Waiting For The Return Of Parliamentary Opposant Functions
JAKARTA – Selama hampir sepuluh tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, fungsi DPR sebagai lembaga yang mengawasi kebijakan pemerintah boleh dibiliang minim. Jangankan penggunaan hak eksklusif seperti interpelasi dan angket, dalam pembuatan undang-undang pun DPR terkesan “mengikuti” kemauan pemerintah.
Sebut saja revisi Undang-Undang KPK dan pembuatan Undang-Undang Cipta Kerja yang mematik kontroversi di tengah masyarakat dan berujung pada upaya uji materi di Mahkamah Konstitusi. Dominannya koalisi pendukung pemerintahan Jokowi di parlemen menjadi salah satu sebab mulusnya program-program yang dicanangkan pemerintah.
Padahal, Wakil Ketua DPR 2014-2019, Fahri Hamzah menjelaskan bahwa dalam sistem presidensial yang dianut di Indonesia saat ini, parlemen berfungsi sebagai oposan bagi pemerintah. “Banyak parpol yang belum paham konsep oposisi dalam sistem presidensialisme. Dalam presidensialisme enggak ada oposisi, karena yang beroposisi dalam presidensialisme adalah parlemen,” ujarnya, Jumat 5 Juli 2019 silam.
Dia mengungkapkan, dalam sistem presidensial, rakyat memilih eksekutif untuk menjalankan roda pemerintahan, dan legislatif untuk mengontrol serta mengawasi kegiatan pemerintah. Karena itu, dalam sistem presidensial pihak oposisi dipegang oleh legislatif sesuai dengan janji mereka saat dipilih oleh rakyat.
Kini, usai perhelatan Pemilu 2024, situasi di parlemen mendadak memanas. Penyebabnya, apalagi bila bukan munculnya wacana penggunaan Hak Angket Pemilu 2024 yang diduga sarat dengan kecurangan. Pernyataan Ganjar Pranowo yang meminta DPR menggulirkan Hak Angket sontak disambut tiga anggota DPR, Aus Hidayat Nur (Fraksi PKS), Luluk Nur Hamidah (Fraksi PKB) dan Aria Bima (Fraksi PDIP) yang menyuarakan hal tersebut dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa 5 Maret lalu.
Upaya Gagalkan Hak Angket dengan Ketakutan
Meski belum resmi digulirkan di DPR, Ganjar menyebutkan ada upaya penggembosan Hak Angket Pemilu 2024, salah satunya adalah dengan cara menyebar ketakutan yang berimbas pada sejumlah saksi yang menolak memberikan kesaksian soal dugaan kecurangan pemilu.
“Padahal, sekarang ini saatnya masyarakat tidak takut. Karena yang nakuti itu jenisnya genderuwo,” ujarnya di rumah seniman Butet Kertaradjasa di Kasihan, Bantul, Senin, 11 Maret.
Selain itu, mantan Gubernur Jawa Tengah tersebut mengungkap adanya pendekatan lembaga tertentu terhadap tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat agar tak mendukung Hak Angket. Sebab, Hak Angket dianggap tidak penting mengingat pemilu berjalan damai. “Informasi ini saya dapat dari seorang tokoh agama di Jepara, Jawa Tengah. Ya ada semacam upaya cooling sytem,” imbuhnya.
SEE ALSO:
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar, Ujang Komaruddin menilai bahwa Hak Angket Pemilu 2024 akan sulit terwujud. Dia mencatat ada beberapa upaya yang diduga dilakukan agar Hak Angket tidak bergulir.
Pertama, dilaporkannya Ganjar ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso. Meski Sugeng membantah laporannya bermuatan politis, Ujang menduga adanya hal tersebut. Menurutnya, masyarakat sudah dapat menilai ada atau tidaknya unsur politis dalam laporan terhadap Ganjar tersebut.
Kedua, Presiden Jokowi dinilai tidak akan tinggal diam dengan upaya pengguliran Hak Angket. Ujang menyebut, Presiden Jokowi tentu ingin dikenang sebagai pemimpin negara yang berhasil melaksanakan pemilu secara damai dan demokratis.
“Hak Angket itu jalur politik, pasti akan dilawan jalur politik juga oleh Jokowi. Karena itu, akan berat bila Jokowi masih memegang kendali sebagai presiden,” imbuhnya.
Ujang berpendapat, upaya lain untuk mencegah Hak Angket bisa dilihat dari pertemuan antara Jokowi dengan Ketua Umum NasDem, Surya Paloh. Selain itu, pernyataan Ketua Bappilu PPP, Sandiaga Uno yang tidak menutup kemungkinan bergabung dengan pemerintahan mendatang juga bisa menjadi sandungan dukungan terhadap bergulirnya Hak Angket.
“Dengan NasDem sudah bertemu, sekarang PPP punya jalan, pilihan, dan sikap sendiri, bisa bergabung pemerintah Prabowo-Gibran. Itu bisa diartikan tidak akan mendorong Hak Angket,” ungkap Ujang.
Dia menilai, upaya penggagalan Hak Angket sudah terlihat dan dilakukan secara terbuka oleh beberapa pihak, bukan hanya dilakukan di permukaan saja tetapi juga di 'belakang layar' oleh pihak tertentu. “Ini kan bukan rahasia lagi. Sudah bukan sesuatu yang tertutup tetapi sudah terbuka. Karena di politik kita ini, sejatinya tidak ada yang tertutup, semuanya terbuka. Cuma ada permainan depan layar dan permainan belakang layar,” tukasnya.
Koalisi Besar
Berjalan atau tidaknya Hak Angket Pemilu 2024 seolah menjadi sinyal apakah parlemen mampu menjadi pengawas dan oposan dari pemerintah mendatang. Bagaimana tidak, seperti halnya pemerintahan Jokowi, Prabowo Subianto juga tidak menutup kemungkinan untuk menambah jumlah parpol dalam koalisi pemerintahannya bila resmi diumumkan sebagai pemenang Pilpres 2024 dan dilantik Oktober mendatang.
Co-Captain Timnas AMIN, Sudirman Said mengklaim mendengar kabar adanya skenario untuk memasukkan hampir seluruh parpol ke dalam koalisi besar Prabowo secara permanen, dan nantinya hanya akan satu atau dua parpol di luar pemerintahan. Dengan demikian, kekuatan oposisi menjadi tidak signifikan dan tidak akan menjadi ancaman bagi program-program pemerintahan Prabowo.
Bahkan, sudah ada ajakan-ajakan dari koalisi pemenang pemilu untuk bergabung dengan pemerintahan mendatang. Deputi Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat, Kamhar Lakumani, meyakini jika Prabowo akan terbuka dan merangkul semua elemen politik di pemerintahan barunya.
Dia menilai, Prabowo tentu akan belajar dari pengalaman Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat yang pada Pemilu 2004 gagal menguasai parlemen. Salah satu imbasnya, DPR kemudian menaikkan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) ke angka 20 persen perolehan kursi parlemen, untuk menghambat SBY mencalonkan lagi.
“Pengalaman itulah yang membuat Pak SBY di periode keduanya membuat koalisi yang lebih besar. Pak SBY belajar dari periode pertamanya yang sering mendapat rintangan karena kekuatan koalisinya di parlemen kecil,” tutur Kamhar.
Sekjen DPP Partai Gerindra, Ahmad Muzani juga tak menampik adanya upaya untuk merangkul parpol kubu paslon 01 dan 03 ke pemerintahan Prabowo. Menurutnya, komunikasi dengan parpol-parpol itu berjalan lancar dan produktif. “Ada gayung bersambut; ada pembicaraan-pembicaraan tingkat lanjut. Cuma, semua pembicaraan kami itu menanti hasil keputusan KPU soal pemenang pilpres,” ungkapnya.
Ketua Majelis Pertimbangan Partai DPP PPP, Muhammad Romahurmuziy pun mengaku mendengar isu pembentukan koalisi besar yang bersifat permanen. Bukan hanya di tingkat pusat, tetapi juga ke daerah. Dia menyatakan, format koalisi ini mengadopsi koalisi Barisan Nasional yang terjadi dari beberapa parpol mewakili berbagai etnis di Malaysia.
Romy menceritakan, dari isu yang didengarnya, koalisi permanen itu kemungkinan akan dimotori oleh Golkar yang tengah diupayakan untuk mendapat kursi lebih banyak di parlemen. “Bahkan saya dengar ada skenario yang menyebut kemudian Pak Jokowi menjadi Ketua Dewan Pembina koalisi itu,” imbuhnya.
Sementara itu, politisi PKS, Mardani Ali Sera menegaskan bahwa rencana pembentukan koalisi besar tidak sehat untuk demokrasi. Pasalnya demokrasi yang sehat harus memberi ruang bagi berkembangnya kekuatan oposisi demi terciptanya mekanisme checks and balances.
“Kalau semua gabung ke pemerintahan, yang rugi tentu rakyat Indonesia. Sebab, parlemen tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai pengawas kebijakan pemerintah,” kata dia.