Heboh soal hasil survei yang berbeda dari beberapa lembaga survei jelang Pilkada 2024 di Jakarta menimbulkan pertanyaan. Menurut Ketua Umum Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), Philips Jusario Vermonte, memang banyak yang bertanya apakah hasil survei itu bisa dipesan sesuai dengan keinginan pemesan. Begini penjelasannya.
***
Jelang Pemilu atau Pilkada, banyak lembaga survei melakukan jajak pendapat untuk mengetahui elektabilitas seorang tokoh politik atau partai politik. Hasil survei ini bisa menjadi salah satu pertimbangan bagi calon pemilih untuk menentukan pilihan dan menyalurkan aspirasi politiknya. Oleh karena itu, hasil survei menjadi penting dan kerap menjadi primadona politisi.
Sejak pemilihan umum langsung digelar di Indonesia, lembaga survei mulai berkembang. Menurut Vermonte, setiap perilaku pemilih bisa dijadikan kajian untuk memperbaiki keadaan, sehingga hasil Pemilu atau Pileg menjadi lebih baik.
Dalam konteks Pilkada Jakarta, ada dua lembaga survei berbeda yang melakukan jajak pendapat dengan kurun waktu dan lokasi yang sama. Namun, hasil surveinya justru bertolak belakang. Lembaga Survei Indonesia (LSI) melaporkan hasil survei yang memenangkan pasangan Pramono Anung – Rano Karno, sedangkan Poltracking Indonesia melaporkan kemenangan pasangan Ridwan Kamil – Suswono. Pertanyaannya: bagaimana hasil survei bisa berbeda? Apakah memang hasilnya sengaja dibuat untuk memenangkan salah satu pasangan calon?
Di sinilah peluang “main mata” bisa terjadi. Seorang politisi mungkin menginginkan hasil survei yang positif untuk menggiring calon konstituen yang belum memiliki pilihan. Sementara itu, lembaga survei politik bisa mendapatkan proyek survei yang dipesan oleh politisi.
Namun, menurut Philips Jusario Vermonte, lembaga survei harus menjunjung tinggi kredibilitas agar hasil surveinya bisa dipercaya. “Saya sering ditanya soal apakah hasil survei bisa dipesan. Sebelum melakukan survei, antara lembaga survei dan politisi atau pihak yang membiayai survei harus ada perjanjian. Bahwa hasil survei tak boleh diintervensi,” tegasnya.
Sejatinya, lanjut Vermonte, apa pun hasil survei perlu disikapi dengan bijak. “Dari hasil survei, tergambar realitas yang ada. Makanya, jangan menyerah dulu meski hasil surveinya kurang baik. Ingat saat Pak Susilo Bambang Yudhoyono maju Pilpres, awalnya surveinya kalah. Namun, beliau memperbaiki diri berdasarkan survei itu, dan akhirnya menang,” ujarnya kepada Edy Suherli, Bambang Eros, Irfan Meidianto, dan Dandi Juniar saat bertandang ke kantor VOI belum lama ini. Inilah petikan wawancara selengkapnya.
Apa pelanggaran spesifik yang dilakukan lembaga survei Poltracking Indonesia hingga mendapatkan sanksi etik dari Persepi?
Di Indonesia, survei terkait perilaku pemilih relatif baru, terutama sejak era Pilpres langsung pada tahun 2004. Mengapa survei tumbuh dan berkembang dalam konteks pemilihan langsung? Karena suara setiap individu menjadi penting untuk diketahui, bukan hanya bagi pasangan calon, tetapi juga untuk partai politik. Survei membantu mengevaluasi apakah kampanye yang dilakukan telah menjangkau setiap individu, serta mengidentifikasi kekurangan yang ada.
Lalu, bagaimana caranya mengetahui preferensi masyarakat tanpa harus mewawancarai semua orang? Dalam statistik, ada istilah sampling atau sampel. Dengan metode matematika statistik, sampling diharapkan mampu mewakili populasi.
Sebagai ilustrasi: ketika seseorang sakit, dokter hanya mengambil beberapa mililiter darah untuk memeriksa kondisi pasien. Dari sampel darah tersebut, dokter dapat mendiagnosis penyakitnya. Contoh lain: orang Minang, sebelum rendang matang, mencicipi sedikit menggunakan ujung sendok untuk memastikan rasa masakan. Itu juga contoh penggunaan sampel.
Bagaimana dengan perbedaan hasil survei?
Perbedaan hasil survei sebenarnya wajar selama survei dilakukan dengan metodologi yang ketat, manajemen survei yang solid, dan analisis hasil akhir yang benar. Survei bersifat dinamis; jika dilakukan pada waktu berbeda, hasilnya juga bisa berbeda.
Namun, kasus yang mendorong Persepi mengadakan sidang Dewan Etik adalah perbedaan hasil survei yang mencolok, meski dilakukan di waktu yang sama (10-17 Oktober 2024) dan wilayah yang sama (Jakarta), serta menggunakan metodologi serupa. Secara statistik, hasilnya seharusnya tidak jauh berbeda. Tetapi kenyataannya, hasil survei Poltracking Indonesia dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) sangat bertolak belakang, sehingga memicu pertanyaan publik.
Apa temuan sidang Dewan Etik?
Dalam kasus ini, Dewan Etik memanggil kedua lembaga survei dan meminta mereka mengirimkan data asli, kuesioner, serta metode pengumpulan data. Hal yang dirilis ke publik biasanya adalah hasil akhir atau kesimpulan, sehingga data mentah sangat penting untuk investigasi.
Poltracking Indonesia mengklaim melakukan survei terhadap 2.000 responden, namun yang valid hanya 1.652. Masalahnya, banyak jawaban dari 1.652 responden tersebut yang kosong atau tidak lengkap. Saat Dewan Etik bertanya, "Mana yang dianalisis, data dari 2.000 responden atau 1.652 responden?" Jawaban dari tim Poltracking tidak konsisten.
Lalu?
Ketika diminta menyerahkan data mentah dari 2.000 responden, mereka menyatakan bahwa data tersebut telah dihapus. Padahal, menurut Persepi, data survei harus disimpan setidaknya hingga Pilkada selesai.
Permintaan penjelasan tertulis dari Dewan Etik juga tidak dijawab dengan memadai. Ketika dipanggil ulang, mereka tetap tidak dapat menyerahkan data. Anehnya, saat Dewan Etik hendak mengumumkan hasil investigasi, Poltracking tiba-tiba mengirim pesan WhatsApp yang menyatakan bahwa mereka menemukan kembali data yang sebelumnya diklaim hilang.
Apa isinya?
Ternyata data yang dikirimkan oleh Poltracking sudah lengkap dan tidak ada lagi yang bolong. Padahal, sebelumnya, dari 1.652 responden, banyak jawaban yang kosong. Berdasarkan data tersebut, kami sudah mengambil kesimpulan terhadap survei yang dilakukan.
Namun, dari dua data yang dikirimkan — pertama, data dari 1.652 responden, dan kedua, data dari 2.000 responden — keduanya tidak dapat diverifikasi. Akhirnya, kami membuat keputusan dan menjatuhkan sanksi.
Apakah sanksi yang diberikan kepada Poltracking Indonesia?
Ya, setelah melalui proses tersebut, Persepi memutuskan bahwa Poltracking Indonesia tidak dapat langsung merilis hasil surveinya ke publik. Hasil survei mereka harus terlebih dahulu diverifikasi oleh Persepi.
Kami sangat memperhatikan hasil survei dan memastikan bahwa tidak ada kesalahan dalam manajemen survei. Dalam kasus ini, memang ditemukan adanya kesalahan manajemen survei yang serius.
Bagaimana tanggapan Anda terhadap Poltracking yang menolak sanksi dan memilih keluar dari Persepi?
Tidak masalah. Apa yang kami putuskan adalah keputusan organisasi. Sebelum menjatuhkan sanksi, kami sudah memaparkan hasil investigasi, termasuk rekaman percakapan dengan teman-teman Poltracking.
Saat keputusan dijatuhkan, kami juga mengundang mereka. Namun, mungkin karena kesibukan, mereka tidak hadir. Fokus kami adalah menjaga kredibilitas organisasi dan kepercayaan publik terhadap hasil survei.
Apakah ada lembaga survei lain yang pernah disanksi oleh Persepi?
Ada. Pada proses hitung cepat Pilpres 2014, kami pernah memecat tiga lembaga survei. Waktu itu, ada 10 lembaga yang melakukan survei. Tujuh lembaga menyatakan Jokowi menang, sedangkan tiga lainnya menyatakan sebaliknya.
Kami kemudian melakukan audit terhadap seluruh lembaga tersebut. Tujuh lembaga hadir untuk memberikan penjelasan, sementara tiga lainnya tidak hadir. Akhirnya, Persepi memutuskan untuk memecat tiga lembaga yang tidak hadir tersebut.
Apa yang dilakukan Persepi untuk meningkatkan kualitas anggota?
Selain menegakkan disiplin melalui pemberian sanksi, kami juga rutin mengadakan pelatihan metodologi survei setiap tahun. Tujuannya agar kualitas survei anggota tetap terjaga.
Kami pernah mengundang Christina Prather, seorang ahli dari George Washington University, untuk memberikan ceramah kepada anggota. Christina memiliki pengalaman melakukan survei di wilayah sensitif, seperti Palestina dan Irak.
Di Indonesia, kami juga menghadapi tantangan terkait isu politik identitas dan agama yang sensitif. Hal ini tidak mudah karena responden bisa saja menjawab dengan tidak jujur karena tekanan sosial atau ketidaknyamanan.
VOIR éGALEMENT:
Ada yang bilang hasil survei bisa dipesan, benarkah?
Ya, sering sekali saya mendapat pertanyaan seperti itu. Saya selalu menjelaskan bahwa survei itu mahal. Biasanya ada pihak yang menyediakan dana untuk pelaksanaan survei. Contohnya, ada orang yang meminta survei elektabilitas saat akan maju pilkada atau pileg. Bisakah hasil survei dipesan?
Ada beberapa skenario yang mungkin terjadi. Misalnya, ada perjanjian sebelum survei dilakukan. Perjanjian pertama adalah hasil survei tidak dapat diintervensi. Kemudian, jika hasil survei menunjukkan elektabilitas yang rendah, ada kemungkinan pihak yang meminta survei memilih untuk tidak mempublikasikannya dan hanya menggunakannya untuk kebijakan internal. Semua ini bergantung pada integritas lembaga survei yang bersangkutan.
Hal penting yang saya tekankan adalah transparansi data. Sebisa mungkin, lembaga survei sebaiknya merilis data mentah (raw data). Ini tidak hanya akan meningkatkan kepercayaan publik tetapi juga mendukung perkembangan ilmu sosial. Di negara-negara seperti Eropa dan Amerika, penelitian sosial berkembang pesat karena ketersediaan data. Data tersebut dibuka untuk publik, tidak dihapus begitu saja.
Bagaimana Persepi menjaga transparansi?
Di Persepi, ada kesepakatan bahwa setiap lembaga survei harus mengunggah setidaknya satu raw data penelitian setiap tahun, setelah melalui periode embargo. Embargo ini memberi waktu bagi lembaga survei untuk memanfaatkan data tersebut terlebih dahulu, misalnya untuk menulis laporan atau publikasi ilmiah. Dengan ini, data dapat dijadikan bahan penelitian dan analisis oleh pihak lain, sehingga memastikan bahwa lembaga survei tidak dapat "dipesan".
Dari kasus Poltracking Indonesia ini hikmah apa yang bisa dipetik?
Kepada anggota saya sudah sampaikan, pertama kita harus melengkapi aturan. Data yang disurvei soal pileg, pilpres, dll., data harus disimpan dalam periode tertentu. Tidak bisa langsung dihapus dengan alasan apa pun. Minimal kalau pilkada belum selesai data survei soal pilkada jangan dulu dihapus. Kedua, kita harus terus secara berkala pelatihan metodologi. Termasuk manajemen survei, bagaimana meningkatkan kualitas survei, menutup cela non sampling error.
Yang ketiga, kita menyampaikan kepada publik, bagaimana memahami survei. Bagi politisi, kalau hasil lembaga survei unggul dia akan bilang lembaga survei itu kredibel, dan sebaliknya. Apa pun hasilnya, jadikanlah hasil survei itu untuk evaluasi. Karena dari hasil survei itu tergambar realitas yang ada. Makanya jangan menyerah dulu meski hasil surveinya kalah. Ingat saat Pak Susilo Bambang Yudhoyono maju pilres, awalnya surveinya kalah. Namun dia memperbaiki diri berdasarkan survei itu. Dan akhirnya dia menang.
Apakah survei tetap dibutuhkan di masa depan?
Menurut saya, ya. Selama ini kita terlalu fokus pada survei elektabilitas. Padahal, survei juga dapat digunakan untuk banyak hal lain, seperti mengukur tingkat kepuasan publik terhadap layanan pemerintah daerah, atau mengetahui persepsi masyarakat terhadap kebijakan tertentu. Survei adalah alat yang sangat berguna untuk mengevaluasi kebijakan publik dan melihat bagaimana masyarakat meresponsnya.
Di Balik Koleksi Piringan Hitam Philips Jusario Vermonte
Di era sekarang, menikmati musik sangat mudah. Tinggal pilih di layanan musik daring, dan dalam sekejap lagu yang Anda inginkan akan tersaji. Berbeda sekali dengan menikmati musik lewat piringan hitam, yang membutuhkan waktu dan situasi yang kondusif. Ribet, memang, tetapi itulah yang dilakukan oleh Philips Jusario Vermonte saat rehat dari kesibukannya sebagai dosen, peneliti, Ketua Umum Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), dan kini sebagai juru bicara Kantor Komunikasi Presiden RI.
Philips punya alasan panjang nan filosofis mengapa ia memilih sesuatu yang tak lazim bagi generasi kekinian dalam menikmati musik. "Saya memang suka mengoleksi piringan hitam atau vinyl. Mendengarkan piringan hitam itu harus mendedikasikan waktu, tidak bisa diatur seperti track CD yang ada sekarang. Harus urut dari lagu pertama sampai terakhir," kata pria yang kini menjabat sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII).
Philips menyamakan susunan lagu dalam piringan hitam seperti urutan dalam sebuah novel. "Setelah lagu pertama selesai, kita bersiap untuk lagu kedua dan seterusnya hingga piringan hitam selesai diputar dengan gramofon," ujar Philips, yang menganggap piringan hitam sebagai artefak seni.
Selain musik yang menjadi sajian utama, bungkus piringan hitam yang besar juga menarik perhatiannya. "Biasanya cover-nya artistik. Di sana tertera isi piringan hitam, latar belakang, dan proses pembuatan album itu, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan musik yang disajikan. Orang yang mendengarkan musik di dunia maya tidak menemukan sisi itu; mereka langsung mendengarkan musiknya saja," papar peneliti senior CSIS ini.
Philips mengoleksi semua genre musik yang tersedia dalam bentuk piringan hitam. "Semua genre saya punya. Dari mengoleksi piringan hitam, saya jadi semakin kagum dan menghargai musisi. Mereka adalah orang-orang jenius yang mampu menyihir massa untuk menyukai karya mereka," pujinya.
Konser Live di Penjara
Ada satu cerita yang amat berkesan bagi Philips, yang ia temukan dari sebuah piringan hitam: konser live musisi blues B.B. King di Cook County Jail, Illinois, Amerika Serikat, pada tahun 1970-an. "Di belakang sampul piringan hitam itu diceritakan bagaimana konser itu terjadi. Itu merefleksikan perubahan dan reformasi di penjara Amerika Serikat. Kepala penjara percaya musik bisa menjadi entry point untuk seseorang berubah. Dia mengundang B.B. King, dan ternyata King setuju," ungkap pria asal Minang kelahiran Manila, 14 Juli 1972.
Saat itu, B.B. King mengajukan syarat: selama konser, tidak boleh ada pembatas antara dirinya dan para narapidana. "Awalnya kepala penjara khawatir karena penjara itu dihuni oleh berbagai macam narapidana. Namun, ternyata konser berjalan aman dan rekamannya luar biasa. Banyak narapidana yang terharu hingga menangis, begitu pula B.B. King dan kepala penjara," ceritanya.
Menurut Philips Jusario Vermonte, konser di penjara itu benar-benar memanusiakan para narapidana. "Cerita di balik proses itu tidak akan ditemukan jika hanya mendengarkan musiknya dari layanan musik daring," jelasnya. Itulah alasan filosofis mengapa ia sangat menyukai musik yang direkam pada piringan hitam.
Arti Sebuah Nama
William Shakespeare mungkin pernah mengecilkan arti sebuah nama, tetapi bagi banyak orang, nama memiliki makna dan tujuan mendalam. Begitu pula dengan nama Philips Jusario Vermonte, yang terkesan sangat kebarat-baratan.
Philips menceritakan bahwa pasca pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatera yang berhasil ditumpas oleh Soekarno dan TNI, muncul kekhawatiran di kalangan orang Minang bahwa anak mereka sulit berkarier di pemerintahan jika tetap menggunakan nama yang khas Minang. "Karena itu, orang tua Minang sering memberikan nama yang terkesan kebarat-baratan. Kalau tetap dengan nama khas Minang, sulit jadi pegawai negeri," ujarnya.
"Di CSIS, ada teman saya bernama Aria Fernandez. Namanya terkesan seperti orang Spanyol, Portugal, atau Latin, padahal dia orang Minang," lanjutnya.
Sementara itu, sejarah nama Vermonte ternyata sederhana. "Saat ibu saya hamil, ia ikut ayah yang bertugas di Manila. Saya lahir di Vermont Maternity Clinic. Jadi, orang tua saya mengambil nama 'Vermont' dan menambahkan huruf 'e'. Jadilah Vermonte," ungkapnya.
Nama yang unik ini membuat Philips sering mendapat parcel pada dua hari raya sekaligus. "Banyak yang tahu saya muslim, tapi banyak juga yang mengira saya merayakan Natal. Jadi, saya dapat parcel saat Lebaran dan Natal, hehehe," ujarnya sambil tersenyum.
Di balik keunikan namanya, ada hikmah besar bagi Philips Jusario Vermonte. "Nama ini membuat saya bisa masuk ke berbagai kelompok, terutama bagi mereka yang masih terkendala dengan stereotip nama. Saya bisa menjembatani itu," tandasnya.
"Apa pun hasilnya, jadikanlah hasil survei itu untuk evaluasi. Karena dari hasil survei itu tergambar realitas yang ada. Jangan menyerah meski hasil surveinya kalah,"
The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)