Pemberian izin usaha pertambangan (IUP) dari pemerintah untuk ormas keagamaan menuai pro dan kontra. Sekretaris Eksekutif Komisi Keadilan dan Perdamaian, Pastoral Migran Perantau (KKPMP) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Marthen LP Jenarut, SFil, SH, MH, curiga pemberian ini bernuansa politis. KWI sendiri, kata dia, menolak pemberian IUP karena mereka ingin tegak lurus pada tugas yang ada selama ini.
***
Pemerintah melalui Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengumumkan bahwa organisasi masyarakat (Ormas) keagamaan akan diberikan IUP dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) untuk yang memenuhi persyaratan. Ini adalah amanat UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang dilanjutkan dengan PP No 25 Tahun 2023 tentang Wilayah Pertambangan. Dalam salah satu pasal PP ini tertulis soal pemerintah akan memberikan IUP dan IUPK kepada Ormas keagamaan.
Kecurigaan Marthen LP Jenarut soal dugaan ada udang di balik batu dari pemberian IUP dan IUPK ini bukan tanpa landasan. “Ormas keagamaan itu bidang tugasnya dalam hal spiritualitas dan moralitas. Ini malah akan diserahi urusan pertambangan, yang masuk dalam kategori bisnis atau ekonomi. Dalam praktik, itu potensial akan ada tabrakan dengan moralitas dan etika,” katanya.
Kecurigaan Marthen LP Jenarut bertambah, karena sampai wawancara ini dilakukan pada 7 Juni di Kantor KWI, Menteng, Jakarta Pusat, belum ada keterangan yang komprehensif dari pemerintah soal hal ini. “Tiba-tiba lembaga keagamaan dapat tawaran IUP. Kecurigaan saya juga muncul, mungkin pemerintah sedang mengambil hati lembaga keagamaan dan membungkam suara kritis dari mereka atau ada balas budi pada Ormas yang sudah mendukung saat pemilu kemarin,” katanya.
Kalaupun keputusan pemberian IUP dan IUPK ini akan direalisasikan, karena sudah ada Ormas keagamaan yang menerima dan akan melakukan eksplorasi pertambangan, ia berharap usaha tambang yang dilakukan setidaknya menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, menjunjung tinggi prinsip keadilan, menjunjung tinggi prinsip solidaritas, dan menjunjung tinggi kebaikan/kesejahteraan umum. “Selain itu, ajaran agama juga harus mewarnai pertambangan yang dilakukan,” tegasnya kepada Edy Suherli, Bambang Eros, dan Irfan Medianto dari VOI. Inilah petikan selengkapnya.
Pemerintah memberikan IUP dan IUPK kepada Ormas Keagamaan, bagaimana Anda menanggapi hal ini?
Saat saya membaca PP No 25 Tahun 2023 yang merupakan perpanjangan dari UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dalam salah satu pasalnya dikatakan bahwa pemerintah akan memberikan IUP) dan IUPK kepada ormas keagamaan, saya agak terkejut dan heran.
Ormas keagamaan itu bidang tugasnya dalam hal spiritualitas dan moral. Ini malah akan diserahi urusan pertambangan, yang masuk dalam kategori bisnis atau ekonomi. Pertambangan sebagai praktik bisnis pasti mengikuti mekanisme pasar. Dalam praktik, itu potensial akan ada tabrakan dengan moralitas dan etika.
Bagaimana sikap KWI menghadapi pemberian IUP dan IUPK untuk Ormas Keagamaan?
KWI adalah konfederasi para uskup se-Indonesia. Dan KWI itu adalah lembaga keagamaan. Eksistensi KWI sudah diakui sejak 1927, saat republik ini berdiri diakui juga oleh Kementerian Agama. KWI sebagai lembaga keagamaan tetap konsisten pada marwah dasarnya. Urusannya berkaitan dengan pewartaan keimanan, pelayanan, termasuk urusan kemanusiaan. KWI sampai saat ini tetap konsisten dengan pakem itu. Dia tidak akan keluar dari apa yang menjadi marwahnya selama ini.
Beberapa hari yang lalu Uskup Agung Jakarta memberikan pernyataan tidak akan menerima tawaran IUP/IUPK, artinya inilah landasannya?
Persis itulah pernyataan dan sikap KWI soal IUP dan IUPK. Uskup Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo Hardjoatmodjo mengatakan KWI tidak akan menerima IUP atau IUPK. Karena memang urusan pertambangan bukan wilayahnya KWI, bukan tugas dari KWI. KWI sebagai lembaga keagamaan tegak lurus pada tugasnya selama ini. KWI konsisten pada marwahnya.
Salah satu yang menjadi kekhawatiran banyak pihak atas pemberian IUP kepada Ormas Keagamaan ini adalah soal kompetensi, apa tanggapan Anda?
Saya tekankan penolakan KWI ini karena konsistensi, bukan karena ada atau tidak ada SDM yang bisa mengurusi soal pertambangan. Jadi KWI fokus mengurus dirinya sendiri dengan berbagai tugas yang ada selama ini.
PBNU termasuk yang menerima IUP dengan alasan memang membutuhkan sumber dana untuk organisasi mereka, apa tanggapan Anda soal ini?
Kami tidak akan mengomentari apa yang menjadi alasan NU menerima IUP ini. KWI menaruh hormat atas keputusan NU. Untuk KWI, kegiatan keagamaannya dibiayai oleh umat. Prinsip solidaritas yang ada dalam ajaran gereja, itu yang menjadi semangat dan sumber pendanaan organisasi kami. Jadi ini bukan soal butuh atau tidak butuh. Tapi gereja mau konsisten dalam tugasnya selama ini.
Artinya untuk soal pendanaan organisasi, gereja Katolik sudah tidak ada persoalan, semua sudah ditanggung umat?
Kami tidak melihat pendanaan itu menjadi masalah. Karena gereja Katolik itu bukan hanya sebagai institusi, dia adalah persekutuan seseorang dengan Yesus Kristus yang dia imani sebagai Putra Allah. Karena itu yang disebut gereja itu setiap orang Kristiani berkewajiban agar kegiatan gereja bisa berjalan.
Ada pengamat yang mengatakan pemberian IUP ini diduga untuk membungkam ormas keagamaan yang tidak kritis pada pemerintah, ada juga yang bilang ini balas budi atas dukungan saat kampanye tempo hari. Bagaimana menurut Anda?
Sebagai seorang warga negara dan masyarakat politik, saya juga ada kecurigaan seperti itu. Soalnya sampai hari ini kami belum dapat keterangan yang komprehensif, tiba-tiba lembaga keagamaan dapat tawaran IUP. Kecurigaan saya juga muncul, mungkin pemerintah lagi mengambil hati lembaga keagamaan dan membungkam suara kritis dari mereka. Kok baru sekarang? Ini yang makin menguatkan dugaan kalau ada sesuatu di balik pemberian IUP.
Idealnya tambang itu lestari, adanya kerusakan lingkungan, bagaimana soal ini Anda lihat?
Sebelum datang ke Jakarta, saya bertugas sebagai Ketua Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) Keuskupan Ruteng, NTT selama 13 tahun. Isu yang kami tangani berkaitan juga dengan ekologi yaitu pertambangan. Keuskupan Ruteng dengan tegas menolak kegiatan pertambangan mineral di sana. Karena, pertama konsep kesejahteraan yang dikemukakan saat tambang akan dibuka hanya omong kosong. Gereja melihat ada ketidakadilan di sana.
Kedua, dengan adanya pertambangan kenyamanan masyarakat untuk hidup sehat dan bersih mulai tergerus. Dan ketiga, dampak dari eksplorasi tambang ini pada kerusakan lingkungan amat dahsyat. Bahwa dalam perjanjian sebelum buka ada kewajiban reklamasi namun tak terealisasi. Itulah yang menjadi alasan Keuskupan Ruteng menolak pertambangan.
Jadi isu soal kerusakan lingkungan, deforestasi, dan pencemaran air adalah yang nyata?
Ya, itu nyata. Dalam dialog dengan pemerintah daerah sempat terjadi ketegangan dengan gereja. Ini berkaitan dengan mudahnya pemerintah membuat izin alih fungsi hutan lindung menjadi wilayah eksplorasi pertambangan mangan. Menurut kami hutan lindung punya fungsi untuk mendukung kehidupan manusia.
Meski masih dalam proses namun IUP untuk ormas keagamaan ini tampaknya akan berjalan, apa harapan Anda atas Ormas-ormas yang mau mengurusi tambang?
Ada panduan etis dan moral bagi umat Kristen dalam melakukan tindakan baik secara pribadi maupun kelembagaan. Apa pun yang dilakukan, pertama harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Kedua, menjunjung tinggi prinsip keadilan. Ketiga, menjunjung tinggi prinsip solidaritas. Dan keempat, menjunjung tinggi kebaikan/kesejahteraan umum.
Ketika bicara soal tambang yang lestari, rujukannya ada dalam ajaran gereja, yang empat itu. Kalau mau menerima IUP harus menjalankan prinsip itu. Itu saran saya.
Regulasi yang sering sekali berubah untuk kepentingan pihak tertentu, mengapa bisa terjadi?
Dalam konteks saya sebagai praktisi hukum, saya melihat lahirnya atau berubahnya suatu peraturan/produk hukum itu biasanya karena ada kepentingan. Saat sebuah regulasi berubah dengan cepat, hampir pasti ada penyusupan kepentingan di balik itu. Sayang sekali kalau kepentingan itu hanya untuk kekuasaan atau segelintir orang, bukan untuk kepentingan umum. Kalau dalam perubahan itu berpihak pada kepentingan umum, hampir pasti tidak mengundang kontroversi.
VOIR éGALEMENT:
Ada juga dampak sosial akibat pertambangan, perselisihan antara masyarakat lokal dengan perusahaan tambang dan masyarakat adat yang kehilangan tanah dan sumber penghidupan tradisional, bagaimana mengatasi persoalan ini?
Saya mengambil contoh pengalaman saya di Keuskupan Ruteng. Soal pertambangan juga membawa persoalan sosial. Tambang membuat publik terbelah, ada yang pro dan yang kontra. Ini menimbulkan potensi perpecahan. Pertambangan juga mengganggu masyarakat adat. Saat salah seorang tokoh tidak setuju, dibentuk tokoh adat baru yang menjadi “boneka”. Ini terjadi karena berhubungan dengan penggunaan tanah ulayat. Hutan lindungnya rusak, kehidupan sosial juga berantakan
Tambang itu kan ada sisi positif dan negatifnya, contoh di wilayah Keuskupan Ruteng dominan sisi yang mana?
Dampak positifnya tidak terlihat. Yang terlihat itu ketidakadilan. Gereja terpanggil untuk bertindak melihat keadaan itu.
Apa harapan Anda untuk Ormas yang terima IUP agar mengurusi tambangnya dengan baik?
Ya, harus menjalankan pertambangan dengan empat prinsip tadi. Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, menjunjung tinggi prinsip keadilan, menjunjung tinggi prinsip solidaritas, dan menjunjung tinggi kebaikan/kesejahteraan umum.
Jadi harus menjalankan usaha tambangnya dengan baik. Jangan seperti pelaku tambang yang umum selama ini?
Pertanyaannya memang ada pelaku usaha tambang yang baik? Kepada ormas yang menerima IUP ini harus menjalankan tambang dengan baik dan prinsip-prinsip keagamaan mereka.
Apa harapan Anda soal pengawasan pemerintah agar Ormas patuh pada proses pertambangan yang lestari, karena ormas ini pendatang baru di dunia tambang?
Dalam PP No 25 Tahun 2023, Ormas Keagamaan yang terima IUP harus membentuk badan usaha. Kalau badan usahanya berbentuk PT, dia akan patuh pada manajemen bisnis. Pertanyaannya sejauh mana badan usaha ini bisa diwarnai oleh ajaran agama. Kalau saya sangsi, karena mereka menjalankan usaha orientasinya keuntungan. Pemerintah harus jeli dan selektif.
Karena banyak ormas keagamaan yang menolak, saya kira kebijakan ini perlu dievaluasi lagi. Inilah yang saya sesalkan mengapa sebelum sebuah aturan dibuat ormas-ormas keagamaan tidak diajak bicara. Dialog itu penting supaya kewibawaan sebuah regulasi tidak tercabik. Contoh terakhir yang masih ramai soal UKT dan Tapera yang bikin ribut dan gaduh masyarakat.
Marthen LP Jenarut: Pastor Harus Turun dari Altar ke Pasar
Karena sudah bercita-cita menjadi seorang pastor dan pelayan umat sejak kecil, Marthen LP Jenarut setamat sekolah dasar melanjutkan ke sekolah khusus yang mendidik siswanya menjadi calon pastor. Cita-cita itu tercapai, dan setelah bertugas di Ruteng, kini dia bertugas di Jakarta. Seorang pastor, kata dia, jangan hanya mengurusi ritual keagamaan, harus turun dari altar ke pasar.
“Sejak kecil saya memang sudah bercita-cita menjadi pastor. Karena ada banyak di lingkungan keluarga besar saya yang menjadi pastor. Dan menjadi pastor itu menjadi kerinduan banyak anak-anak di kampung saya,” kata Marthen yang sudah 27 tahun mengabdi sebagai pastor.
Selepas SD, ia masuk SMP Seminari Pius XII Kisol. Tiga tahun pun terlewati, ia melanjutkan di SMU Seminari Pius XII Kisol. “Setelah lulus SMA saya melanjutkan ke Studi Teologi di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero Maumere, lulus tahun 1997. Tahun itu juga saya ditahbiskan menjadi Imam Projo Keuskupan Ruteng,” ungkapnya.
Menurut Marthen, ia dengan penuh sukacita menjalankan studinya. “Saya bersyukur karena saya tidak mengalami kendala yang serius dalam menyelesaikan studi. Sampai akhirnya saya ditahbiskan menjadi pastor,” katanya.
Setelah bertugas menjadi imam di Kesukupan Ruteng, di tahun 2001 ia mendapat tugas dari gereja untuk studi hukum di Unika Atma Jaya Jakarta. “Saya merantau ke Jakarta. Karena baru pertama merantau dari daerah ke ibu kota, perlu menyesuaikan diri dari. Saat itu saya menjadi mahasiswa yang paling tua dalam satu angkatan, hehehe,” candanya.
Dia pun bisa menyelesaikan S1 hukum dengan lancar dan hasil yang membanggakan. “Lalu saya melanjutkan studi di jenjang S2 Hukum Agraria di Universitas Trisakti Jakarta. Kenapa Agraria? Karena persoalan tanah ini menjadi hal yang serius di Keuskupan Ruteng,” kata Marthen yang menjadi Dosen di FH Unika Atma Jaya ketika menempuh studi S2.
Menyelami Suka-duka Umat
Menurut Marthen LP Jenarut, tugas seorang tokoh agama itu tak hanya khotbah dan berceramah di altar, namun juga harus terjun ke masyarakat. “Seorang imam harus turun dari altar ke pasar. Artinya, seorang imam itu tidak hanya ritual saja, tapi harus menyelami suka duka yang dialami umat,” tegasnya.
Di Keuskupan Ruteng, ia amat berkesan karena ikut merasakan suka-duka umat. “Itu menjadi hal yang paling berkesan buat saya selama bertugas di Keuskupan Ruteng,” katanya.
Terutama saat ia menjabat sebagai Ketua Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) Keuskupan Ruteng. Ia benar-benar menyelami suka-duka umat dan ikut bergerak dalam gerakan membela umat yang mengalami berbagai persoalan.
Setelah itu, tugas baru pun dilakoni Marthen di Jakarta. “Awal tahun 2024 saya diminta oleh KWI untuk bekerja di kantor KWI di Jakarta. Meski saya pindah, jenis pekerjaan yang saya jalankan tidak berbeda. Selain menjadi imam, juga mengurusi persoalan keadilan, perdamaian, migran, dan isu ekologi serta perubahan iklim,” paparnya.
Bertugas di Jakarta
Meski baru pindah ke Jakarta, Marthen LP Jenarut tak sulit untuk beradaptasi. “Soalnya yang berat itu waktu pertama kali kuliah di Jakarta tahun 2001. Kalau sekarang tidak terlalu sulit,” akunya.
Ia bersyukur sejak ingin sekolah di SMP Seminari dan terus sampai perguruan tinggi, ditahbiskan menjadi imam di Keuskupan Ruteng dan sekarang mengabdi untuk KWI di Jakarta mendapat dukungan penuh dari keluarga besarnya. “Dukungan keluarga itulah yang menjadi kekuatan dan penyemangat saya dalam studi dan melaksanakan tugas-tugas,” papar Marthen.
Dalam karier, ia sudah tidak ada ambisi lagi. Hanya ada satu yang menjadi keprihatinannya kini, pada beragam persoalan yang menghantui dunia. Dalam posisinya sekarang, ia ingin berbuat sebanyak mungkin. “Keprihatinan saya pada praktik perdagangan manusia, keprihatinan pada perubahan iklim yang berdampak pada kehidupan sosial. Saya punya obsesi untuk mencapai tujuan pekerjaan ini meski saya tahu ini tidak ringan. Dengan kolaborasi berbagai pihak semoga bisa sedikit membuat perubahan,” katanya optimis.
Seirama dengan Paris Agreement 2015 yang sudah banyak ditandatangani berbagai negara. “Kata Paus Fransiskus, kepedulian pada lingkungan itu bukan penugasan, tapi itu sudah menjadi jatidiri dari gereja. Gereja tidak alergi dengan investasi, namun hanya setuju dengan investasi yang etis. Paus meminta kita mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan penggunaan energi baru terbarukan untuk masa depan bumi kita serta lingkungan bisa lebih baik,” pungkas Marthen LP Jenarut.
"Karena banyak ormas keagamaan yang menolak, saya kira kebijakan ini perlu dievaluasi lagi. Inilah yang saya sesalkan mengapa sebelum sebuah aturan dibuat ormas-ormas keagamaan tidak diajak bicara. Dialog itu penting supaya kewibawaan sebuah regulasi tidak tercabik,"
The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)