JAKARTA - Badai resesi ekonomi kerap dikenang sebagai mimpi buruk seluruh negara di dunia. Indonesia apalagi. Pengaruh resesi ekonomi cukup besar di Nusantara. Bahkan, mampu meruntuhkan dua rezim pemerintahan kuat – Orde Lama (Orla) dan Orde Baru (Orba).
Satu-satunya keberhasilan Indonesia melewati resesi adalah pada resesi ekonomi 2008. Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla ada di baliknya. Empunya kuasa mencoba belajar dari masa lalu. Resesi pun dapat dilewati. Kebijakan tepat guna jadi kuncinya.
Cara pandang mencermati resesi ekonomi ada banyak. Analogi yang mendekati adalah melihat figur seorang pilot dalam menerbangkan pesawat. Jikalau seorang pilot yang kompeten menerbangkan pesawat, kemungkinan pesawat jatuh terlampau kecil. Sebaliknya, jika seorang pilot tak kompeten niscaya pesawat jatuh.
Begitu pula dengan resesi. Kecakapan kepemimpinan diperlukan. Ketepatan menganalisis dan kecepatan menelurkan kebijakan yang tepat guna sangat diperlukan. Beda cerita ketika pemerintah memilih abai. Krisis itu akan berujung pada kejatuhan rezim. Rezim Orla dan Orba pernah merasakannya.
Rezim Orla yang dikomandoi oleh Soekarno acap kali berfokus kepada proyek mercusuar. Kala resesi ekonomi melanda pada akhir 1965. Empunya pemerintahan abai. Bahkan, cenderung meremehkan. Tiada kebijakan yang tepat guna dikeluarkan. Andai kata ada, kebijakan itu bermuara pada sengsaranya rakyat. Devaluasi rupiah atau pengurangan nilai rupiah, misalnya.
Rezim Orba di bawah Soeharto tiada beda. Elite politik justru tak menampakkan rasa prihatin. Mereka kerap sibuk dengan urusan sendiri-sendiri dan tampil glamor. Nyatanya, resesi 1997-1998 menghancurkan segalanya. Pertumbuhan ekonomi anjlok, inflasi tinggi, utang meningkat, perusahaan gulung tikar, dan pengangguran di mana-mana.
Baik – Soekano dan Soeharto—narasinya sama. Keduanya sama-sama lengser karena angin resesi ekonomi.
“Kemudian, krisis Asia yang dimulai di Thailand menghantam Indonesia. Rupiah selama ini berada dalam kisaran Rp2.500 per dolar, namun nilai ini segera merosot pada bulan Juli 1997. Pada bulan Agustus, nilai mata uang rupiah sudah menurun 9 persen. Bank Indonesia mengakui bahwa ia tidak bisa membendung rupiah terus merosot. Pada akhir Oktober, nilai tukar rupiah menjádi Rp4.000 per dolar. Dari sini, rupiah semakin terpuruk Pada bulan Januari 1998, rupiah tenggelam hingga level sekitar Rp17,000 per dolar, atau kehilangan 85 persen nilainya.”
“Bursa saham Jakarta hancur. Hampir semua perusahaan modern di Indonesia bangkrut, tabungan kelas menengah lenyap, dan jutaan pekerja diberhentikan dari pekerjaan mereka. Respons pertama pemerintah terhadap krisis mencerminkan kesombongan dan kurangnya kesadaran terhadap realitas. Reformasi diumumkan, namun proyek para kroni dan keluarga-seperti mobil nasional Tommy terus dilindungi,” ungkap Sejarawan M.C. Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008).
Jinakkan Resesi
Resesi ekonomi datang bak tsunami. Rezim Orla dan Orba jadi contoh kegagalan pemerintah dalam melawan resesi. Namun, bukan berarti resesi ekonomi tak datang diantisipasi. Belajar dari kesalahan masa lalu adalah guru yang paling dapat diandalkan.
Itulah yang kemudian dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla saat memegang tajuk kepemimpinan Indonesia. Pemerintahannya mampu menjinakkan resesi ekonomi 2008. Kecepatan dan ketepatan kebijakan jadi kuncinya.
Sebelumnya, resesi ekonomi mulai terlihat pada pertengahan 1997. Satu per satu institusi finansial atau perbankan di dunia yang punya eksposur subprime mortgage (kelayakan kredit) terungkap mengalami kesulitan finansial. Pasar finansial dunia terkena imbasnya. Semuanya mengalami kepanikan. Utamanya, ketika bank investasi raksasa Lehman Brothers ditutup.
Kepanikan itu melanda Asia, kemudian Indonesia. Namun, kepanikan itu tak seperti resesi 1965 dan 1998. Kecepatan dan ketepatan duet antara pemerintah dan Bank Indonesia adalah di baliknya. Pemerintah Indonesia melakukan langkah tepat guna. Sederet produk kebijakan diinstruksikan untuk mendukung dan menyuntik modal instrumen perbankan tanah air.
Ekonomi Indonesia pun mulai pulih satu tahun setelahnya, alias pada 1998. Kembalinya ekonomi Indonesia dan menguatnya nilai tukar rupiah jadi bukti kesuksesan pemerintah Indonesia melewati resesi. Gubernur Bank Indonesia, Budiono menilai faktor penting kembalinya ekonomi Indoensia lebih cepat salah satu karena faktor meningkatnya harga komoditi ekspor Indonesia.
“Namun, ada satu faktor penting lagi yang perlu kita catat yang mendukung recovery ekonomi Indonesia yang kali ini cepat-lebih cepat daripada negara-negara lain di kawasan sekitar. Faktor ini adalah meningkatnya (kembali) harga komoditi ekspor utama Indonesia, seperti batu bara, hasil tambang dan mineral, minyak sawit dan karet.”
“Harga komoditi-komoditi itu anjlok sewaktu krisis 2008, tetapi kemudian mulai 2009 meningkat terus dan mencapai puncaknya pada tahun 2011. Indonesia menikmati boom ekspor. Dua faktor ini, yaitu kembalinya kepercayaan pelaku pasar dan boom ekspor, merupakan faktor positif yang mendorong kegiatan ekonomi dalam negeri,” ungkap Gubernur Bank Indonesia yang kemudian jadi Wakil Presiden Indonesia periode 2009-2014, Budiono dalam buku Ekonomi Indonesia dalam Lintasan Sejarah (2016).
SEE ALSO:
The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)