Dianggap Merugikan, Serikat Nelayan NU Minta Pemerintah Revisi Aturan Pungutan PNBP
Ilustrasi. (Foto: Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama (NU) meminta agar pemerintah segera merevisi peraturan pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 86 dan 87 Tahun 2001 soal pungutan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pada nelayan.

Ketua Umum Serikat Nelayan NU Witjaksono mengatakan menilai bahwa kebijakan tersebut sangat merugikan masyarakat pelaku dan pekerja bidang kelautan dan perikanan.

"Bersama pengurus Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama di seluruh Indonesia, kami telah melihat, mendengar dan merasakan secara langsung dampak yang telah dan akan timbul akibat peraturan baru tersebut," katanya dalam keterangan tertulisnya, dikutip Kamis, 30 September.

Contohnya, kata Witjaksono, pada PP Nomor 85 Tahun 2011 tersebut memberi ruang untuk pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk kapal penangkap dan/atau pengangkut ikan berukuran 5 hingga 30 Gross Tonnage (GT). Sebelumnya pungutan hanya diberlakukan untuk kapal dengan ukuran di atas 30 GT.

"Di mana mayoritas dari pengguna kapal berukuran 5-10 GT adalah nelayan kecil. Seolah-olah memaksa nelayan dengan perahu kecil melaut sejauh-jauhnya demi membayar kas negara tanpa memperhatikan keselamatan nelayan kecil," ucapnya.

Tak hanya itu, menurut dia, penarikan pungutan pra dan pasca produksi berpotensi menimbulkan praktik manipulasi dan monopoli. Sehingga berisiko menimbulkan kerugian potensi pendapatan negara serta dimungkinkan praktik 'pengancaman' terhadap nelayan.

"Yang berakibat pada dihambatnya dokumen kelengkapan melaut oleh petugas di lapangan, menjadi aneh apabila nelayan yang hendak melaut dan mematuhi aturan harus dihambat dan dipaksa merugi untuk membayar hal yang tidak masuk akal," tuturnya.

Witjaksono menilai kenaikan pungutan dalam bentuk penentuan skala persentase kapal ukuran 5-60 GT sebesar 5 persen; 61-1000 GT sebesar 10 persen dan 1000 GT ke atas sebagai keputusan yang gegabah. Karena tidak sesuai dengan kemampuan SDM lokal dan cenderung menguntungkan pengusaha besar. Bahkan, membuka potensi kapal asing untuk semakin banyak beroperasi di perairan NKRI.

Lebih lanjut, Witjaksono mengatakan penetapan harga patokan ikan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 86 tahun 2021 untuk perhitungan pungutan hasil perikanan dan produktivitas penangkapan ikan, tidak memiliki dasar yang komprehensif.

"Karena melupakan dasar pembuatan kebijakan dengan tidak melibatkan organisasi kemasyarakatan terkait," ucapnya.

Selain itu, kata dia, penetapan tersebut tidak memperhatikan musim, kualitas ikan pasca tangkap dan lokasi tangkap. Bahkan ditemukan jenis ikan yang ditemukan memiliki harga jauh lebih rendah daripada harga patokan tersebut yang tentu saja membuat nelayan merugi.

"Pola perhitungan diatas pun sangat merugikan para buruh nelayan yang mayoritas pendapatannya didasarkan pada hasil penjualan tangkapan ikan setelah dikurangi biaya operasional," jelasnya.

Witjaksono mengaku sangat prihatin melihat terbitnya keputusan menteri tersebut. Karena demi peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dengan menjadikan masyarakat kecil sebagai 'objek perah' demi mengejar pencapaian diatas kertas yang sejatinya merupakan 'fatamorgana'.

"Negara tidak layak untuk membuatkan aturan yang memberatkan masyarakat, KKP dan instansi terkait harus berpikir kreatif demi kesejahteraan nelayan, bukan menyengsarakan nelayan. Jika memang KKP belum bisa menemukan cara untuk membantu nelayan, kami mohon agar tidak menambah kesengsaraan nelayan dan masyarakat kecil," ucapnya.