JAKARTA – Memori hari ini, tujuh tahun yang lalu, 18 Desember 2017, Menteri Agama (Menag), Lukman Hakim Saifuddin menegaskan peceraian belakangan ini sudah menjelma bak gaya hidup. Kondisi itu diungkap Lukman karena angka perceraian yang tinggi.
Sebelumnya, pernikahan adalah peristiwa sakral yang mengikat dua orang lawan jenis. Belakangan kesakralannya jadi pertanyaan seiring angka perceraian yang tinggi. Motif perceraian pun bervariasi. Ada yang bercerai karena masalah ekonomi, ada juga karena gaya hidup.
Urusan pernikahan bukan sesuatu yang mudah. Tanggung jawabnya besar. Kedua individu lawan jenis diharuskan sudah memikirkan matang-matang terkait bagaimana ke depan mengelola urusan ekonomi, sosial, maupun spiritual.
Ketiga hal itu jadi penting karena kehidupan pernikahan bukan dimaknai sekedar hidup bersama saja. Jika pemikiran pernikahan hanya hidup bersama belaka, niscaya suatu pernikahan mulai kehilangan kesakralannya.
Kondisi itu dapat menggoyang rumah tangga. Urusan ekonomi dan gaya hidup jadi hal yang paling sering bercokol sebagai alasan perceraian. Perihal ekonomi yang tak direncanakan matang bisa membawa kehidupan yang merana. Belakangan opsi perceraian yang dipilih.
SEE ALSO:
Opsi perceraian tak hanya dilakukan satu dua orang, tapi bejibun. Pengajuan percerian tiap bulan saja meninggi. Ambil contoh di Tulungangung, Jawa Timur. Pengajuan cerai di sana bisa mencapai 200-400 pengajuan tiap bulannya.
Penyebab perceraian muncul seputar orang ketiga, kesenjangan pendapatan, hingga perubahan gaya hidup. Mereka bahwa angka perceraian yang tinggi seakan-akan menjadikan urusan pernikahan –kawin cerai bak sesuai yang biasa. Padahal, tiap agama telah mencoba membendung umatnya dari perceraian.
Pengadilan pun begitu. Pengadilan pada hakikatnya ingin membuat pasangan rujuk dan mengubah niatnya supaya tak cerai. Namun, perceraian tak dapat dibendung.
"Data yang masuk (Tulungagung) untuk pengajuan gugat cerai di kisaran 200-400 pengajuan baru tiap bulan. Angkanya terus berfluktuasi. Juni dari 146 kasus dikabulkan 234 perkara (total dari perkara bulan sebelumnya), Juli dari 408 kasus dikabulkan 248 perkara, Agustus dari 317 kasus dikabulkan 349 perkara dan September hingga akhir pertengahan dari data masuk 175 kasus dikabulkan 177 perkara," ujar kata wakil Panitera Pengadilan Agama Tulungagung, Suyono dikutip laman ANTARA, 9 Oktober 2017.
Jumlah angka perceraian kian meninggi. Masalah itu sampai ke telingga Menag Lukman Hakim Saifuddin. Ia mengungkap bahwa belakangan ini perceraian seolah-olah sudah menjadi gaya hidup pada 18 Desember. Alias, perceraian sudah jadi tren negatif yang terus berkembang.
Alhasil, anggapan menikah yang sakral bak dicederai. Menikah kekinian dipandang bukan sesuatu yang sakral. Kondisi itu karena kian banyak orang yang kawin-cerai. Lingkungan setempat jadi menganggap hal itu adalah sesuatu yang biasa saja.
“Pada sebagian kalangan perceraian itu sudah menjadi lifestyle, sudah menjadi gaya hidup. Pernikahan sudah tidak dianggap sakral, terjadi desakralisasi pernikahan. Merasa lebih trendi, lebih gaya, semakin banyak kawin-cerai, semakin diterima di komunitasnya,” ujar Lukman sebagaimana dikutip laman tempo.co, 18 Desember 2017.
The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)