Stigma Negatif Adalah Musuh Bagi Pemerintah Dalam Menghadapi Pandemi COVID-19
JAKARTA - Juru Bicara Satuan Tugas COVID-19 Wiku Adisasmito mengapresiasi keterbukaan sejumlah pejabat publik di sejumlah instansi yang mengumumkan mereka terpapar COVID-19. Menurutnya, dengan mengumumkan ke publik, mereka sama saja telah membantu petugas kesehatan maupun pihak berwenang untuk memetakan penyebaran COVID-19.
"Keterbukaan informasi harus diapresiasi untuk kemudian ditracing dengan baik agar bisa terdeteksi penularan dari satu orang ke orang lain," kata Wiku dalam konferensi pers secara daring yang ditayangkan di akun YouTube Sekretariat Presiden, Selasa, 22 September.
Permintaan Wiku ini, bisa jadi disampaikan karena masih banyak masyarakat yang menutupi keadaan mereka yang telah terpapar COVID-19 dengan alasan tak mau mendapatkan stigma negatif. Namun, hal ini harusnya menjadi perhatian bagi pemerintah karena bisa menjadi musuh bagi penanganan virus ini di Indonesia.
Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman mengatakan banyak hal yang bisa ditimbulkan jika pemerintah tak bisa menekan stigma semacam ini di masyarakat, termasuk keengganan mereka untuk melakukan pemeriksaan ketika keadaan kesehatannya terganggu.
"Stigma ini sangat mengganggu dan akan menghambat. Misalnya, ada orang yang menganggap 'oh ini aib', menjadikannya sebagai penyakit yang kesannya negatif di tengah masyarakat, ini kemudian membuat orang menjadi tidak mau ditesting, orang yang harusnya pada contact tracing dia jadi menyembunyikan diri karena takut dikucilkan masyarakat," kata Dicky saat dihubungi VOI.
Bukan hanya stigma, pemerintah juga dianggap punya pekerjaan rumah untuk menekan rasa takut masyarakat. Sebab, ketakutan yang tak berdasaarkan akan menghambat pemerintah melaksanakan 3T atau testing (pengujian), tracing (pelacakan), dan treatment (pengobatan). Padahal, tiga hal tersebut membutuhkan peran masyarakat yang melaporkan dan terbuka terutama dengan keadaan mereka sendiri.
Selain membuat program pemerintah tak berjalan lancar, stigma dan ketakutan masyarakat ini juga dianggap memberikan dampak langsung di tengah masyarakat. Contohnya, adanya penolakan jenazah hingga penolakan tenaga kesehatan yang ingin kembali ke rumahnya setelah lama bertugas dan hal ini kerap terjadi beberapa waktu lalu.
Tak hanya itu, ketakutan ini juga membuat masyarakat yang terpapar COVID-19 kerap tak jujur dengan para tenaga kesehatan. Ujungnya, mereka yang harusnya merawat dan menyembuhkan masyarakat yang sakit malah ikut tertular.
"Ini yang harusnya disadari oleh masyarakat dan pemerintah," tegas Dicky.
Sebagai langkah untuk menanggulangi stigma negatif maupun ketakutan di tengah masyarakat, pemerintah harusnya membuat satu program yang bisa melibatkan masyarakat untuk membantu sesamanya dengan tetap menerapkan protokol kesehatan di tengah pandemi COVID-19.
"Sehingga ke depan mereka tahu, 'oh ini ternyata. Penyakitnya bisa pulih meskipun harus hati-hati dan menjaga protokol kesehatan'. Sehingga empati, simpati ini nanti bisa timbul menggantikan stigma. Ini penting. Karena tanpa peran masyarakat kita jadi berlama-lama dalam situasi krisis sehingga perlu saling support, saling mendukung," ujarnya.
SEE ALSO:
Sebelumnya, Satgas COVID-19 pernah meminta pejabat publik atau siapapun yang terpapar COVID-19 untuk menyampaikan kondisi mereka ke publik atau sesamanya. Hal ini bertujuan sebagai bentuk transparansi dan mempermudah pelaksanaan pelacakan kontak.
Bagi pejabat yang dinyatakan positif COVID-19, Wiku menyebut mereka tak perlu khawatir akan stigma negatif dari publik. Lagipula, penyampaian informasi ini semata-mata hanya untuk transparansi kepada publik.
"Ini merupakan bentuk transparansi publik dan tidak perlu takut menjadi stigma negatif kepada para pejabat publik," kata Wiku sambil menambahkan virus ini tidak mengenal jabatan atau status sosial. Sebab, siapapun bisa terpapar tanpa kecuali dan tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di berbagai negara yang ada di dunia sehingga tak perlu ditutupi.