Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebut, industri minuman, khususnya minuman berpemanis dalam kemasan, mulai mengalami penurunan produksi.

Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif menuturkan, bahwa penurunan ini disebabkan oleh rencana Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang akan menerapkan cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK).

"Berdasarkan IKI Agustus 2024, kami mencermati bahwa industri minuman ada sedikit penurunan produksi pada bulan ini. Meskipun masih kecil, kami melihat bahwa subsektor minuman mulai merespons pemberlakuan cukai minuman berpemanis dalam kemasan," ujar Febri yang dikutip Jumat, 30 Agustus.

Diketahui, pemerintah telah membatasi kadar gula, garam dan lemak (GGL) dalam produk makanan dan minuman melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan.

Selain itu, pemerintah menargetkan penerimaan cukai naik sebesar 6 persen dalam nota keuangan RAPBN 2025, menjadi Rp 244 triliun. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui ekstensifikasi cukai secara terbatas pada produk Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK).

Adapun penerapan cukai terhadap MBDK akan diberlakukan pada 2025 mendatang. Namun, kebijakan ini telah mengundang sejumlah protes dari masyarakat, terutama kalangan pengusaha minuman di Indonesia.

Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengatakan, penerapan cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) akan berdampak pada kenaikan harga produk hingga 30 persen.

Hal ini seolah menepis pernyataan Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Putu Juli Ardika yang menyebut bahwa penerapan cukai minuman berpemanis sebesar Rp1.771/liter akan berpotensi mengerek harga produk sekitar 6-15 persen.

Adhi pun membantah perhitungan tersebut. Menurut dia, kenaikan yang dialami akan lebih tinggi dari perhitungan tersebut.

"Lebih (lebih dari 6-15 persen) kalau Rp1.700-an per liter. Berarti kalau minuman 350 mililiter ini biasanya yang paling banyak (maksudnya kayaknya di pasaran) berarti (pajak) Rp1.700 dibagi 3, ya, sekitar Rp600-an per botol," ujar Adhi saat ditemui usai konferensi pers Food Ingredients Asia Indonesia di Artotel Gelora Senayan, Jakarta, Senin, 19 Agustus.

Dia menyebut, pajak sebesar Rp600-an per botol adalah perhitungan kasar untuk kenaikan harga dari pabrik, bukan harga yang akan dibebankan pada konsumen. Sedangkan, kenaikan harga jika sudah sampai ke konsumen bisa membengkak.

Menurutnya, kenaikan harga di pabrik bisa mencapai 20 persen, tetapi ketika sampai pada konsumen akhir kenaikannya bisa di angka 30 persen.

Misalnya, harga produk per botol di pabrik Rp3.000 ketika sampai ke konsumen akan menjadi Rp5.000. Jumlah itu masih belum ditambah PPN sekitar Rp600.

"Ketika (pajak) Rp600 dari Rp3.000. Artinya, harga akan naik sebesar 20 persen. Itu naiknya luar biasa. Kalau sampai ke konsumen akhir (naiknya) bisa sampai 30 persen lebih, sangat mahal sekali," kata Adhi.