Di masa pandemi COVID-19 mencapai puncaknya pada Juni, Juli dan Agustus 2021 lalu, masyarakat terutama mereka yang terpapar virus corona dibikin pusing karena kelangkaan oksigen medis. Samator Group sebagai salah satu perusahaan gas industri pertama dan terbesar di Indonesia, menjadi tumpuan banyak pihak. Saat itu kata Rachmat Harsono, selaku Presiden Direktur  Samator Group mereka bekerja siang dan malam ikut membantu memenuhi kebutuhan oksigen medis. Pada saat yang bersamaan mereka juga harus berjibaku membawa perusahaan untuk bisa terlepas dari ancaman krisis.

***

Samator didirikan oleh mendiang Arief Harsono di Surabaya pada 22 Juli 1975. Ketika itu jumlah karyawan yang menangani  bidang  usaha asetilen itu masih berjumlah puluhan orang. Dalam perjalanan waktu Samator terus berkembang menjadi perusahaan yang tak hanya berkonsentrasi pada produksi gas industri, namun telah merambah ke berbagai bidang usaha dengan ribuan karyawan yang tersebar di seluruh Indonesia.

Kini di bawah kendali generasi kedua, Rachmat Harsono perusahaan telah berekspansi ke berbagai sektor seperti kesehatan, kimia, engineering procurement and construction (EPC), otomotif hingga properti. Namun bisnis inti sebagai perusahaan gas terbesar di Indonesia tetap terjaga. Samator memiliki jaringan dan fasilitas lebih dari 50 pabrik dan 100 pos pengisian yang tersebar dari Aceh hingga Ternate, Maluku Utara. 

Saat pandemi di Indonesia mencapai puncaknya, Rachmat tak pernah henti berkoordinasi dengan Departemen Kesehatan membahas kebutuhan oksigen medis. Menurut Rachmat ini adalah persoalan yang tak mudah, di satu sisi mereka tak bisa menutup mata atas kelangkaan oksigen medis yang ada, sementara pelanggan dari sektor industri juga membutuhkan gas dan produk lainnya dari Samator juga tak henti menghubungi. Dengan pertimbangan kemanusiaan produksi oksigen medis kemudian lebih diprioritaskan. Setelah keadaan normal, produksi kembali seperti semula.

“Sekarang kondisinya sudah normal. Alhamdulillah ya, biasanya itu 30 persen sampai 35 persen untuk kebutuhan oksigen medis, sedangkan yang 65 persen sampai 70 persen adalah oksigen untuk industri. Namun pada waktu pandemi COVID-19 sedang tinggi kemarin,  90 persen kita produksi oksigen medis. Jadi saat itu teman-teman industri juga teriak. Kita bingung mau lancarkan program pemerintah untuk infrastruktur di satu sisi,  dan di sisi lain harus menolong orang. Kita berimbang saja,” ungkap Rachmat kepada Iqbal Irsyad, Edy Suherli, Savic Rabos dan Rifai, yang menemuinya di kantor Samator Jakarta, Saharjo, Manggarai, Jakarta Selatan belum lama berselang. Inilah petikan selengkapnya.

Rachmat Harsono. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Ketika semua sektor mengalami kesulitan karena terdampak pandemi,  bagaimana dengan Samator?

Kesulitan atau tidak itu tergantung bagaimana kita mensikapi krisis itu.  Pada April dan Mei 2020 sudah terjadi lockdown besar-besaran (PSBB), kita merapatkan barisan. Kita menerapkan strategi agar sales tidak turun. Karena kita punya kantor dari Aceh hingga Ternate, tentunya mobilitas kita maupun supervisi akan terganggu. Nyatanya 2020 industri PMA (Penanaman Modal Asing) turun 20 sampai 30 persen. Khususnya dari otomotif, dan baja, namun karena segmen kita itu enggak cuma di otomotif, ada di rumah sakit, dan juga retail. Kita juga ada di infrastruktur, tentunya kita terbantu.

Kunci mengatasi krisis itu adalah kecepatan kita untuk menanggapi, kecepatan kita untuk melakukan transformasi digital. Sejak 2016-2017 kita sudah mulai melakukan transformasi digital. Namun karena pandemi ini akselerasinya lebih cepat. Kita pernah melakukan stress test apabila turun sales turun 20% atau 30% apa yang kita lakukan. Alhamdulillah pada tahun akhir 2020 sales kita hanya turun 0,7 persen.

Menurut Anda kelangkaan oksigen kesehatan kemarin itu bisa buat Samator  sebagai entitas usaha positif atau sebaliknya?

Kalau saya bilang positif juga enggak bener, karena  produk yang kita jual  dengan harga yang sama. Tidak mungkin kita menaikkan harga. Walau pun kenyataannya para distributor dan pedagang retail menaikkan harga. Karena susah mencarinya. Orang yang beli oksigen pada kita, kita minta surat keterangan dokter. Kalau penderita COVID-19 kita bolehkan membeli dua tabung. Namun kalau tidak, hanya satu saja. Kalau ada yang bilang ada yang menimbun oksigen bagaimana caranya, memang masker yang bisa ditimbun. Oksigen tak bisa.

Kelangkaan oksigen itu apa bisa diantisipasi dengan meningkatan jumlah produksi?

Produksi itu konstan jadi setiap kapasitas produksi yang kita miliki, sudah ada desainnya. Misalnya kapasitasnya 1000, kita enggak bisa dinaikkan menjadi 5000. Kapasitas produksi yang sudah segitu. Jadi saya engga bisa bilang kelangkaan ini blessing atau bukan blessing.

Rachmat Harsono. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Waktu kelangkaan oksigen untuk kesehatan, fokus untuk oksigen kesehatan sementara untuk oksigen industri dikurangi, berapa besar  peralihan itu?

Sekarang kondisinya sudah normal. Alhamdulillah ya biasanya itu 30 persen sampai 35 persen untuk kebutuhan oksigen medis, sedangkan yang 65 persen sampai 70 persen adalah oksigen untuk industri. Namun pada waktu terjadi pandemi yang tinggi tingginya COVID-19 itu 90 persen untuk medical. Jadi saat itu teman-teman industri juga teriak. Kita bingung mau lancarkan program pemerintah untuk infrastruktur di satu sisi,  dan di sisi lain harus menolong orang. Kita berimbang saja.

Untuk ekspor apakah?

Kita engga melayani ekspor, pilihan kita pada pasar domestik saja. Oksigen, nitrogen dan gas itu kan gampang menguap. Kalau kita transporting saja dari pulau A ke pulau B itu ada penyusutan. Oksigen itu kalau kita diamkan selama dua bulan juga akan menyusut 40 sampai 50 persen. Jadi tidak bisa menimbun oksigen.

Saat pandemi tinggi pada Juni, Juli dan Agustus, orang tua Anda harus pergi untuk selamanya, kami ikut berduka untuk kepergian ini?

Ya, bulan Juni, Juli dan Agustus 2021 saat pandemi di Indonesia tinggi-tingginya, adalah bulan yang penuh dengan tantangan. Orang tua saya harus pergi untuk selamanya (pada 2 Juli 2021), karena terpapar varian Delta COVID-19. Alhamdulillah  saya tidak kena, ibu saya kena dan istri saya juga kena.

Kapasitas produksi oksigen Samator per-hari itu berapa besar?

Oksigen yang diproduski Samator memproduksi 1000 ton perhari untuk pulau Jawa. Terus kalau untuk total seluruh Indonesia bisa 1.600 sampai 1.700 ton per hari. Sedangkan pada waktu tinggi-tingginya kemaren, kebutuhan sekitar 2.000 sampai 2.600. Jadi ada ketimpangan produksi dan permintaan. Saat itu ada beberapa perusahaan yang memproduksi oksigen untuk kepentingan pabrik atau usahanya sendiri, mereka juga  ikut membantu oksigen medis. Kita bantu mereka menyalurkan ke berbagai wilayah yang kekurangan oksigen. 

Pandemi ini amat dahsyat pengaruhnya, seperti apa Anda mensiasati keadaan yang sulit ini? 

Kita harus pandai-pandai menggunakan kesempatan ataupun krisis menjadi opportunity. Ada secerca harapan dibalik pandemi ini. Cuma model usaha juga harus beradaptasi dengan keadaan. Pemasaran tidak lagi dengan cara konvensional, menggunakan media online dan market place menjadi solusi untuk keadaan yang sulit ini. Jadi harus beradaptasi dengan keadaan.

Perkembangan ekonomi Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain cukup bagus. Penanganan pandemi pun saya karena kita lihat hanya butuh waktu 2 bulan udah selesai tapi jangan sombong ya. Kita harus mengantisipasi apabila terjadi gelombang ke-3.

Anda adalah generasi kedua dari mendiang Arief Harsono, bagaimana mempertahankan spirit yang dibangun oleh mendiang orang tua Anda untuk kemajuan  Samator ke depan?

Generasi kedua itu kalau kita komparasikan dengan olahraga di-pur. Saat ayah saya membangun bisnis ini berapa jumlah mungkin puluhan 30-40. Sekarang jumlah karyawan sudah meningkat berpuluh kali lipat dibandingkan saat ayah saya pertama membangun bisnis ini. Yang penting adalah impact,  berapa juta orang yang bisa diberikan manfaat dari perusaaan ini. Ayah saya selalu bilang berapa banyak yang bisa kita berikan manfaat kepada orang lain. Patokannya itu, berapa banyak orang yang bisa kita bantu.

Rachmat Harsono Pilih Jadi Pembina Atlet daripada Jadi Atlet 

Caption

Sejak muda, Rachmat Harsono sudah suka dengan olahraga. Dia sempat menekuni olahraga basket dan bola voli. Namun kemudian berpikir kalau menjadi atlet profesional dia hanya seorang diri menginspirasi. Kalau menjadi pembina olahraga lebih banyak superstar yang bisa dihasilkan dan itu bisa lebih banyak lagi menginspirasi orang.

Ketertarikannya pada dunia bola voli membuat Samator, perusahaan yang ia pimpin memiliki klub dan pembinaan atlet bola voli yang berjenjang. Seperti halnya Djarum yang concern dalam pembinaan olahraga bulutangkis. “Atlet kita itu banyak yang berpotensi  tapi pembinaannya yang kurang. Karena itu kami mendirikan klub bola voli,” kata alumni Beijing Normal University Beijing (1999).

Lewat olahraga kebanggaan sebagai bangsa bisa meluas hingga ke mancanegara. Saat berprestasi bendera merah putih dan lagu kebangsaan Indonesia Raya bisa  berkibar dan berkumandang di kancah dunia. “Yang bisa mengumandangkan lagu kebangsaan Indonesia Raya di negeri orang lain itu hanya dua. Pertama saat presiden kita melakukan kunjungan kenegaaraan. Dan yang kedua lewat olahraga, saat kita juara satu,” kata Rachmat yang juga menuntut ilmu di negeri Paman Sam. Ia menyelesaikan studi di Marquette University Milwaukee, WI (B.Sc) tahun 2003. Dan kemudian University of Chicago (MBA) tahun 2011.

Caption

Dengan semangat NKRI, kita jadikan bola voli  menjadi olahraga yang bisa menjadi kebanggaan. “Dan itu terbukti, tim bola voli Putra Indonesia bisa meraih medali emas di SEA Games 2019 lalu di Filipina. Dan total dari pemain bola voli putra yang mendapat emas itu,  7 orang dari klub Samator. Jadi kami boleh bangga dengan prestasi yang ditorehkan atlet binaan Samator,” kata Rachmat yang menyelesaikan Kursus di Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (LEMHANNAS RI) PPRA LIII (2015)

Daripada menjadi atlet Rachmat lebih memilih menjadi pembina olahraga. “Kalau jadi atlet kita memang bisa menginsipirasi  orang, tapi iya kalau kita jadi atlet. Tapi kalau jadi pembina atlet itu ternyata manfaatnya lebih banyak. Jadi kita bisa ciptakan tujuh superstar seperti yang ada sekarang,” katanya.

Itulah kenapa Rachmat lebih memilih menjadi pembina olahraga dari pada dia sendiri yang menjadi atlet profesional.

Caption

Di masa pandemi ini Rachmat tetap melakukan olahraga dan menjaga pola makan yang seimbang. “Saya bangun pagi sekitar jam 5 pagi. Jalan pagi di sekitar rumah dan  melakukan pilates. Kalau weekend saya golf. Kalau dulu saya melakukan olahraga berat seperti triratlon, basket, bola voli dan lain,” katanya.

Bagi Rachmat Harsonop banyak hal bisa dia lakukan ketika bagun pagi. Ia bisa bermeditasi, menuliskan rencana kebaikan yang akan dilakukan sepanjang hari. “Jam 5 pagi adalah waktu yang bagus untuk memulai aktivitas,” kata Rachmat yang kini masih tercatat sebagai  mahasiswa di Tsinghua University – PBCSF BRIEMBA (People Bank of China School of Finance Belt and Road Initiative Executive Master of Business Administration).

“Generasi kedua itu kalau kita komparasikan dengan olahraga dipur. Saat ayah saya membangun bisnis ini berapa jumlah mungkin puluhan 30-40. Sekarang jumlah karyawan sudah meningkat berpuluh kali lipat dibandingkan saat ayah saya pertama membangun bisnis ini. Yang penting adalah impact,  berapa juta orang yang bisa diberikan manfaat dari perusaaan ini. Ayah saya selalu bilang berapa banyak yang bisa kita berikan manfaat kepada orang lain. Patokannya itu, berapa banyak orang yang bisa kita bantu,”

Rachmat Harsono