Bagikan:

JAKARTA - Bank Indonesia (BI) akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 23 April hingga 24 April 2024 dan salah satu yang menjadi perhatian yakni suku bunga acuan.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyampaikan pada RDG BI pada bulan April 2024, BI akan cenderung masih akan mempertahankan BI-rate pada level 6 persen.

Menurut Josua pelemahan Rupiah saat ini lebih dikarenakan data-data indikator ekonomi Amerika Serikat yang masih solid sehingga ruang pemotongan suku bunga kebijakan the Fed bergeser dari Juni 2024 ke September 2024.

Selain itu, Josua menambahkan pelemahan Rupiah juga lebih disebabkan oleh faktor musiman di mana pembayaran deviden dan kupon ke non-resident serta pembayaran pokok ULN akan meningkat dan mencapai puncaknya setiap kuartal kedua tiap tahun.

"Untuk menahan pelemahan Rupiah lebih lanjut, sebenarnya BI masih memiliki amunisi yang cukup banyak/kuat didukung oleh cadangan devisa yang masih terbilang relatif tinggi sehingga BI masih bisa akan masuk dan melakukan intervensi di pasar valuta asing," jelasnya dalam keterangannya, Selasa, 23 April.

Meskipun demikian, Josua menyampaikan ketidakpastian di pasar keuangan global saat ini masih terbilang sangat tinggi dan dapat berubah drastis dengan cepat sehingga kondisi geopolitik di Timur Tengah dan antisipasi rilis beberapa data di AS menjadi sangat penting hingga RDG tanggal 23 - 24 April 2024 ini.

Menurut Josua jika kondisi global tetap tidak mendukung bahkan cenderung memburuk, dan permintaan aset safe haven terus meningkat sehingga terjadi sentimen risk-off berkepanjangan yang berujung pada pelemahan nilai tukar Rupiah secara terus menerus meskipun BI sudah melakukan intervensi, maka memang ada ruang bagi BI untuk menaikkan BI-rate.

"Kami melihat peningkatan BI-rate sebagai opsi terakhir BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah," tuturnya.

Josua menyampaikan keputusan Bank Indonesia (BI) untuk meningkatkan efektivitas kebijakan triple intervention seperti intervensi yang dilakukan BI pada pasar DNDF, pasar spot, dan SBN sebenarnya sudah membuahkan hasil di tengah gempuran sentimen risk-off yang belakangan ini terus terjadi.

Selain itu, Josua melihat pelemahan Rupiah saat ini sudah cenderung semakin terbatas dan cadangan devisa yang terbilang relatif tinggi juga menjadi modal yang cukup kuat bagi BI.

Menurut Josua terkait dengan menggalakkan kembali kebijakan DHE memang menjadi sangat diperlukan, mengingat surplus perdagangan pada Maret 2024 yang kembali naik ke atas 4 miliar dolar AS atau tertinggi sejak Februari 2023 belum terasa dampaknya pada pasar valuta asing Indonesia.

"Artinya memang tidak semua surplus masuk ke sistem keuangan Indonesia. Kami melihat menggalakkan kembali kebijakan DHE menjadi salah satu opsi yang dapat digunakan sebelum menaikkan suku bunga BI-rate," jelasnya.

Menurut Josua kebijakan DHE bisa dilebarkan tidak hanya untuk komoditas ekspor utama Indonesia yang kebanyakan adalah komoditas, menjadi seluruh produk.

Josua menyampaikan pelemahan Rupiah saat ini memang benar dikarenakan faktor eksternal yakni naiknya risiko higher for longer sehingga memicu terjadinya sentimen risk-off.

Namun, menurut Josua ada juga faktor internal dimana permintaan valuta asing cenderung naik secara musiman setiap kuartal kedua untuk melakukan pembayaran pokok utang, deviden, dan kupon ke non-resident.

"Tentu instrumen moneter intervensi pada pasar valuta asing merupakan salah satu cara yang cukup efektif dalam upaya stabilisasi nilai tukar Rupiah," tuturnya.

Josua menyampaikan jika BI-rate dinaikkan maka dampak positifnya adalah tekanan dari faktor eksternal tersebut dapat mereda karena terjadi pelebaran positive spread dengan imbal hasil instrumen keuangan negara lainnya, sehingga instrumen keuangan Indonesia cenderung dapat menjadi lebih menarik (adanya kompensasi pada kenaikan risk premium).

Sementara, menurut Josua dampak negatifnya adalah beban imbal hasil instrumen keuangan domestik akan meningkat dan menjadi beban bagi issuers.

"Selain itu, naiknya BI-rate dapat bertransmisi ke kenaikan suku bunga kredit sehingga meningkatkan borrowing cost yang berujung pada tertahannya potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia," pungkasnya.