ke PTDI di akhir pekan. (Foto: Bambang Eros, DI: Raga Granada VOI)

Dana CSR kata Dirut PTDI Gita Amperiawan mereka gunakan untuk mengundang pelajar SMA dan mahasiswa berwisata ke perusahaan mereka. Ternyata ini disambut baik, sekarang anak TK dan PAUD pun berwisata ke PTDI di akhir pekan. (Foto: Bambang Eros, DI: Raga Granada VOI)

Saat ini untuk pesawat sekelas N219 ini pesaingnya apa saja?

Banyak pabrikan yang membuat pesawat sekelas ini. Twin Otter sudah lebih dulu menggarap kelas ini, lalu Cessna dengan produknya 408 SkyCourier. Caravan juga dari Cessna, meski lebih kecil (9 penumpang), bisa menjadi pesaing juga. Semua kompetitor itu dari luar negeri. Ke depan, bagaimana N219 ini bisa menjadi solusi untuk konektivitas wilayah negara kita.

Seberapa besar peluang memenangkan persaingan dengan kompetitor yang sudah lebih dulu eksis?

Setiap produsen punya kelebihan masing-masing. Soal performa, kita berani bersaing, termasuk dengan SkyCourier misalnya. Ada yang bilang mereka lebih baik, tapi untuk lepas landas dan mendarat, mereka perlu landasan 1.300 m. Sementara N219 cukup 600–800 m. Ada juga yang cuma satu mesin seperti Caravan, sedangkan N219 memiliki dua mesin, jadi ini lebih aman kalau mesin satunya bermasalah saat terbang. Untuk muatan, kita bisa bersaing dengan Twin Otter yang di bawah 2 ton; kita bisa dua ton lebih. Selain itu, di dalamnya N219 lebih lega, tinggi kabinnya 170 cm, sementara yang lain rata-rata 150 cm. Saya sudah membawa beberapa calon pembeli, dan mereka nyaman dengan pesawat ini.

Bagaimana soal harga jual?

Dibandingkan dengan SkyCourier dan yang lainnya, kita masih bisa bersaing soal harga. TKDN (tingkat kandungan dalam negeri) N219 ini 44,69%. Kita akan terus tingkatkan sampai 60% TKDN pesawat ini. Tantangan berikutnya adalah menyediakan supply chain atau rantai pasokan ketika pesawat sudah diproduksi massal. Dengan keunggulan ini, kami optimis bisa bersaing ke depan. Idealnya PTDI itu punya leasing sendiri untuk mendukung penjualan N219 ini.

Industri dirgantara ini bisa memberikan nilai tambah bagi ekonomi. Kami akan bikin ekosistemnya. Industri dirgantara itu dahsyat. Karena itu, kami meminta pemerintah untuk memanfaatkan peluang ini. Dengan pesawat, daerah-daerah bisa mengatasi kendala konektivitas dan membuka jalur distribusi logistik.

Ilham Habibie dalam sebuah wawancara dengan VOI mengatakan ceruk pasar untuk pesawat tipe kecil ini sangat besar untuk wilayah seperti Indonesia, apa komentar Anda?

Saya setuju dengan pendapat itu. N219 masuk kategori pesawat kecil, dan potensi serta ceruk pasarnya sangat besar untuk penerbangan perintis. Ini juga bisa membuka wilayah terpencil. Kami melihat di Kepulauan Riau dan wilayah-wilayah lain di Indonesia yang dipisahkan laut dan medan berat, pesawat kecil ini bisa menjadi solusi. Seperti yang saya ungkap tadi, landasan relatif pendek, dan tidak harus aspal. Landasan tanah liat dan rumput pun bisa digunakan untuk mendarat. Selain itu, maintenance-nya juga dirancang simpel. N219 ini dirancang untuk menjadi solusi menghubungkan wilayah pelosok di Tanah Air.

Selain prioritas untuk pasar domestik, dalam waktu bersamaan, kami juga melakukan penetrasi untuk pasar global. Beberapa negara sudah menyatakan ketertarikan untuk menggunakan pesawat ini. Tinggal kami lanjutkan dengan MoU agar lebih maju dan kemudian produksi.

Selain N219, apalagi pesawat yang menjadi unggulan PTDI?

Pesawat NC212 dan CN235 adalah pesawat yang sudah cukup lama kami produksi. NC212 dulu kami produksi bersama Airbus, namun saat ini Airbus sudah tidak memproduksi lagi. Artinya, kami menjadi pembuat tunggal. Alhamdulillah, dalam lawatan Presiden Prabowo ke Brasil dan Peru tempo hari, ada MoU dengan PTDI. Di Lima, Peru, kami MoU dengan perusahaan lokal untuk MRO CN235 dan NC212 untuk Amerika Latin. Mereka menyiapkan sekitar 2 juta Dolar Amerika untuk dua tahun melakukan perawatan dan membuat pesawat CN235 dan NC212 yang tidak laik terbang menjadi laik terbang. Ini pasar besar bagi PTDI, dan kami sudah punya rekan perusahaan lokal yang mengerjakannya.

Selain ke Amerika Latin, kami juga melakukan penetrasi ke Afrika, ke Senegal, dan Nigeria. Kalau Asia, sudah kami lakukan sejak lama. Strategi kami: pertama, bagaimana memaksimalkan PTDI sebagai penyuplai alutsista dan pesawat untuk TNI. Kedua, bagaimana kami masuk ke pasar komersial. Dan ketiga, bagaimana menjajaki peluang ekspor untuk produk PTDI.

Menurut Anda, mengapa maskapai nasional kita masih menggunakan pesawat perintis dari pabrikan mancanegara, bukan dari produksi PTDI? Apa kendalanya?

Setahu saya, kendala utama itu di sektor pendanaan. Untuk produsen pesawat luar negeri, mereka sudah memiliki dukungan pendanaan. PTDI belum memiliki leasing atau lembaga pendanaan serupa. Memang harus ada yang membeli terlebih dahulu. Kami berterima kasih kepada salah satu operator di Kepri yang akan membeli dua pesawat N219. Saat ini, kami masih memproses sertifikasi dari Kemenhub agar N219 ini dapat digunakan oleh perusahaan kargo nasional.

Di luar soal produksi pesawat, kawasan PTDI sekarang dibuka juga untuk kunjungan wisatawan di hari Jumat dan akhir pekan. Idenya dari mana ini?

Ini adalah bagian dari CSR kami. Idenya berawal dari kerja sama kami dengan Korea Aerospace Industries (KAI) yang berlokasi di Kota Sacheon, Provinsi Gyeongsang Selatan, Korea Selatan. Di sana, orang yang baru datang langsung mengetahui bahwa di kota tersebut ada industri pesawat terbang. Penanda-penanda di kota itu cukup banyak, seperti taksi dengan ornamen berbentuk pesawat, dan lain-lain.

Saat orang ke Bandung, keluar Tol Pasteur, mereka tidak tahu bahwa di sampingnya ada lokasi industri pesawat terbang satu-satunya di Asia Tenggara. Maka dari itu, saya bilang kepada teman-teman, kita harus mengenalkan PTDI ini ke masyarakat. Kemudian, kami menyalurkan CSR melalui program edutainment. Anak sekolah bisa berkunjung ke PTDI di hari Jumat dan akhir pekan. Judulnya wisata, tetapi ada muatan edukasinya. Anak-anak masuknya gratis, dan kami juga menyiapkan Bandros (bus wisata kota Bandung).

Tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan edutainment ini apa?

Kami ingin menunjukkan kepada masyarakat, khususnya pelajar, bahwa PTDI itu ada dan masih kuat. Kami masih berproduksi dan menghasilkan pesawat yang bisa bersaing dengan produsen pesawat dari negara lain. Ternyata, antusiasme pengunjung di luar perkiraan kami. Sasaran awal kami adalah anak SMA atau perguruan tinggi, tetapi sekarang yang datang juga anak-anak PAUD dan TK. Pokoknya, akhir pekan PTDI ramai dikunjungi para pelajar untuk wisata.

Sejak anak-anak, kami sudah mengenalkan bahwa negara kita memiliki industri pesawat. Lebih jauh lagi, kami berharap anak-anak akan bangga dengan industri pesawat kita. Selanjutnya, kami berharap mereka akan mencintai dunia kedirgantaraan, dan kelak semoga muncul Habibie-Habibie muda sebagai penerus. Sejak 2023, program edutainment ini diadakan tanpa pernah sepi. Bahkan, pengunjung datang dari luar kota, tidak hanya dari Bandung.

Fasilitas pelengkap lain apa yang disediakan?

Kami juga menyediakan kafe bagi pengunjung yang ingin bersantai sembari menunggu anak-anak mereka mengelilingi PTDI. Sekadar untuk ngopi, ngeteh, atau menikmati camilan. Nama kafenya adalah RunWay Cafe. Dengan adanya program edutainment ini, sense of ownership kaum milenial terhadap industri dirgantara nasional meningkat. Kalau ingin berdialog dengan anak-anak muda, saya tinggal mengumpulkan mereka di kafe, tanpa birokrasi yang kaku. Sambil diskusi, nyanyi, dan makan-makan. Saya juga sering membawa keluarga ke kafe ini.

Apa lagi yang dilakukan PTDI agar lebih bermanfaat bagi lingkungan sekitar?

Kami memiliki kemampuan dalam merancang mesin. Salah satu program CSR kami adalah bekerja sama dengan Paguyuban Pasundan dan Universitas Pasundan untuk membangun Sorgum Center. Tujuannya adalah meningkatkan kesejahteraan petani sorgum di Jawa Barat. PTDI merancang mesin pengolahan sorgum yang dapat berpindah-pindah. Kami juga telah membuat MoU dengan tujuh institusi terkait, seperti Kementerian Pertanian, Badan Pangan Nasional, dan lainnya. Saat ini, kami sedang menunggu offtaker yang berminat dengan mesin yang sudah dirancang dan akan segera diproduksi.

CSR PTDI ini cocok sekali dengan program swasembada pangan Presiden Prabowo?

Ya, begitulah. Semoga program makan bergizi di Jawa Barat dapat mengadopsi menu berbahan dasar sorgum setidaknya satu hari dalam seminggu. Jika terealisasi, ini akan sangat membantu. Lahan-lahan tidur di Jawa Barat dapat dimaksimalkan. Sorgum itu tanaman yang tahan banting, perawatannya mudah, dan gizinya tinggi. Sorgum dapat diolah menjadi beras sorgum, tepung sorgum, bioetanol, serta pakan ternak.

 

Gita Amperiawan dan Hobi Memperbaiki Barang Antik

Kendaraan yang mogok dan tak lain jalan adalah tantangan bagi Gita Amperiawan untuk diutak-atik agar bisa jalan kembali. (Foto: Bambang Eros, DI: Raga Granada VOI)

Kendaraan yang mogok dan tak lain jalan adalah tantangan bagi Gita Amperiawan untuk diutak-atik agar bisa jalan kembali. (Foto: Bambang Eros, DI: Raga Granada VOI)

Motor atau mobil rusak yang sudah tak bisa berjalan adalah tantangan bagi Gita Amperiawan. Di tangannya, motor yang tadinya nyaris menjadi barang rongsokan berubah menjadi laik jalan dan menjadi barang antik yang bernilai.

Saat bertugas di Malang, Jawa Timur, ia banyak menemukan motor dan mobil yang sudah tak bisa dijalankan lagi. “Sejak dulu saya itu hobinya senang mendandani motor yang sudah rusak. Sekitar lima atau enam tahun lalu saya memperbaiki motor Triumph tua sampai bisa berjalan lagi,” kenang pria yang sebelum bergabung dengan PTDI Gita Amperiawan merupakan perwira tinggi TNI Angkatan Udara dengan pangkat Marsekal Muda (Marsda).

Bagi Gita, ada kebahagiaan tersendiri saat berhasil memperbaiki mobil atau motor yang sudah tak bisa dikendarai lagi karena usia tua atau onderdilnya yang sudah tak berfungsi. “Di Malang, Pasuruan, dan sekitarnya itu dulu ada pabrik gula sekitar tahun 1900-an. Saat itu sudah berseliweran motor dan mobil yang di zamannya terbilang sangat maju. Namun, karena usia, sudah tak bisa jalan. Melihat kondisi ini, saya perbaiki satu demi satu,” lanjutnya.

Ternyata saat ini, ketika bertugas sebagai Dirut PTDI, ia juga menemukan kendaraan tua yang sudah tak laik jalan. “Saya lihat di PTDI ada mobil Nissan President milik Pak Habibie yang mangkrak. Setelah saya periksa dan ternyata masih bisa hidup, saya pindahkan ke museum Habibie di PTDI. Lumayan, bertambah koleksi museum,” ungkap Gita yang merasa senang saat kendaraan yang ditanganinya kembali bisa dijalankan.

Selain kendaraan, ada juga lukisan karya Basuki Abdullah dan pelukis-pelukis kawakan lainnya yang ia rawat kembali. “Semua lukisan peninggalan era Pak Habibie saya kumpulkan dan akan dimasukkan ke dalam museum untuk mengenang Pak Habibie,” katanya.

Touring Bersama Teman

Banyak cara yang bisa dilakukan untuk membangun keakraban dan menguatkan team work, Dirut PTDI Gita Amperiawan dengan cara touring motor bersama karyawan. (Foto: Bambang Eros, DI: Raga Granada VOI)

Banyak cara yang bisa dilakukan untuk membangun keakraban dan menguatkan team work, Dirut PTDI Gita Amperiawan dengan cara touring motor bersama karyawan. (Foto: Bambang Eros, DI: Raga Granada VOI)

Selain mengoprek kendaraan butut, Gita Amperiawan juga senang saat diajak touring dengan motor oleh teman-temannya. “Buat saya, touring itu cuma sarana untuk mengakrabkan hubungan dengan karyawan dan staf di kantor. Soalnya, dengan acara itu hubungan kita makin erat satu sama lain,” lanjut pria yang menyelesaikan S1 di ITB dan melanjutkan studi untuk mendapat gelar doktor di Cranfield University, Inggris.

Tak perlu jauh, yang penting terjangkau. “Paling jauh kami touring ke Pangandaran atau Ciwidey,” ujarnya. Menurut Gita, ia bisa membangun soliditas tim tak hanya secara formal di kantor, namun melalui kegiatan luar kantor seperti touring dengan motor. “Biasanya kami sanmori alias Sunday Morning Riding,” lanjutnya, sembari menambahkan bahwa titik kumpul biasanya di RunWay Cafe PTDI.

Ternyata bukan hanya Gita dan karyawan PTDI yang menjadikan RunWay Cafe sebagai tempat untuk berkumpul. “Ada komunitas motor, komunitas mobil, yang menjadikan RunWay Cafe sebagai tempat untuk berkumpul,” ujarnya.

Yang membuat Gita senang, melalui acara kumpul bersama dengan karyawan, apakah dilakukan dengan touring atau sekadar kumpul biasa, ia bisa berbagi dan beradu gagasan. “Sering muncul ide dan gagasan dari saya dan teman-teman justru dari acara yang nonformal itu. Soalnya suasananya mungkin lebih akrab dan tidak terlalu formal,” kata Gita yang sekalian menyerap keluhan dan aspirasi karyawan saat berkumpul.

Untuk menjaga kesehatan jasmani, saat tidak ada touring, Gita menyempatkan jogging dan jalan pagi. “Olahraga yang ringan saja, soalnya harus tahu diri kalau sudah seusia saya. Yang penting berkeringat. Saya justru menikmati sekali saat touring itu. Sepanjang perjalanan bisa melihat indahnya alam yang kita lalui menuju tujuan akhir,” katanya.

 

Ajak Anak Muda ke Dunia Dirgantara

Industri dirgantara adalah peluang yang sayang untuk dilewatkan. Karena itu Dirut PTDI menyeru kepada anak muda, untuk belajar yang tekun, setelah ilmu didapat berkiprahlah di industri kedirgantaraan yang ada. (Foto: Bambang Eros, DI: Raga Granada VOI)

Industri dirgantara adalah peluang yang sayang untuk dilewatkan. Karena itu Dirut PTDI menyeru kepada anak muda, untuk belajar yang tekun, setelah ilmu didapat berkiprahlah di industri kedirgantaraan yang ada. (Foto: Bambang Eros, DI: Raga Granada VOI)

Dunia dirgantara memiliki peluang luar biasa besar, karena itu Gita menyeru kepada anak muda Indonesia untuk menangkap peluang ini. “Opportunity di dunia dirgantara ini besar sekali. Selain itu, teknologi yang diaplikasikan adalah teknologi tinggi,” katanya.

Dia memberi contoh soal baut, yang nilainya menjadi lebih tinggi ketika digunakan untuk industri dirgantara. “Ini ada yang sama-sama buat baut, yang satu untuk mobil, yang satu untuk pesawat terbang. Nilai jualnya jauh lebih tinggi baut untuk pesawat. Ini bukti kalau industri dirgantara itu amat besar peluangnya. Makanya ayo anak muda, jangan lepaskan kesempatan dan peluang ini,” serunya.

Bagi Gita, dunia dirgantara adalah masa depan. “Dari sisi teknologi yang digunakan adalah teknologi tinggi. Dari sisi bisnis, dunia dirgantara juga membuka banyak sekali peluang bisnis yang sayang sekali kalau kita biarkan. Kita tidak boleh menjadi penonton saja. Kita harus menjadi pemain juga,” ujarnya.

Bicara soal pesawat, lanjut Gita Amperiawan, bukan hanya soal merakit namun juga soal perawatan dan pemeliharaan pesawat setelah diproduksi massal. “Ayo anak-anakku semua yang masih muda, gunakan kesempatan untuk belajar dan belajar dengan tekun sampai ilmunya kalian kuasai. Setelah itu, ayo terjun ke dunia dirgantara yang sudah menanti. Semoga muncul Habibie-Habibie selanjutnya yang akan melanjutkan kiprah di dunia dirgantara,” tandasnya.

"Dan ini adalah yang pertama dalam sejarah penerbangan kita, membuat pesawat, lalu kita proses untuk sertifikasi sampai selesai dan siap diproduksi massal. Mudah-mudahan ini menjadi penerus cita-cita mendiang Pak Habibie dalam membangun Pesawat N250,"

Gita Amperiawan

 


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)