Bagikan:

JAKARTA – Baru-baru ini di industri telekomunikasi telah dilangsungkan proses merger dan akuisisi (M&A) antara XL Axiata dengan Smartfren.

Proses M&A boleh dibilang cukup fenomenal setelah M&A antara Indosat dengan Hutchinson.

Dibilang fenomenal karena M&A tersebut bertujuan membentuk entitas yang lebih kuat dan kompetitif di pasar telekomunikasi nasional.

Melalui sinergi aset dan sumber daya, perusahaan baru ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas layanan serta menghadirkan solusi digital yang lebih luas. Merger ini juga menunjukkan tren konsolidasi industri sebagai respons terhadap meningkatnya permintaan layanan data dan digitalisasi.

“Dengan investasi yang lebih efisien dan strategi bisnis yang terintegrasi, merger seperti yang dilakukan XL Axiata dengan Smartfren berpotensi membawa manfaat ekonomi signifikan sekaligus mengubah lanskap industri,” ujar M. Rizal Taufikurahman, pengamat ekonomi dari INDEF dilansir dari keterangan tertulis, Senin, 23 Desember.

Rizal menegaskan merger dan akuisisi merupakan langkah atau strategi bisnis yang biasa dilakukan di dunia usaha. Dengan tujuan yang terukur dan komitmen bersama, kebijakan merger dapat dilakukan untuk memperkuat pangsa pasar.

“Intinya, merger dan akuisisi ini merupakan respons logis terhadap perubahan dan tuntutan pasar yang berkembang,” ujar Rizal.

Sejarah mencatat perusahaan-perusahaan dapat melakukan M&A saat berada dalam dua situasi berbeda. Pertama, adalah saat situasi ekonomi sedang sangat sulit. Penyebab lain adalah situasi yang berkebalikan, yaitu saat keuangan perusahaan justru sedang sangat baik.

Contoh lainnya juga terjadi pada PT Tridomain Performance Materials Tbk (TDPM). Di tengah pandemi Covid-19, terjadi perubahan kepemilikan saham di DH Corporation Ltd, yang sebelumnya dimiliki oleh Hadiran Sridjaja yang memutuskan untuk keluar dari bisnis resin sintetis secara keseluruhan. Hal ini membuka peluang bagi Xing Wang Group untuk mengakuisisi bisnis tersebut sebagai bagian dari upaya ekspansi operasi mereka di Indonesia.

Laporan keuangan PTDPM 31 Desember 2020 menyebutkan bahwa DH Corporation Ltd atau yang dahulu bernama Royal Chemie Corporation Limited ini merupakan entitas induk langsung dari TPDM. Efektif hingga 31 Januari 2024, DH Corporation Ltd masih menggenggam 7,60 miliar lembar saham TDPM. Jumlah tersebut mewakili 72,50% dari total modal perseroan. Adapun investor publik atau masyarakat menguasai 27,50% atau sebanyak 2,88 miliar.

Setelah diambil alih oleh Xing Wang Group, PT Tridomain Performance Materials Tbk (TDPM) berganti nama menjadi PT Tianrong Chemical Industry.

*Rizal mencatat bahwa meskipun peningkatan profit sering menjadi tujuan utama, namun aksi M&A ini juga memiliki dimensi strategis lainnya. Perusahaan kerap memanfaatkan M&A untuk mendapatkan teknologi baru, memperluas jangkauan pasar, atau mendiversifikasi bisnis demi mengurangi risiko di sektor tertentu.

Hal ini penting untuk menjaga stabilitas jangka panjang. Jadi, selain mencari profit, merger dilakukan untuk memastikan perusahaan mampu bertahan dan berkembang dalam lingkungan bisnis yang dinamis dan penuh tantangan.

Demikian juga yang terjadi pada merger Gojek dengan Tokopedia yang melahirkan entitas baru bernama GoTo. GoTo menjadi ekosistem teknologi terbesar di Indonesia dengan layanan yang mencakup transportasi, e-commerce, dan layanan keuangan digital. Merger ini tidak hanya memperluas pasar dan meningkatkan efisiensi, tetapi juga memperkuat posisi GoTo dalam menghadapi kompetisi regional di era digital.

“Keberhasilan merger ini menunjukkan bagaimana sinergi yang tepat mampu menciptakan nilai tambah bagi perusahaan, konsumen, dan perekonomian secara keseluruhan. Dalam sektor yang kompetitif, M&A menjadi strategi ampuh untuk mempertahankan eksistensi di tengah tekanan persaingan yang ketat,” paparnya.

Saat ini, kata Rizal yang juga Head of Center Indef, pasca-pandemi, aktivitas M&A kembali meningkat. Fokus perusahaan tidak lagi sekadar bertahan, tetapi juga berkembang melalui konsolidasi strategis.

“Teknologi dan inovasi menjadi faktor pendorong utama, berbeda dengan pandemi ketika perusahaan lebih fokus pada efisiensi biaya dan adaptasi mendadak terhadap krisis,” ujarnya. *