JAKARTA - Analisis Dirty 30 dari Toxic Bond Initiative menempatkan perusahaanbatu bara asal Indonesia, Adaro sebagai salah satu penerbit obligasi terkotor bersama perusahaan seperti Exxon dan Shell.
Dilansir dari analisis Toxic Bond Initiative, Adaro telah dinobatkan sebagai salah satu penerbit obligasi terkotor sedunia. Adaro bergabung dengan jajaran perusahaan bahan bakar fosil terbesar di dunia dari berbagai belahan dunia seperti Adani, Exxon, Shell, Saudi Aramco dan Total Energies.
Nabilla Gunawan, Campaigner Energi dan Keuangan dari lembaga Market Forces mengatakan, berdasarkan Toxic Bonds Initiative, tahun ini akan ada hampir 54 miliar dolar AS obligasi dari perusahaan energi kotor yang akan jatuh tempo, termasuk obligasi milik Adaro.
Di tanggal 31 Oktober tahun ini, obligasi milik anak perusahaan Adaro Energy Indonesia (ADRO), Adaro Indonesia, sebesar 750 juta dolar AS akan jatuh tempo. Adaro belum mengumumkan rencana refinancing untuk obligasi tersebut.
Dikatakan Nabilla, walaupun Adaro belum mengumumkan rencana refinancing, prospek untuk mendapatkan dukungan investor sangat suram jika Adaro tidak segera membatasi dan transisi keluar dari batu-bara.
“Saat ini sudah ada lebih dari 200 lembaga keuangan yang memiliki kebijakan divestasi dari energi kotor, sudah tidak dapat dipungkiri, saat ini batu-bara kotor telah menjadi musuh bersama investor,” ujar Nabilla dalam keterangan yang diterima VOI, Jumat 5 April.
Nabilla juga menyampaikan bahwa tanpa rencana yang kredibel untuk transisi keluar dari bisnis batu bara yang sejalan dengan net zero di tahun 2050, dan dengan berkurangnya sumber pendanaan batu bara, premi Adaro untuk hutang maupun obligasi dapat meningkat.
Nabila menyebut, penobatan Adaro sebagai salah satu penerbit obligasi terkotor di dunia terjadi di saat yang bersamaan setelah rentetan perusahaan dan bank-bank meninggalkan Adaro.
BACA JUGA:
Nbila mencontoh, belum lama ini Hyundai keluar dari perjanjian MoU pembelian aluminium dari produksi Adaro Minerals (ADMR). Berdasarkan data Market Forces, ketika Adaro mencari pendanaan untuk proyek smelter dan pembangkit listrik PLTU tahun lalu, melalui Kalimantan Aluminium Industry (KAI) dan Kaltara Power Indonesia (KPI), Adaro juga tidak berhasil mendapatkan komitmen bank internasional.
Dengan meningkatnya risiko pendanaan aset dan perusahaan batu-bara, mayoritas perbankan internasional telah menutup pendanaan ke sektor tersebut.
Namun, berdasarkan analisis Bank Track, dengan menyusutnya pinjaman bank untuk sektor batu-bara dan energi fosil, perusahaan energi kotor beralih ke obligasi sebagai opsi instrumen pendanaan eksternal. Obligasi mewakili 53 persen dari pendanaan eksternal untuk perusahaan energi di tahun 2020, sedangkan angka tersebut 26 persen di tahun 2010.