JAKARTA - Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Regional Satu Jabodebek dan Banten Roberto Akyuwen mengatakan, serangan siber pada industri perbankan semakin kompleks dan sulit dideteksi.
Menurut dia, serangan siber di industri perbankan akan terjadi terus menerus dan semakin canggih.
Roberto mengungkapkan, salah satu sasaran dari serangan siber perbankan saat ini adalah pada rantai suplai.
"Kalau dulu dia (serangan siber) lebih mendekati end user atau core system bank. Sekarang, karena kita terpapar dengan banyak sistem. Ketika core banking system meningkat, biasanya kita tingkatkan kapasitasnya. Ini yang membuat kita lebih terekspose, mendatangkan risiko serangan siber," kata dia saat acara Tantangan Cybersecurity menuju Indonesia Emas 2045 di Indonesia Banking School, Jakarta, Selasa, 10 Desember.
Roberto menjelaskan, tujuan dari para pelaku kejahatan siber saat ini beragam. Menurutnya ada yang sekadar iseng, namun ada yang masuk dalam kategori kejahatan serius demi mendapatkan keuntungan finansial.
Keuntungan tersebut pun digunakan untuk berbagai keperluan, seperti profit pribadi hingga biaya politik.
"Variasinya makin banyak. Ransomware pun dulu memang hanya duit, bayar selesai. Tapi sekarang mereka mau nunjukin bahwa mereka bisa mengganggu sistem suatu bank. Itu banyak kejadian begitu. Yang lebih parah lagi, sewaktu-waktu mereka bisa mampir ganggu lagi,” tutur dia.
Roberto mengungkapkan, dalam melawan serangan siber, ada konsekuensi yang harus ditanggung perbankan.
Sebab, lanjutnya, serangan siber di sektor keuangan hampir tiga kali lebih banyak dibandingkan industri lainnya.
"Ada tren keamanan siber untuk menggambarkan tentang konsekuensi yang harus ditanggung oleh suata lembaga jasa keuangan khususnya bank ketika berhadapan dengan serangan siber," ucapnya.
Roberto menjelaskan, kebocoran data menyebabkan peningkatan biaya yang sangat besar bagi perbankan.
Selain itu, untuk mengimplementasikan dan mengelola infrastruktur keamanan siber diperkirakan akan melonjak lebih dari 40 persen pada 2025.
Perbankan perlu meningkatkan penggunaan biometrik dan token karena bank-bank mulai mengenalinya sebagai suatu solusi yang berguna dalam pengendalian keamanan pembayaran.
Nasabah ke depannya juga akan lebih memilih jalur digital. Untuk itu, bank-bank perlu menyediakan otentifikasi dan proses pengendalian akses yang lebih canggih.
"Para nasabah mulai menggunakan biometrik untuk aktivitas-aktivitas perbankan, seperti otentifikasi pada mobile banking, melakukan transaksi pada ATM, dan pembayaran," pungkasnya.
BACA JUGA:
Sementara itu, Dosen Tetap IBS Hayu Prabowo menegaskan, pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk membangun ekosistem digital yang aman, inovatif dan berdaya saing.
“Kami (IBS) sebagai lembaga pendidikan komitmen mempersiapkan generasi muda yang kompeten di bidang keuangan, bisnis, dan teknologi digital,” ujarnya.
Ia berharap, dari seminar dapat meningkatkan kesadaran dan menciptakan sinergi dalam menghadapi tantangan transformasi digital.
“Seminar ini merupakan langkah nyata kami melakukan sinergi dengan berbagai pihak dalam mendukung transformasi digital yang berkelanjutan dan aman,” ucapnya.