JAKARTA - Amerika Serikat (AS) kembali menyoroti kebijakan sistem pembayaran digital Indonesia, khususnya QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dan GPN (National Payment Gateway), melalui laporan National Trade Estimate (NTE) 2025.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menyampaikan QRIS telah menjadi tulang punggung transaksi digital di Indonesia, dengan lebih dari jutaan merchant dan ratusan juta pengguna aktif pada 2025.
"QRIS bukan sekadar teknologi pembayaran berbasis kode QR. Ia adalah infrastruktur publik digital yang menyatukan berbagai metode pembayaran elektronik agar kompatibel secara nasional," tegasnya dalam keterangannya, Selasa, 22 April.
Achmad menyampaikan tujuan Bank Indonesia (BI) menerapkan standar ini adalah untuk menyederhanakan sistem pembayaran, menurunkan biaya transaksi, serta memperluas jangkauan layanan keuangan formal ke seluruh pelosok negeri.
Ia menambahkan dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, di mana inklusi keuangan menjadi tantangan utama, QRIS telah menjadi salah satu katalis penting dalam mendorong ekonomi digital yang inklusif.
Adapun, keberhasilan ini tidak lepas dari kebijakan Bank Indonesia yang sejak 2019 memastikan seluruh transaksi QR code mengikuti standar nasional sehingga dapat menyatukan fragmentasi sistem pembayaran digital, menekan biaya transaksi, dan memperluas akses keuangan bagi UMKM serta masyarakat pedesaan.
Meski demikan, AS melihat kebijakan ini sebagai bentuk proteksionisme yang menghambat integrasi dengan sistem global.
Achmad menjelaskan bagi Indonesia, QRIS bukan sekadar alat transaksi, melainkan instrumen strategis untuk melindungi data finansial warganya sehingga bengan maraknya ancaman cybercrime dan potensi penyalahgunaan data oleh korporasi asing, kontrol penuh atas infrastruktur pembayaran adalah langkah defensif yang rasional.
"Bayangkan jika sistem QRIS dioperasikan oleh perusahaan asing: data transaksi ratusan juta orang Indonesia bisa terekam di server luar negeri, rentan terhadap pengawasan pemerintah asing atau kebocoran yang merugikan konsumen," tuturnya.
Selain itu, AS juga mengkritik pembatasan kepemilikan asing di sektor pembayaran, seperti batas 20 persen kepemilikan untuk perusahaan infrastruktur backend.
Adapun, kebijakan ini dinilai menghambat investasi asing dan Indonesia bukan satu-satunya negara yang memberlakukan regulasi serupa. India, misalnya, membatasi kepemilikan asing di perusahaan fintech hingga 49 persen untuk melindungi pasar domestik.
Sementara, China bahkan menutup rapat sistem pembayaran digitalnya dengan kebijakan Great Firewall dan pembatasan ini bukan tanpa alasan karena sektor keuangan adalah urat nadi ekonomi suatu negara.
Achmad menyampaikan jika sektor keuangan dikuasai asing, bukan hanya data yang rentan, tetapi stabilitas moneter dan kebijakan fiskal bisa dipengaruhi oleh kepentingan luar.
"Krisis keuangan Asia 1998 menjadi bukti betapa liberalisasi sektor finansial yang tak terkendali bisa berujung pada kehancuran ekonomi," tegasnya.
Menurutnya dengan membatasi kepemilikan asing, Indonesia berusaha memastikan bahwa keputusan strategis di sektor pembayaran tetap di tangan lokal, sehingga respons terhadap krisis bisa lebih cepat dan terukur.
Sementara itu di luar isu geopolitik dan kedaulatan, Achmad menyampaikan pembangunan sistem pembayaran domestik juga sangat rasional dari sisi efisiensi biaya lantaran sebelum GPN dan QRIS, transaksi yang menggunakan jaringan internasional sering kali dikenakan biaya tinggi karena harus melalui switching luar negeri.
"Ini bukan hanya memberatkan konsumen, tapi juga pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang kini menjadi tulang punggung perekonomian," ucapnya.
Achmad menyampaikan dengan QRIS, biaya transaksi bisa ditekan, sehingga makin banyak pelaku usaha informal yang dapat bergabung ke dalam ekosistem keuangan digital.
Ia menambahkan ini juga berdampak positif bagi pemerintah dalam hal perluasan basis pajak dan distribusi bantuan sosial secara digital. Serta efisiensi ini bukan hanya soal keuntungan komersial, tapi menyangkut keadilan sosial dan keberlanjutan ekonomi nasional.
BACA JUGA:
Achmad menyampaikan kritik AS terhadap GPN yang mewajibkan transaksi kartu debit/kredit diproses melalui gateway lokal juga perlu dilihat dari perspektif sejarah.
Sebelum GPN, sekitar 90 persen transaksi kartu di Indonesia dikuasai jaringan internasional seperti Visa dan Mastercard, dengan biaya switching yang tinggi Dengan hadirnya GPN dapat menekan biaya tersebut sekaligus mengurangi ketergantungan pada sistem luar.
"Langkah ini sejalan dengan tren global. Rusia, misalnya, mengembangkan sistem Mir Card setelah sanksi Barat memutus aksesnya ke SWIFT. Namun, AS menganggap GPN dan QRIS "tidak kompatibel" dengan sistem global," ucapnya.
Achmad menyampaikan di sini terjadi paradoks dimana satu sisi, perusahaan AS ingin integrasi, tetapi di sisi lain, mereka enggan menyesuaikan diri dengan standar lokal.
"Padahal, kompatibilitas seharusnya bersifat dua arah. Alih-alih memaksa Indonesia mengadopsi standar global, perusahaan asing bisa berinovasi agar layanannya selaras dengan QRIS. Justru ketidakmampuan beradaptasi dengan kebijakan lokal yang menjadi akar masalah," ujarnya.