Partager:

JAKARTA - Pemerintah diingatkan segera membentuk Satuan Tugas (Satgas) Anti Kekerasan di institusi negara. Hal ini menyusul adanya kasus kekerasan seksual di salah satu kementerian.

“Desakan ini penting untuk dijawab dengan langkah konkrit. Setelah DPR di bawah kepemimpinan Puan Maharani berhasil mengesahkan UU TPKS, sekarang saatnya membangun sinergi dengan lembaga-lembaga pemerintah,” kata Peneliti di Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Luky Sandra Amalia, Kamis 27 Oktober.

Menanggapi kasus pemerkosaan yang terjadi di salah satu kementerian, Ketua DPR Puan Maharani sebelumnya sudah meminta pelaku diberi sanksi berat sesuai aturan yang berlaku. Apalagi saat ini sudah ada Undang-undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Puan juga meminta Pemerintah membentuk Satgas Anti Kekerasan Seksual yang sejalan dengan UU TPKS guna mencegah kasus-kasus kekerasan seksual di lingkungan institusi negara.

Amalia menilai, UU TPKS dapat menjadi payung sebagai langkah konkrit yang diperlukan seperti pembentukan satgas, perlindungan korban, dan penindakan pelaku.

“Saya setuju dengan Puan, pembentukan satgas di setiap instansi negara bisa menjadi langkah konkrit awal untuk mencegah dan menindak kasus kekerasan seksual yang mungkin terjadi,” ucap aktivis perempuan dari Institut Sarinah itu.

“Melalui satgas di lingkungan instansi, sebagaimana dicita-citakan Puan, korban tahu harus kemana dan kepada siapa meminta perlindungan ketika dirinya mengalami kekerasan seksual, tanpa mengkhawatirkan tersebarnya identitas pribadinya,” imbuh Amalia.

Ditambahkannya, Satgas Anti Kekerasan Seksual yang kompeten juga dapat melindungi korban dari berbagai macam intimidasi dan tekanan yang justru datang dari lingkungan sekitar. Oleh karena itu, Amalia mendorong DPR membangun sinergi dengan pihak eksekutif agar Presiden memerintahkan jajarannya membentuk satgas di kementerian dan lembaga-lembaga serta turunannya.

“Sudah saatnya pihak Pemerintah membangun kesadaran bahwa kasus kekerasan seksual memang bisa terjadi di mana saja, termasuk di instansi Pemerintah. Pelaku dan korbannya pun bisa siapa saja, termasuk pegawai di lembaga tersebut,” tegasnya.

Amalia juga setuju dengan Puan yang meminta penindakan kasus kekerasan seksual di lingkungan institusi negara tidak boleh diintervensi oleh pihak mana pun. Menurutnya, penindakan kasus kekerasan seksual harus berjalan netral, termasuk tanpa ada intervensi dari atasan dan terlepas dari faktor senioritas.

“Situasi yang mendukung dapat menciptakan keberanian korban untuk berani speak up atas kekerasan seksual yang dialaminya,” sebut Amalia.

Mahasiswa Ph.D di The University of Sydney, Australia ini menilai, proses penindakan kasus kekerasan seksual tanpa intervensi juga dapat meminimalisir terjadinya kasus-kasus serupa di masa yang akan datang. Amalia pun mendesak aparat memahami prinsip tersebut.

“Proses tanpa intervensi yang dimaksud tentu akan menciptakan keadilan bagi korban. Jika terbukti, pelaku harus menghadapi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Bukan hanya dihukum selama satu tahun saja, misalnya,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Amalia meminta peran serta dari masyarakat untuk mendukung seruan Puan terkait persoalan kekerasan seksual yang masih menjadi momok di Tanah Air. Masyarakat disebut bisa menjadi penekan agar Pemerintah dapat merealisasikan pembentukan Satgas Anti Kekerasan Seksual.

“Supaya Pemerintah segera mewujudkan gagasan baik dari seorang Ketua DPR perempuan pertama sepanjang sejarah. Sebagai seorang perempuan, Puan tentu memiliki keberpihakan kepada korban kekerasan seksual yang mayoritas juga perempuan,” tutur Amalia.

Menurutnya, gagasan mengenai pembentukan Satgas Anti Kekerasan Seksual sebagai bentuk perlindungan bagi masyarakat hanya akan berakhir menjadi wacana semata jika tidak didukung oleh semua pihak, termasuk masyarakat itu sendiri. Untuk itu, Amalia berharap elemen-elemen masyarakat dapat ikut menyuarakan gagasan baik yang disampaikan Puan.

“Mumpung ketua DPR-nya perempuan dan memiliki gagasan baik untuk melindungi perempuan, tentu harus didukung. Jangan menunggu sampai kita yang menjadi korban kekerasan seksual baru kita mendukung gagasan baik ini, akan terlambat,” katanya.

“Dukungan ini penting untuk menciptakan zero tolerance terhadap kasus-kasus kekerasan seksual di sekitar kita,” lanjut Amalia.

Seperti diketahui, Ketua DPR RI Puan Maharani mendorong agar Pemerintah membentuk Satgas guna mencegah kasus-kasus kekerasan seksual di lingkungan institusi negara.

Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah diimbau membentuk Satgas Anti Kekerasan Seksual di setiap satuan kerja untuk menghindari kasus kekerasan seksual di kementerian/lembaga kembali terjadi.

Satgas Anti Kekerasan Seksual dinilai sejalan dengan UU TPKS yang tak hanya sekadar mengatur soal pemulihan, penanganan, dan penyelesaian kasus kekerasan seksual, tapi juga soal pencegahan.

“Selain berperan untuk mengawal penyelesaian kasus, Satgas juga bisa menjadi garda terdepan dalam upaya mencegah terjadinya kasus-kasus kekerasan seksual di lingkungan institusi negara,” ungkap Puan.

“Dukungan moral dan aturan sistemik pun harus dibuat untuk membantu korban pulih dari trauma,” tambah mantan Menko PMK itu.


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)