JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menanggapi keluarnya Amerika Serikat dari Perjanjian Iklim Paris atau Paris Agreement. Dikatakan Bahlil, hengkangnya AS dari perjanjian ini membuat Indonesia menjadi dilema dalam usaha pengembangan energi baru dan energi terbarukan.
Pasalnya dalam perjanjian ini AS juga merupakan salah satu negara yang bertindak sebagai inisiatof Paris Aagreement.
"Engkau yang memulai, tetapi engkau juga yang mengakhiri,” ujar Bahlil pada sambutannya dalam agenda “Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Tantangan dan Peluang di Era Baru”, di Jakarta, Kamis,30 Januari.
Ia melanjutkan, sebagai konsekuensi dari Paris Agreement ini, semua negara kemudian berkomitmen untuk melakukan transisi energi dan lembaga keuangan dunia akan melakukan pembiayaan proyek energi hijau.
Untuk itu, dengan mundurnya AS dari perjanjian Paris ini kemudian menimbulkan keraguan bagi Indonesia untuk melanjutkan komitmennya terhadap perjanjian tersebut.
“Yang membuat ketidakpastian ini salah satu di antaranya adalah dinamika politik global. Paris Agreement ini kan merupakan konsensus global, kita dipaksa untuk mengikuti itu, padahal baseline yang kita punya tidak sebaik mereka, negara-negara G7 tersebut,” beber Bahlil.
Bahlil melanjutkan, proses transisi energi dari energi fosil menjadi energi terbarukan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Dengan keluarnya Amerika Serikat sebagai salah satu inisiator dari Paris Agreement dan surutnya lembaga pembiayaan untuk proyek-proyek energi terbarukan, Bahlil mempertimbangkan ulang nasib pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia.
“Kita jangan sampai terjebak. Makanya kita harus hitung dengan baik. Ini antara gas dan rem, seperti mengelola COVID-19,” ucap Bahlil.
BACA JUGA:
Sebelumnya pada Senin 20 Januari waktu setempat usai pelantikannya, Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa AS akan menarik diri dari Perjanjian Iklim Paris 2016 karena menganggap perjanjian tersebut tidak adil dan berat sebelah.
Pada hari yang sama, Trump menandatangani perintah eksekutif untuk secara resmi menarik diri dari perjanjian tersebut.
Perjanjian Paris tentang perubahan iklim diadopsi pada tahun 2015 oleh 195 anggota Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim.
Tujuan Perjanjian Paris adalah untuk membatasi peningkatan suhu rata-rata global hingga jauh di bawah 2 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri, dan sebaiknya mendekati 1,5 derajat Celcius.