Bagikan:

JAKARTA – Pemerintah Amerika Serikat (AS) menyoroti sejumlah kebijakan sistem pembayaran domestik Indonesia, termasuk Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), dalam rangkaian negosiasi mengenai tarif impor yang dikenakan terhadap produk Indonesia.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa pemerintah Indonesia telah merespons perhatian dari pihak AS dengan menggelar koordinasi lintas lembaga, termasuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI). Langkah ini diambil untuk menjawab kekhawatiran Negeri Paman Sam terhadap mekanisme pembayaran dalam negeri yang dinilai terlalu tertutup bagi pelaku usaha asing.

“Kami sudah berdiskusi dengan OJK dan juga BI terkait sistem pembayaran (payment) yang menjadi perhatian pihak Amerika,” ujar Airlangga dalam konferensi pers yang disiarkan melalui kanal YouTube Kemenko Perekonomian, dikutip pada Sabtu, 19 April 2025.

QRIS dan GPN selama ini menjadi bagian dari strategi nasional dalam memperkuat kedaulatan sistem pembayaran dan mendorong efisiensi transaksi digital di Indonesia. Namun, AS menilai bahwa penerapan sistem tersebut dapat menghambat keterlibatan perusahaan asing dalam sektor keuangan dan layanan pembayaran Indonesia.

Selain sistem pembayaran, kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) juga turut menjadi sorotan utama dalam perundingan tarif impor tersebut. Pemerintah AS menilai kebijakan TKDN yang diterapkan di berbagai sektor, termasuk pada produk teknologi dan infrastruktur, sebagai hambatan perdagangan.

Menanggapi hal ini, Airlangga mengungkapkan bahwa Presiden terpilih Prabowo Subianto telah memberikan arahan untuk melakukan evaluasi terhadap format TKDN agar lebih fleksibel dan berorientasi pada insentif, bukan pembatasan.

“Dalam rapat dengan Presiden, telah diminta agar format TKDN diperbaiki menjadi incentive-based, agar lebih adaptif dan tetap mendukung daya saing industri,” kata Airlangga.

Ia menambahkan bahwa AS meminta kejelasan mengenai beberapa produk yang secara teknis tidak masuk dalam konteks ekspor-impor, namun tetap terdampak regulasi lokal. Salah satu contohnya adalah fasilitas pusat data (data center), yang kerap menghadapi kewajiban penempatan server di dalam negeri.

“Tentu dari Amerika ada permintaan terhadap produk-produk tertentu yang secara bisnis praktis itu sifatnya bukan import-export, contohnya seperti data center,” jelasnya.

Berdasarkan informasi yang dirilis melalui laman resmi Gedung Putih (Whitehouse.gov), kebijakan konten lokal seperti TKDN menjadi salah satu alasan AS mengenakan tarif resiprokal kepada Indonesia. Tarif tersebut mencapai angka hingga 32 persen terhadap sejumlah komoditas asal Indonesia.

Sebagai langkah diplomasi ekonomi, Indonesia dan AS telah sepakat untuk membuka ruang negosiasi selama 60 hari. Negosiasi ini bertujuan untuk merumuskan solusi bersama yang mendukung terciptanya sistem perdagangan yang adil, terbuka, dan seimbang antara kedua negara.

Pemerintah Indonesia, kata Airlangga, akan terus mendorong dialog konstruktif dan transparan dalam proses negosiasi, sambil tetap menjaga kepentingan nasional, khususnya dalam perlindungan industri dalam negeri dan kedaulatan digital.

“Indonesia tetap terbuka untuk bekerja sama dalam kerangka kemitraan strategis, namun prinsipnya harus win-win,” tegas Airlangga.