JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berpesan secara khusus ke Badan Anggaran (Banggar) DPR untuk dapat melakukan formulasi ulang atas acuan belanja wajib negara atau mandatory spending untuk anggaran bidang pendidikan sebesar 20 persen.
Sebagai informasi ketentuan pengalokasian anggaran belanja untuk sektor pendidikan sebesar 20 persen merupakan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
Adapun pada pasal 49 UU Sisdiknas menjelaskan bahwa dana pendidikan, selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan, dialokasikan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Menurut Sri Mulyani basis belanja wajib untuk sektor pendidikan sebesar 20 persen dari APBN selama ini rancu karena tidak memperhitungkan kondisi riil belanja negara. Alhasil, ketika kebutuhan belanja negara sedang tinggi, akibat pelemahan kurs atau kenaikan harga minyak, mandatory spending harus tetap dilakukan.
"Kalau kita lihat episode-episode tahun-tahun sebelumnya kadang-kadang belanja naik tinggi banget sehingga anggaran pendidikan itu harusnya naik, tapi kenaikan dari belanja seperti kalau kenaikan subsidi 2022 itu bukan karena kenaikan kita dapat duit banyak atau pendapatan besar dan kemudian belanjanya kita pakai untuk subsidi, tapi karena memang harga minyak waktu itu naik, kursnya menurun, sehingga belanja subsidi melonjak tinggi banget," kata Sri Mulyani dalam rapat bersama Banggar DPR, Rabu, 4 September.
Sri Mulyani memberikan contoh pada tahun 2022 dimana belanja negara mengalami kenaikan akibat kenaikan harga minyak mentah dunia dan melemahnya rupiah, sehingga beban subsidi naik hingga Rp550 triliun dibandingkan dari didesain awal sebesar Rp350 triliun. Dimana kenaikan tersebut harus dikompensasi dari belanja pendidikan yang sebesar 20 persen.
"Kenaikan sampai Rp200 triliun itu memberi konsekuensi harus 20 persen dari anggaran pendidikan. Nah ini yang menyulitkan dalam mengelola keuangan negara dalam artian bagaimana APBN tetap terjaga, defisitnya tetap di bawah 3 persen, APBN terjaga tetap sustainable, tapi compliance terhadap 20 persen anggaran pendidikan itu tetap kita jaga," tuturnya.
Oleh sebab itu, Sri Mulyani menyampaikan, realisasi anggaran pendidikan terkadang di bawah ketentuan mandatory spending.
Sehingga pihaknya telah membahas pentingnya merubah basis perhitungan pendidikan yang sebesar 20 persen bukan dari belanja negara tetapi pendapatan negara.
"Maka kami sudah membahasnya di Kementerian Keuangan ini caranya mengelola APBN tetap comply atau patuh dengan konstitusi di mana 20 persen setiap pendapatan kita harusnya untuk pendidikan. Tapi kalau 20 persen dari belanja, di dalam belanja itu banyak ketidakpastian itu anggaran pendidikan menjadi kocak ya, jadi naik turun. Saya juga memahami banyak sekali yang mempertanyakan mengenai sebetulnya pengalokasian anggaran pendidikan itu seperti apa," ungkapnya.
Menurut Sri Mulyani, perubahan ini sangat penting agar Menteri Keuangan dapat melakukan manuver dalam menjaga APBN dengan tetap transparan dan sesuai tata kelola yang diatur UU, sambil menjaga kesehatan keuangan negara dalam mengantisipasi gejolak perekonomian akibat global dan domestik.
"Nah, kami butuh transparansi tapi pada saat yang sama menteri keuangan, bendahara negara itu harus punya ruang untuk manuver karena APBN itu ditetapkan hari ini, minggu depan saja, itu asumsi bergerak, gak mungkin semuanya dikunci enggak bergerak, pasti akan crack. Sehingga bagaimana menteri keuangan selanjutnya itu tetap bisa punya ruang untuk manuver tapi tetap transparan dan tetap patuh terhadap konstitusi," ujarnya.
Sri Mulyani menjelaskan, praktik yang terjadi dalam pengelolaan anggaran itu selama ini menggunakan anggaran mandatory spending yang sebenarnya masuk dalam kategori struktur above the line yaitu sebagai cadangan anggaran pendidikan sebagai bantalan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
"Ini yang menurut saya perlu kita bahas mengenai definisi anggaran pendidikan, terutama sumber untuk menghitung 20 persen itu. Kami nanti mengusulkan agar bendahara negara ke depan tetap menjaga APBN sustainable, kredibel, namun juga tetap memenuhi kebutuhan pembangunan dan tetap patuh terhadap konstitusi, ini yang nanti kami usulkan untuk panjang perundang-undangan APBN akan kami sampaikan juga," ucapnya.
BACA JUGA:
Pada kesempatan yang sama, Ketua Banggar DPR Said Abdullah merespons baik permintaan tersebut dimana Banggar DPR akan melakukan pengiriman surat untuk memformulasi ulang ketentuan mandatory spending kepada pimpinan DPR, agar hal tersebut dapat dibahas di badan legislasi.
"Nanti akan mengambil peran untuk bersurat kepada DPR, agar DPR meneruskan ke baleg untuk melakukan revisi undang-undang pendidikan. Karena berbagai item kami sudah dapat daripada keahlian DPR, termasuk Sekolah-Sekolah Kedinasan, diklat dan sebagainya, Akpol, Akmil, itu seharusnya bagian dari anggaran pendidikan," ucapnya.