Bangsa Indonesia baru saja menggelar pesta demokrasi, ajang lima tahunan yang mendapat perhatian dunia. Menurut Sekjen PP Muhammadiyah Prof. Dr. Abdul Mu'ti, M.Ed, pilpres dan pileg 2024 ini secara umum berjalan lancar, hitungan sementara paslon nomor 2 unggul atas paslon nomor 1 dan 3. Namun ada beberapa catatan yang bisa menjadi acuan agar pemilu lima tahun mendatang lebih baik lagi.
***
Seperti banyak diprediksi paslon nomor 2 Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka akan menjadi pemenang dalam pilpres kali ini. Dan prediksi itu menjadi kenyataan setidaknya hasil hitung cepat dan hitungan sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang masih terus berlangsung. Sedangkan paslon nomor 1 Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar berada di urutan kedua. Dan paslon 3 Ganjar Pranowo dan Mahfud MD menjadi juru kunci.
Pemilu yang relatif lancar dan aman ini menurut Abdul Mu'ti patut disyukuri. “Alhamdulillah masyarakat berpartisipasi cukup tinggi dalam pilpres dan pileg kali ini. Secara umum prosesnya berjalan lancar, aman, tertib, damai dan tidak ada insiden berarti yang mengganggu jalannya pemungutan suara,” katanya.
Meski pemilu berjalan lancar ada beberapa poin yang menjadi catatan pria yang menjadi guru besar di Universitas Islam Negeri Jakarta ini. Pertama demokrasi di Indonesia masih minus nilai. “Saya melihat kekuatan finansial itu masih menjadi sesuatu yang sangat dominan sehingga demokrasi itu kehilangan spirit atau ruhnya. Saya sempat membuat pernyataan yang terjadi adalah demokrasi zombie, demokrasi yang minus nilai,” katanya.
Kedua yang menjadi catatan dia adalah pemanfaatan bansos untuk kepentingan pragmatis mendukung salah satu paslon. “Banyak yang menilai kalau bansos itu kaya muatan politik saat diberikan jelang pencoblosan. Dan pemberian bansos itu mestinya sesuai dengan data di Kemensos dan berdasarkan kebutuhan. Makanya orang menilai bansos jadi propaganda politik paslon tertentu yang didukung Presiden Jokowi,” katanya.
Yang ketiga dana kampanye yang tidak diaudit. “Salah satu titik lemah dari model kampanye kita adalah dana kampanye yang masuk dan penggunaannya tidak diaudit secara terbuka. Padahal itu aturannya (UU) ada,” katanya kepada Edy Suherli dan Rifai dari VOI yang menemuinya di kampus Universitas Muhammadiyah Jakarta, Cirendeu, Tangerang Selatan belum lama berselang. Inilah petikannya.
Kita baru saja menggelar pemungutan suara, bagaimana Anda melihat pemilu kali ini?
Alhamdulillah masyarakat berpartisipasi cukup tinggi dalam pilpres dan pileg kali ini. Secara umum prosesnya berjalan lancar, aman, tertib, damai dan tidak ada insiden berarti yang mengganggu jalannya pemungutan suara. Kita bersyukur, mudah-mudahan ini bisa menjadi bagian dari cermin, bagaimana bangsa Indonesia ini bisa berdemokrasi secara santun dan juga bisa menunjukkan kepada dunia betapa Indonesia ini masih punya secerca harapan untuk masa depan demokrasi yang lebih baik.
Itu sisi positifnya, apa catatan Anda untuk sisi sebaliknya?
Memang banyak catatannya dari sebagian kalangan tentang masih adanya indikasi bahwa proses-proses itu tidak berlangsung secara fair. Saya juga melihat kekuatan finansial itu masih menjadi sesuatu yang sangat dominan sehingga demokrasi itu kehilangan spirit atau ruhnya. Saya sempat membuat pernyataan yang terjadi adalah demokrasi zombie, demokrasi yang minus nilai. Yaitu demokrasi yang orientasinya hanya menang dan kalah. Demokrasi kita masih sangat berorientasi pada kekuasaan. Ini yang menurut saya perlu menjadi catatan. Lalu saya lihat masyarakat masih belum beranjak dari demokrasi yang lebih substantif. Pilihannya masih didasarkan atas pertimbangan yang bersifat primordial dan pertimbangan yang kadang-kadang sangat pragmatis.
Saya melihat ada gejala, sebagian masyarakat kita memilih karena order, vote by order. Ini sudah menjadi rahasia umum dan inilah yang perlu diperbaiki sehingga demokrasi kita ke depan bisa lebih substantif dan kita bisa membangun budaya demokrasi sebagai prasarat untuk bisa menyebut negara kita demokratis.
Jadi negara kita belum demokratis?
Yang ada sekarang adalah Indonesia yang menerapkan demokrasi, tapi belum menjadi negara yang demokratis. Ini yang menjadi tantangan kita bersama-sama. Tapi secara pelaksanaan dibanding negara lain yang demokrasinya berdarah-darah, alhamdulillah kita merayakan demokrasi dengan gembira dan masyarakat juga sepertinya sudah semakin dewasa dan semakin terbuka dalam menerima perbedaan pilihan.
Salah satu yang menjadi sorotan adalah bansos yang gencar sekali dibagikan menjelang pencoblosan, bagaimana anda melihat realitas ini?
Kami melihat bansos ini seperti saat kita sedang puasa, ada istilah bansos takjil, disegerakan setelah waktu berbuka tiba. Ada juga sebutannya bansos tanazul. Saat melaksanakan ibadah haji, jemaah bisa melaksanakan tawaf ifadah dulu baru nanti melontar jumroh. Jadi praktik seperti itu disebut sebagai tanazul.
Banyak yang menilai kalau bansos itu kaya muatan politik saat diberikan jelang pencoblosan. Dan pemberian bansos itu mestinya sesuai dengan data di Kemensos dan berdasarkan kebutuhan. Makanya orang menilai bansos jadi propaganda politik paslon tertentu yang didukung Presiden Jokowi. Di masyarakat juga ada candaan, soal pendekatan material seperti ini untuk memperoleh suara dengan ungkapan NPWP; nomor piro wani piro (nomor berapa, berani berapa), hehehe, dan banyak lagi istilah dan plesetan lainnya. Mestinya ada upaya sehingga terjadi perubahan dari pendekatan yang bersifat materialistik itu. Ini adalah suap politik yang harus kita hindari.
Apa lagi catatan anda soal kampanye kemarin?
Salah satu titik lemah dari model kampanye kita adalah dana kampanye yang masuk dan penggunaannya tidak diaudit secara terbuka. Padahal itu aturannya (UU) ada. Di Amerika mereka tertib soal ini. Dulu salah seorang konglomerat Indonesia sempat ramai karena dia menyumbang salah satu kandidat presiden Amerika.
Lalu partisipasi publik dalam berdemokrasi masih bersifat pasif, bukan aktif. Satu lagi ongkos politik kita itu amat tinggi, makanya ada candaan, orang yang tidak punya uang bisa mampus kalau memaksakan diri berpolitik (jadi caleg misalnya). Yang berhasil maju itu biasanya secara finansial memang kuat. Lalu soal politik dinasti bukan hanya terjadi pada Jokowi dan anak-anaknya, tapi juga melanda politisi lain di berbagai partai politik di tanah air.
Tapi mereka malakukan itu tidak melanggar aturan?
Ya benar mereka tidak melanggar UU, tapi secara etika melanggar, jadi soal patut dan tidak patut. Maaf kalau di masyarakat Jawa itu ada istilah bener dan pener. Bener itu tidak menyalahi aturan, pener juga tidak menyalahi aturan tetapi tidak patut. Dalam banyak hal kita harus bergerak ke arah itu, menuju etika. Di beberapa negara jika ada pejabat yang terindikasi korupsi, meski belum terbukti secara hukum, tapi dia sudah mundur dari jabatan publik. Ada rasa malu kalau masih menduduki jabatan publik.
Dalam ajaran Islam, malu itu sebagian dari iman. Kalau seseorang sudah tak punya rasa malu artinya keimanannya sudah entah ke mana. Ini yang perlu kita bangun dalam konteks berdemokrasi. Jadi bukan soal melanggar atau tidak melanggar. Dan salah satu kekuatan demokrasi itu adalah partisipasi publik yang lebih luas bukan hanya dimonopoli oleh sekelompok orang tertentu. Makanya pemilu itu perlu langsung, kalau bicara soal efisien mungkin itu tidak efisien dan rumit.
Tiga hari sebelum pencoblosan muncul film dokumenter Dirty Vote, bagaimana Anda melihat ini?
Dalam konteks kebebasan berekspresi dan berpendapat film itu sah-sah saja. Namun yang menjadi soal publikasinya pas sekali menjelang pencoblosan, sehingga ditengarai ada paslon tertentu yang diserang. Itu yang saya lihat. Dan kalau mau terbuka banyak sekali kritik yang diajukan atas keputusan yang terjadi di MK dan itu memberikan karpet merah untuk Gibran maju di ajang pilpres. Secara hukum semua prosedur dilalui, ada yang menggugat dan berproses. Tapi itu bermasalah saat putusan itu dirancang untuk meloloskan Gibran agar bisa jadi cawapres. Sebulan sebelum sidang MK yang kontroversial itu, sudah beredar soal rencana ini. Di hari itu ada beberapa gugatan yang diputuskan, namun ada yang ditolak tetapi ada satu yang dikabulkan. Saya sempat diminta komentar oleh wartawan, tapi saya belum mau menjawab karena ada bocoran tadi. Ternyata benar, ada gugatan yang dikabulkan dengan narasi bisa maju sebagai capres /cawapres meski belum berusia 40 asal pernah menjabat sebagai kepala daerah yang melalui proses pemilihan. Itu sudah jelas sekali memberikan jalan untuk Gibran.
Artinya ini menjadi catatan dalam demokrasi dan penegakan hukum kita. Ini bukan soal melanggar atau tidak melanggar, tapi soal kepatutan. Sebuah majalah nasional mengulas panjang soal ini sebelum film Dirty Vote beredar. Tanggapan tokoh politik terbelah soal film ini, yang merasa diuntungkan mendukung dan yang merasa dirugikan sebaliknya menggugat film ini.
Hitung cepat hasil pencoblosan sudah muncul, bagaimana Anda melihat hasilnya?
Catatan saya, lembaga-lembaga survei yang melakukan hitung cepat itu sudah melakukan survei sebelum pencoblosan. Namun hasil hitung cepat itu berbeda dengan survei yang dilakukan sebelum pencoblosan. Lalu, hampir semua Lembaga survei hasilnya relatif sama. Paslon 1 di posisi kedua, paslon 2 di posisi pertama dan paslon 3 di posisi ketiga. Sekarang ini pertaruhannya mana lembaga survei yang paling akurat hitungannya.
Dan yang menarik juga publik relatif tenang menyikapi hasil hitung cepat ini, meski kita harus sabar menunggu hasil hitungan manual dari KPU untuk menentukan siapa yang menjadi pemenang.
VOIR éGALEMENT:
Meski keputusan final dari KPU belum ada, eforia sudah muncul dari paslon 2, bagaimana Anda melihatnya?
Gembira boleh saja, tapi jangan berlebihan. Kalau kami di Muhammadiyah bercandanya begini, hasil hitung cepat itu seperti hisab (menghitung), sedangkan hasil hitung manual KPU adalah rukyah (melihat). Jadi sabar saja sampai benar-benar rukyah sudah dilakukan dan kelihatan hasilnya.
Kami kemudian menyerukan kepada pihak yang merasa menang untuk tidak eforia, dan yang merasa kalah untuk legowo (menerima dengan ikhlas). Dan jangan mengerahkan massa untuk mengungkapkan kekecewaan atas hasil pilpres dan pileg ini. Karena bisa berisiko terjadi konflik horizontal dan kekerasan massa yang tidak kita harapkan. Kalau merasa tidak puas atas hasil pemilu silahkan mengajukan gugatan melalui jalur konstitusi.
Selanjutkan kita menunggu paslon atau caleg yang menang untuk siap-siap mewujudkan janji yang diumbar saat kampanye?
Sebagai warga negara kita harus loyal tapi kritis atas kebijakan pemerintah. Artinya siapa pun yang nanti terpilih itulah yang harus kita terima dan hormati. Karena itulah pilihan dari rakyat. Walaupun yang memimpin bukan calon yang kita coblos di TPS kita harus menerimanya sebagai realitas politik hasil pilpres. Konsekwensi demokrasi kita harus menerima yang terpilih sebagai presiden dan wakil presiden.
Kritis dilakukan dalam dua hal, pertama bagaimana mencermati mereka melaksanakan janji kampanye. Dan kedua memastikan yang terpilih itu tidak melanggar konstitusi dalam melaksanakan tugasnya.
Secara organisasi Muhammadiyah tidak berpolitik, untuk menyalurkan aspirasi politik melalui siapa?
Muhammadiyah memang tidak terlibat dalam politik praktis, sehingga dalam kaitan ini ada tiga hal yang kami lakukan. Pertama Muhammadiyah melakukan peran sebagai opinion maker, bagaimana Muhammadiyah menyampaikan gagasan-gagasan untuk penyelenggaraan negara atau hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah kenegaraan dan kebangsaan. Yang kedua melakukan political lobby dengan mereka yang punya kewenangan sebagai penyelenggara negara.
Kemudian yang ketiga political presurre dalam hal tertentu kita melakukan prinsip dasar politik misalnya dalam konteks tertentu, kita melakukan judicial review terhadap beberapa undang-undang yang dianggap bertentangan dengan undang-undang dasar. Atau pernyataan yang bernada kritik kepada pemerintah adalah bagian dari Muhammadiyah berperan sebagai organisasi non-politik dalam melakukan peran-peran politik. Kita juga menitipkan aspirasi persyarikatan melalui figur-figur yang bisa mengakomodir kepentingan Muhammadiyah. Kami memberikan dukungan kepada kader untuk berperan dalam bidang politik. Warga Muhammadiyah bebas untuk berkiprah di partai politik mana pun. Jadi Muhammadiyah itu tidak berpolitik, tapi agennya ada di mana-mana.
Apa pesan dan harapan Anda untuk presiden dan wakil presiden terpilih?
Kami sangat berharap bahwa beliau yang terpilih adalah Presiden Republik Indonesia bukan presiden dari partai politik yang mengusung. Loyalitasnya kepada partai selesai, dia harus berada di atas semua golongan dan partai. Kemudian menurut saya memang kita perlu untuk meninggalkan filosofi the winner takes all, yang menang akan mengambil semuanya. Jadi perlu juga memberikan ruang kepada yang berseberangan, yang memiliki kemampuan dan integritas. Jadi setelah pemilu saatnya semua bersatu untuk membangun Indonesia. Apa yang dilakukan Presiden Jokowi pada periode kedua dengan mengajak Prabowo dan Sandiaga Uno masuk kabinet adalah contoh yang paling nyata.
Kami juga berharap presiden dan wapres terpilih untuk menjadi pemimpin yang selalu dekat dengan rakyat, bukan hanya dekat saat ada maunya. Sepanjang masa jabatan itu selalu memerhatikan dan dekat dengan rakyat.
Abdul Mu'ti, Berkebun dan Mendengarkan Masyarakat Alit
Di luar kesibukannya sebagai seorang dosen, guru besar dan sebagai Sekjen PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Abdul Mu'ti, M.Ed, menghabiskan waktunya di rumah dengan berkebun dan beternak. Ia beruntung kediamannya di daerah Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan situasinya masih mendukung untuk berkebun dan memelihara ternak rumahan macam ayam, bebek dan burung berkicau.
“Saya ini anak petani dan berasal dari kampung, sehingga saya meneruskan kebiasaan bapak saya. Saat ada waktu senggang di rumah saya bertanam buah, sayuran dan bunga di pekarangan rumah. Saya juga beternak ayam kampung,” kata pria kelahiran Kudus, 2 September 1968.
Mengapa memilih beternak ayam? “Soalnya saya masih rindu dengan suasana di kampung halaman saya di Kudus, Jawa Tengah. Kalau pagi sebelum matahari terbit, saya selalu mendengarkan kokok ayam jantan yang membuat kita terjaga dari lelapnya tidur. Kokok ayam yang memecah keheningan pagi itu amat indah dan syahdu,” lanjut alumni IAIN S1 Walisongo (1991) ini.
Selain ayam jantan yang saban pagi mengumandangkan kokoknya yang merdu, Mu’ti juga terhibur dengan kicauan burung yang dipeliharanya di pekarangan rumah. “Di kota besar seperti Jakarta sudah susah menemukan burung berkicau di alam bebas. Nyaris tak ada pohon-pohon yang biasa dijadikan sarang oleh kawanan burung. Suasana seperti itu di daerah pinggiran Jakarta masih ada,” kata pria yang menyelesaikan studi S2 di Universitas Flinders, Adelaide Australia (1997).
Bahkan yang bikin sedih, lanjut dia, burung-burung yang masih tersisa terancam oleh perburuan liar. “Kalau sudah begitu mana bisa lagi kita mendengarkan kicau alami burung-burung di alam bebas. Sudah tak ada burung-burung yang bersarang di pohon karena pohonnya sudah jarang. Kalau pun ada kondisinya sudah terancam. Karena sudah sulit mendengarkan kicau alami, saya memelihara beberapa burung di pekarangan. Saya rindu sekali suasana seperti itu,” ujar Mu’ti yang menuntaskan S3 di UIN Syarif Hidayatullah (2008).
Masyarakat Alit
Karena ingin merasakan keramahan alam pedesaan seperti di kampung halamannya itulah, Abdul Mu'ti memilih tempat tinggal di daerah pinggiran Jakarta. Ia membeli lahan yang dijadikan rumah tinggalnya yang bersatu dengan masyarakat.
Mu’ti memang memilih tinggal dengan masyarakat alit (kecil) bukan masyarakat elite yang biasanya tinggal di kompleks perumahan mewah. “Saya memang memilih tinggal di kampung, tidak tinggal di perumahan. Jadi saya bisa berkumpul dengan masyarakat alit, bukan masyarakat elite,” katanya.
Tak jarang ia bertemu dan mengobrol dengan tetangganya ketika pulang dari kampus. Begitu juga di pagi hari sembari berjalan kaki, ia bisa mengobrol dengan tetangganya. “Saya ingin menjadi manusia biasa di tempat saya tinggal,” lanjut pria yang sempat mengikuti kursus singkat dalam bidang Pemerintahan dan Syariah di Universitas Birmingham, Inggris (2005).
Dalam berteman, ia punya prinsip berteman dengan sebanyak mungkin orang. “Hidup kita akan punya makna kalau kita punya sahabat yang sebanyak-banyaknya. Saya biasa menggunakan jasa ojol saat memang dibutuhkan. Dan saat itulah kadang saya bisa mendengar kisah-kisah unik dan lucu dari mereka,” ungkap Mu’ti yang membuat lapangan bulutangkis di dekat rumahnya untuk sarana berkumpul dan berolahraga dengan tetangga.
Meski tak menyebut siapa dirinya kepada masyarakat, kadang ada juga mereka yang tahu. “Sepertinya saya pernah lihat bapak muncul di televisi ya,” begitu Mu’ti menirukan ucapan tukang cukur langganannya.
Dengan cara bergaul dengan masyarakat itu ia bisa menyerap dan mendengarkan langsung apa yang dikeluhkan. Soalnya ia mendengarkan tanpa sekat dan pembatas yang bisa membuat bias.
Bersama Keluarga
Meski sibuk dengan tugas di kampus dan persyarikatan Muhammadiyah, ia tetap menyisihkan waktu untuk istri dan anak-anak. Kata kuncinya menurut Mu’ti adalah komunikasi. Dalam setiap aktivitasnya dia mengabarkan kepada keluarga agar mereka bisa mengetahui.
“Menjaga hubungan dengan keluarga amat penting. Walaupun saya banyak kegiatan, komunikasi dan perhatian pada keluarga tetap saya lakukan. Saat ada perjalanan dinas ke luar kota misalnya, mulai dari bandara, boarding, dan tiba di kota tujuan saya kabarkan. Setelah usai kegiatan pun saya juga berkabar. Dengan begitu mereka tahu semua apa yang saya lakukan,” kata Mu’ti yang aktif di Muhammadiyah mulai dari bawah hingga sekarang di posisi Sekjen.
Jika keadaan memungkinkan, ia akan mengajak istri dan anak-anaknya untuk ikut bersama dalam kunjungan dan tugasnya ke luar kota. “Jadi setelah usai tugas utama, saya akan mengajak anak dan istri untuk eksplore lokasi wisata di kota tersebut,” ungkap penulis buku Kristen Muhammadiyah: konvergensi muslim dan kristen dalam pendidikan.
Abdul Mu'ti sadar kesibukan di kampus dan juga di organisasi membuat nyaris waktunya terpakai. Bahkan di akhir pekan pun ada kegiatan. “Biasanya Muhammadiyah itu bikin acara di akhir pekan. Solusinya saya meluangkan waktu satu hari dalam sebulan khusus untuk bersama keluarga. Bisa berkumpul, makan bersama dan kegiatan lainnya dengan keluarga. Tapi kadang sudah dijadwalkan lewat karena ada acara penting,” pungkasnya.
"Demokrasi kita masih berorientasi pada kekuasaan. Ini yang menurut saya perlu menjadi catatan. Lalu saya lihat masyarakat masih belum beranjak dari demokrasi yang lebih substantif. Pilihannya masih didasarkan atas pertimbangan yang bersifat primordial dan pertimbangan yang kadang-kadang sangat pragmatis,"
The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)