JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia memastikan Indonesia masih berkomitmen terhadap Perjanjian Paris (Paris Agreement). Bahlil mengaku Indonesia masih berpegang teguh pada Paris Agreement kendati Amerika Serikat menyatakan mundur.
Dikatakan Bahlil, meski menyatakan komitmen, Indonesia masih mempertimbangkan skala prioritas termasuk keuangan dan biaya listrik.
"Kita lihat skala prioritas untuk melihat keuangan negara dan biaya listrik kita," ujar Bahlil usai menjadi pembicara dalam Mandiri Investment Forum, Selasa, 11 Februari.
Lebih lanjut Bahlil menyebut pemerintah masih akan menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) lantaran murahnya biaya yang dikeluarkan. Ia menyebut, biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan listrik dengan PLTU batu bara hanya sebesar yaitu sekitar 5 hingga 6 sen dolar AS per kWh.
Sedangkan, jika menggunakan energi bart terbarukan (EBT) biaya yang dikeluarkan mencapai 10 sen dolar AS. Dengan demikian selisih yang ada antara penggunan batu bara dan gas untuk 1 Gigawatt per tahun mencapai Rp5 hingga Rp6 triliun.
BACA JUGA:
"Jadi 5-6 triliun ini siapa yang menanggung? Negara? Subsidi lagi. Atau rakyat? Membebani rakyat. Saya kan harus berpikir mendahulukan kepentingan rakyat dong. Kalau Amerika aja keluar dari Paris Agreement, masa kita harus dipaksa-paksa terus?," tegasnya.
Bahlil menegaskan Indonesia tetap akan menggunakan PLTU batu bara namun dengan menggunakan metode blending atau campuran antara batu bara dengan gas serta sumber EBT lainnya.
"Blending dengan gas, kemudian matahari, dan atau kita lagi mendesain untuk menangkap carbon capture-nya. Sehingga batubaranya itu batubara bersih," tandas Bahlil.