Bagikan:

JAKARTA - Penerapan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) menjadi sorotan Pemerintah Amerika Serikat (AS).

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan, Indonesia tetap terbuka untuk menjalin kerja sama dalam sistem pembayaran digital, termasuk dengan operator internasional seperti Visa dan Mastercard.

"Terkait dengan QRIS atau GPN, Indonesia sebetulnya terbuka untuk para operator luar negeri termasuk Master atau Visa," kata Airlangga dalam konferensi pers secara virtual, Jumat, 25 April.

Ia menekankan, tidak ada perubahan perlakuan terhadap pelaku asing dalam ekosistem pembayaran nasional.

Airlangga menegaskan, operator asing diperbolehkan untuk terlibat baik di sisi front-end maupun dalam peran lain dalam ekosistem gateway pembayaran, dengan prinsip kesetaraan.

"Untuk di sektor credit card itu tidak ada perubahan. Kemudian untuk sektor gateway ini mereka terbuka untuk masuk dalam front end maupun berpartisipasi dan itu level playing field dengan yang lain. Jadi ini sebetulnya masalahnya hanya penjelasan," jelasnya.

Sebelumnya, dalam dokumen National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers 2025 yang dirilis pada akhir Maret, US Trade Representative (USTR) turut menyoroti sejumlah regulasi dari Bank Indonesia (BI), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Adapun salah satu sorotannya yaitu Peraturan BI No. 19/08/2017 tentang National Payment Gateway (NPG) mewajibkan seluruh transaksi ritel domestik menggunakan kartu debit dan kredit diproses melalui lembaga switching NPG yang berada di Indonesia dan berlisensi dari BI.

Regulasi ini juga membatasi kepemilikan asing di lembaga switching NPG maksimal 20 persen, serta melarang penyediaan layanan pembayaran elektronik lintas negara untuk transaksi ritel domestik.

Dalam peraturan BI No. 19/08/2017 tentang National Payment Gateway (NPG) mewajibkan seluruh transaksi ritel domestik menggunakan kartu debit dan kredit diproses melalui lembaga switching NPG yang berada di Indonesia dan berlisensi dari BI.

Kemitraan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari BI, yang mensyaratkan adanya dukungan dari pihak asing terhadap pengembangan industri dalam negeri, termasuk melalui alih teknologi.

Selain itu, dalam peraturan BI No. 21 Tahun 2019, yang menetapkan standar nasional untuk sistem pembayaran berbasis kode QR atau QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard), dan mewajibkan penggunaannya untuk seluruh pembayaran berbasis QR di Indonesia turut menjadi sorotan Pemerintah AS.

Perusahaan-perusahaan asal AS, termasuk penyedia layanan pembayaran dan bank, menyatakan kekhawatirannya karena para pemangku kepentingan internasional tidak dilibatkan secara memadai dalam proses perumusan kebijakan ini.

Menurut mereka tidak adanya pemberitahuan mengenai potensi perubahan kebijakan, serta tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan pandangan terkait desain sistem dan bagaimana seharusnya sistem tersebut berinteraksi dengan infrastruktur pembayaran yang telah ada.

Selain itu, pada Mei 2023, BI mewajibkan seluruh transaksi kartu kredit pemerintah diproses melalui Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) dan juga mewajibkan penerbitan serta penggunaan kartu kredit oleh pemerintah daerah.

"Perusahaan-perusahaan pembayaran AS khawatir bahwa kebijakan baru ini akan membatasi akses terhadap penggunaan opsi pembayaran elektronik AS," tulis USTR dalam dokumen NTE tersebut.