Bagikan:

JAKARTA - BankTrack, Ekō, Artivist Network, Market Forces, Enter Nusantara, dan Toxic Bonds Network mendesak bank-bank di Asia Tenggara, termasuk perbankan nasional Indonesia, untuk tidak memfasilitasi penerbitan obligasi baru oleh perusahaan batu bara asal Indonesi, PT Adaro Energy Indonesia Tbk.

Untuk informasi, obligasi Adaro senilai 750 juta dolar AS akan jatuh tempo pada 31 Oktober 2024. Perusahaan kemungkinan akan menerbitkan obligasi baru untuk merestrukturisasi utangnya dan melanjutkan ekspansi bisnis bahan bakar fosilnya.

DBS dan OCBC adalah penjamin emisi obligasi sebelumnya dan ada peluang akan kembali menyediakan layanan penjaminan emisi untuk obligasi yang akan datang dan memfasilitasi ekspansi bisnis bahan bakar fosil Adaro.

Pada 2023, proyek peleburan aluminium Adaro dikecam sebagai greenwashing, meskipun bank-bank Indonesia tetap memberikan pembiayaan untuk proyek tersebut.

“Adaro saat ini tengah membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara berkapasitas 1,1 gigawatt (GW) di Kawasan Industri Hijau Indonesia, Kalimantan Utara. Langkah ini jelas bertentangan dengan klaim perusahaan mengenai transisi hijau. Jika Adaro berencana menerbitkan obligasi, kami mendesak lembaga keuangan yang berkomitmen pada agenda iklim untuk menolak memberikan dukungan selama Adaro masih membangun PLTU batu bara baru,” kata Aray dari Perkumpulan Lingkar Hutan Lestari, organisasi lingkungan yang berbasis di Kalimantan Utara dalam keterangan tertulis, Jumat, 27 September.

Sebelumnya, Adaro menyatakan akan menghentikan ketergantungan pada batu bara.

Pekan lalu, Adaro mengumumkan rencana untuk melepaskan 99,9 persen sahamnya di anak usahanya yang memegang bisnis batu bara, yakni PT Adaro Andalan Indonesia (AAI).

Namun, kata dia, hingga saat ini perusahaan belum mengumumkan batas produksi batu bara atau kapan keluar sepenuhnya dari bisnis batu bara.

Bahkan, mereka berencana memperkuat produksi batu bara metalurgi dengan memperluas operasi di tambang batu bara yang ada di Indonesia dan Australia.

Menurutnya, pelepasan saham AAI bisa jadi merupakan upaya untuk mendapatkan lebih banyak pendanaan operasi batu bara metalurgi.

Kurangnya komitmen dari bank-bank akan terus memungkinkan penambang batu bara seperti Adaro, menerima dukungan finansial yang berkelanjutan untuk melanjutkan ekspansi batu bara yang merusak iklim.

“Adaro berencana membuka tambang batu bara metalurgi baru di tiga konsesi, bertambah dari dua konsesi yang telah aktif. Batu bara metalurgi juga berkontribusi signifikan terhadap krisis iklim, yang menunjukkan ketidakkonsistenan transisi Adaro menuju komitmen hijau. Setiap lembaga keuangan yang mendukung Adaro berarti turut serta dalam memperburuk krisis iklim dan membahayakan kelangsungan hidup generasi mendatang,” kata koordinator Enter Nusantara, Reka Maharwati.

Dia menambahkan, di tengah meningkatnya bencana ekstrem akibat krisis iklim di Indonesia dan di seluruh dunia, bank-bank nasional Indonesia masih terus membiayai proyek batu bara, salahnya proyek PLTU Adaro.

Dia menilai, langkah ini jelas bertentangan dengan komitmen Pemerintah Indonesia untuk mempercepat pensiun dini PLTU batu bara.

"Komitmen iklim perbankan nasional juga tertinggal jauh dari tren global, di mana semakin banyak lembaga keuangan yang meninggalkan pembiayaan batu bara,” tambah Asia Energy Finance Campaigner Market Forces, Binbin Mariana.

Tak hanya itu, Binbin menyebut Adaro juga berada dalam pusaran kontroversi karena tuduhan penambangan ilegal, perusakan keanekaragaman hayati, pencemaran sumber air, dan pelanggaran hak asasi manusia, yang diungkapkan oleh lembaga pengawas korporasi Eko dan WALHI Kalimantan Selatan.

Laporan berjudul "In Coal Blood - How Adaro Destroyed Indonesian Biodiversity" mengungkapkan, aktivitas pertambangan Adaro meluas jauh melampaui area izin di Kalimantan Selatan, Indonesia.

Adaro bisa jadi melakukan penambangan batu bara secara ilegal dengan menghancurkan hutan hujan Indonesia dan memperburuk kerusakan iklim.

“Bisnis utama Adaro adalah batu bara, sesederhana itu. Meskipun Adaro mengklaim akan melakukan transisi hijau, tidak ada bukti yang mendukung pernyataan tersebut. Bank-bank yang mendukung Adaro tidak akan dapat meyakini bahwa aliran investasi ke Adaro akan digunakan untuk energi terbarukan, dan tidak akan digunakan untuk ekspansi batu bara. Hal ini dapat meningkatkan risiko reputasi dan hukum, bank-bank harus menghindari pendanaan bagi setiap anak perusahaan grup Adaro,” tutup Kampanye Keuangan Iklim di Eko, Apekshita Varshney,.