JAKARTA - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan bahwa dalam memulai transisi energi batu bara, pemerintah pusat hingga daerah bisa belajar dari Provinsi Shanxi di China.
"Belajar dari provinsi-provinsi penghasil batu bara besar, seperti Shanxi di Cina, dapat menginspirasi pemerintah nasional dan daerah di Indonesia untuk membayangkan perubahan transformatif yang akan terjadi dalam waktu dekat dan merencanakan ekonomi pasca-batu bara," kata Fabby dalam keterangan di Jakarta, dikutip dari Antara, Sabtu 3 Agustus.
Menurutnya, Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur, dua wilayah penghasil batu bara terbesar di Indonesia, akan terkena dampak signifikan dari pergeseran global menuju energi terbarukan.
Meningkatnya komitmen internasional untuk beralih dari bahan bakar fosil untuk mencapai target net zero emissions (NZE), termasuk penghentian penggunaan batu bara dan meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan, akan mengurangi permintaan batu bara global dan pada akhirnya akan mengurangi ekspor Indonesia.
"Pemerintah Indonesia, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur harus segera mengembangkan strategi pembangunan dan ekonomi yang komprehensif untuk mengatasi dampak dari penurunan batu bara," ujarnya.
Strategi memprioritaskan pembangunan ekonomi alternatif yang berkelanjutan, meningkatkan pembangunan manusia, inovasi teknologi energi terbarukan, pengolahan material karbon tanpa pembakaran, dan dukungan kebijakan yang kuat serta bantuan kepada masyarakat dan pekerja yang terkena dampak harus dilakukan.
Shanxi Carbon-Peak-Carbon-Neutral Energy Revolution Research Institute (CCERR), bekerja sama dengan People of Asia for Climate Solutions (PACS), Institute for Essential Services Reform (IESR), menyelenggarakan Diskusi Kedua Mengenai Masa Depan Tanpa Batubara dan Kunjungan Lapangan Transisi Energi China-Indonesia pada 29 Juli hingga 1 Agustus 2024 di Provinsi Shanxi, China.
"Kunjungan ini mempertemukan perwakilan dari Pemerintah Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur untuk mempelajari kemajuan transisi energi di Shanxi," jelas Fabby.
Ia menyebutkan, sebagai provinsi penghasil batu bara terbesar di China, Shanxi memiliki cadangan batu bara sebesar 43,31 miliar ton pada tahun 2022, yang merupakan 23,3 persen dari total cadangan batu bara China.
Fabby menyatakan bahwa dengan semakin cepatnya transisi dari batu bara, strategi untuk memitigasi konsekuensi ekonomi dan sosial di daerah penghasil batu bara harus menjadi prioritas dalam rencana pembangunan jangka panjang dan jangka menengah di tingkat nasional dan daerah.
Dia juga mengusulkan agar Pemerintah Indonesia berkolaborasi secara erat dengan pemerintah daerah dalam menyusun rencana pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan segera diterapkan.
“Pemerintah harus segera mengidentifikasi sektor-sektor ekonomi alternatif yang menjanjikan sekaligus meningkatkan literasi keuangan masyarakat dan mempersiapkan para pekerja industri batu bara untuk industri yang berkelanjutan.
Fabby menggarisbawahi pentingnya kolaborasi berbagai pemangku kepentingan di tingkat regional, nasional, dan internasional untuk meminimalkan dampak ekonomi dan sosial dari transisi energi dan memfasilitasi pertukaran pengetahuan di antara daerah-daerah penghasil batubara yang sedang beralih ke energi bersih.
Direktur Eksekutif CCERR, Zhang Cheng menilai bahwa China dan Indonesia memiliki potensi besar untuk kerja sama dalam transisi ke energi terbarukan, termasuk transfer teknologi, investasi proyek, dan pembangunan kapasitas.
"Kerja sama energi kedua negara sangat saling melengkapi dan memiliki prospek yang luas,” jelas Cheng.
Sementara itu, Direktur Eksekutif PACS, Xiaojun Wang menekankan pentingnya peran teknologi energi terbarukan yang tepat dalam mempercepat transisi energi di daerah penghasil batu bara.
Menurut Wang, kunjungan itu memberikan kesempatan bagi Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan untuk melihat langkah Provinsi Shanxi dalam pengembangan teknologi energi terbarukan.
Untuk memperkuat pengetahuan transisi energi di daerah penghasil batu bara, CCERR, PACS, dan IESR telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) untuk mempromosikan pengembangan energi rendah karbon dan kolaborasi dalam transisi energi, netralitas karbon, dan revolusi energi, Kamis 1 Agustus.
Baca juga:
Manajer Program Ekonomi Hijau IESR Wira A. Swadana mengatakan bahwa kemitraan tersebut menawarkan untuk berbagi keahlian dan praktik terbaik dalam mencapai masa depan energi dan mengembangkan industri yang berkelanjutan.
Kunjungan Lapangan Transisi Energi China-Indonesia mencakup kunjungan ke lima lokasi utama. Pertama, Shanxi Meijin Energy, produsen kokas komoditas independen terkemuka dengan rantai industri yang komprehensif yang mencakup batubara, kokas, gas, bahan kimia, dan hidrogen.
Kedua, Shanxi Shuangliang Renewable Energy Industry Group, pelopor teknologi energi terbarukan yang memiliki 238 paten dan berspesialisasi dalam pemulihan panas limbah industri dan pengembangan energi panas bumi.
Ketiga, China Energy Engineering Group Shanxi Electric Power Construction, yang berfokus pada perencanaan energi dan tenaga listrik, konsultasi teknik, dan konstruksi.
Keempat, Proyek Percontohan Terpadu Penyimpanan Tenaga Surya, Pengisian dan Penyediaan Tenaga Listrik Stasiun Tol Dayu dan Taman Sains dan Teknologi Perlindungan Lingkungan Netral Karbon Lembah Hijau. Kelima, Institut Penelitian Desain Taiyuan untuk Industri Batubara.