Bagikan:

JAKARTA - Ombudsman RI menyoroti rencana pemerintah yang akan menerapkan Kelas Rawat Inap Standar atau KRIS untuk BPJS Kesehatan pada Juli 2025.

Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng mengatakan, disparitas layanan rumah sakit selama ini menjadi penyebab utama maladministrasi pelayanan kesehatan.

Oleh karena itu, pihaknya meminta pemerintah memastikan terpenuhinya kebutuhan dan mutu fasilitas dasar dan SDMK RS, skema kebijakan pembayaran iuran yang berkeadilan serta standar ruang perawatan dan standar layanan pada kelas yang paling optimal.

"KRIS diharapkan membawa semangat baru terurainya disparitas layanan kesehatan di rumah sakit, mentransformasikan pelayanan kesehatan menuju pelayanan kesehatan yang adil dan setara, sesuai dengan amanat konstitusi," kata dia dalam keterangan resminya, Selasa, 28 Mei.

Pertama, katanya, pemerintah wajib memastikan fasilitas dasar rumah sakit sudah terpenuhi sebagai prasyarat pemberlakuan KRIS.

"Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan maupun pemda wajib mengaudit secara menyeluruh pemenuhan fasilitas rumah sakit KRIS hanya dapat terselenggara dengan baik jika fasilitas primer dari rumah sakit sudah tersedia," ujarnya.

Kedua, ujarnya, Ombudsman meminta pemerintah memastikan kuantitas maupun kualitas Sumber Daya Kesehatan (SDMK) di rumah sakit. Menurut Robert, saat ini pemerintah terkesan hanya berfokus kepada peningkatan kualitas infrastruktur kesehatan. Namun, cenderung abai terhadap upaya peningkatan kapasitas tenaga kesehatan.

"Kami melihat hilirisasi SDMK menjadi kunci bagi upaya optimalisasi kelas layanan yang terstandarisasi. Temuan di beberapa daerah sebagai contoh fasilitas Cath Lab jantung sudah tersedia di rumah sakit, namun dokter spesialisnya yang tidak ada. Kami meminta Kemenkes memberikan fokus khusus terhadap ketersediaan SDMK ini," ucapnya.

Ketiga, pemerintah perlu menetapkan skema pembayaran iuran yang berkeadilan yang diawali sosialisasi dan konsultasi publik. Dia menilai, hal ini krusial guna mengantisipasi adanya isu peserta JKN yang beralih menjadi peserta non-aktif.

Selain itu, rencana pemberlakuan iuran baru tersebut mesti menggugah kesadaran pengelola rumah sakit untuk membenahi tata kelola layanan mereka.

"Besaran iuran peserta bergantung hasil evaluasi yang dilakukan selama penerapan KRIS di tahap awal. Ombudsman pusat dan kantor-kantor perwakilan di 34 provinsi proaktif memantau dan mengawasi sejauh mana rumah sakit mitra BPJS memanfaatkan fase transisi ke depan untuk sungguh berbenah," tuturnya.

Keempat, lanjut dia, KRIS harus menghadirkan tingkatan lanjut bagi perbaikan layanan kesehatan masyarakat. Menurutnya, pemberlakuan standar itu tidak boleh sebatas standar ruang perawatan, tetapi lebih-lebih lagi standar layanan medis dan bahkan non-medis.

Robert menilai, keadilan akses yang menjadi inti semangat dari standarisasi tersebut tidak boleh berarti kesetaraan untuk memperoleh layanan yang buruk, tetapi kesetaraan dalam menikmati hak dan jaminan layanan kesehatan yang prima

"Keadilan sosial antar-warga dan keadilan regional antar-wilayah menjadi narasi besar yang menjadi semangat di balik pemberlakuan KRIS sebagaimana ditetapkan Perpres Nomor 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan," imbuhnya.