JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan peningkatan imbal hasil surat berharga Amerika Serikat atau yield US Treasury menjadi sumber utama tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
Tidak hanya Indonesia, pergerakan US Treasury juga mempengaruhi pasar keuangan global khususnya di negara emerging market.
“Meskipun suku bunga yang ditetapkan oleh The Fed (bank sentral AS) tetap rendah, tetapi pasar melihat ada harapan meningkatnya angka inflasi di Amerika, inilah yang mendorong US Treasury mengalami kenaikan,” ujar Menkeu Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita secara virtual, Selasa, 23 Maret.
Menkeu menambahkan, yield surat surat berharga AS kini berada di kisaran 1,7 persen atau naik 86 persen dari posisi sebelumnya. Dalam catatan VOI, angka tersebut merupakan level tertinggi dalam kurun waktu satu tahun belakangan ini.
Adapun, beberapa instrumen yang sama di negara berkembang mengalami hal serupa, seperti Brazil dengan pertumbuhan 29 persen, Filipina 48 persen, serta Rusia 29 persen.
Kondisi ini disebut Sri Mulyani perlu dicermati lebih dalam guna menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, utamanya dolar AS.
Dia juga mengkonfirmasi bahwa The Fed dipastikan tidak akan mengeluarkan kebijakan strategis lanjutan terkait dengan suku bunga hingga dua tahun ke depan.
“The Fed mengungkapan tidak akan menaikan suku bunganya hingga 2023,” tegas Menkeu.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan pelemahan rupiah yang terjadi pada sepanjang Maret 2021 tersebut dipengaruhi oleh kenaikan imbal hasil US Treasury.
BACA JUGA:
“Kebijakan tersebut membuat mata uang dolar AS menjadi menguat yang kemudian berimbas pada pelemahan nilai tukar rupiah,” ujarnya dalam konferensi pers virtual usai menggelar Rapat Dewan Gubernur pada Kamis, 18 Maret.
Menurut Perry Warjiyo, menguatnya dolar AS yang kemudian berbuntut pada tersendatnya aliran masuk investasi portofolio asing ke pasar keuangan domestik.
“Kami mencatat yield US Treasury saat ini berada di level 1,62 persen untuk 10 tahun yang naik dari sebelumnya 1,40 persen,” tuturnya.
Menanjaknya imbal hasil tersebut dikatakan Perry sejalan dengan prospek pemulihan ekonomi AS yang terus membaik sesuai tren.
Untuk diketahui, rupiah sampai dengan 17 Maret 2021 mencatat depresiasi sekitar 2,62 persen secara year-to-date dibandingkan dengan level akhir 2020. Hingga Kamis, 18 Maret pukul 16.00 rupiah diperdagangkan dikisaran Rp14,431 per dolar AS.