Bagikan:

JAKARTA - Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) merespons rencana implementasi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Adapun salah satu yang disoroti dalam aturan ini ialah menyangkut larangan terbatas (lartas) impor.

Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Kadin Juan Permata Adoe mengatakan, pihaknya mendukung penuh upaya pemerintah untuk memperbaiki tata kelola impor dan peningkatan daya saing industri dalam negeri yang menjadi landasan terbitnya peraturan tersebut. Pihaknya juga telah menerima berbagai masukan dari asosiasi sektoral terdampak.

Berdasarkan hal tersebut, pihaknya menyampaikan sejumlah pandangan. Pertama, terkait kesiapan infrastruktur dan peraturan pendukung, Kadin mengimbau agar sistem elektronik dan seluruh peraturan pelaksana terkait Permendag 36/2023 sudah siap paling tidak 3-6 bulan sebelum pelaksanaan peraturan ini dijalankan.

Dalam hal ini, sistem terkait baru akan beroperasi pada 10 Maret 2024 mendatang, demikian pula dengan sebagian peraturan pendukungnya.

"Dalam hal ini, kami mengimbau perlu adanya penambahan grace period selama 3 sampai 6 bulan setelah sistem elektronik terkait serta seluruh peraturan pelaksana tersedia dan disosialisasikan kepada seluruh stakeholder terkait untuk menjamin kestabilan rantai pasok dan memastikan keberlanjutan proses produksi dalam negeri," kata Juan, dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 23 Februari.

Kadin juga menekankan agar peraturan terdahulu dapat tetap berlaku untuk pengiriman dengan Bill Lading (BL) sebelum 10 Maret nanti. Hal ini diperlukan untuk mengakomodir in transit shipment atau pengiriman yang sedang berada di perjalanan.

"Kebijakan terkait in transit shipment ini sangat penting untuk keberlanjutan proses produksi dan dapat berpengaruh pada pencapaian produktivitas industri," ucapnya.

Juan menilai, pelaku industri harus mengejar target produksi untuk pemenuhan kebutuhan, baik domestik maupun ekspor tanpa jeda. Saat ini, tantangan yang dihadapi oleh sektor industri prioritas sudah cukup tinggi, dapat dilihat dari kinerja ekspor yang mana pencapaian sektor industri pengolahan dan juga pertambangan misalnya mendapat tekanan negatif.

"Kendala dalam pemenuhan kebutuhan bisa berujung kehilangan peluang atau lebih jauh lagi kehilangan pangsa pasar dunia. Kemudahan berusaha dan ekosistem yang mendukung peningkatan daya saing sangat penting. Diharapkan, tidak ada biaya tambahan seperti halnya demurrage yang akan menyebabkan pelaku usaha kehilangan daya saing," tuturnya.

Kemudian, terkait beberapa pasal dalam pembatasan importasi bahan baku dan bahan penolong, Kadin menemukan adanya keterbatasan kapasitas industri hulu domestik. Dengan begitu, pembatasan importasi bahan baku dan bahan penolong hendaknya dapat mempertimbangkan keterbatasan kapasitas industri hulu domestik.

Menurut Juan, diperlukan evaluasi berkelanjutan pada HS code yang terkena larangan terbatas, terutama bahan baku atau bahan penolong bagi industri yang berorientasi ekspor.

Pihaknya khawatir pelarangan terbatas yang tidak tepat sasaran akan menimbulkan gangguan pada rantai pasok dan keberlangsungan produksi di sejumlah industri strategis nasional, misalnya otomotif, pertambangan termasuk smelter, elektronika swrta makanan dan minuman yang berorientasi ekspor.

Lebih lanjut, Juan berharap, pemerintah dapat memperhatikan tantangan pelaku usaha untuk dapat melakukan impor beberapa komoditas bahan baku dan bahan penolongnya. Sehingga, kegiatan produksi tidak terganggu dan tetap berjalan lancar.

"Kadin senantiasa akan menjadi mitra pemerintah untuk memastikan peningkatan kinerja ekspor yang tentunya juga harus didukung oleh ekosistem usaha yang kondusif," ungkapnya.

Adapun beberapa komoditas yang perlu ditinjau ulang, ialah seperti: (a) garam industri untuk kebutuhan produksi ekspor industri kertas dan makanan minuman; (b) Besi baja dan turunannya sebagai bahan baku dan bahan penolong serta suku cadang mesin untuk yang diperlukan dalam proses manufaktur, terutama yang tidak diproduksi di Indonesia.

Berikutnya, (c) Ban kendaraan berat sebagai bahan penolong produksi terutama pengoperasian alat berat di industri tambang dan sejenis; (d) Monoethylene Glycole (MEG) untuk kebutuhan produksi polimerisasi industri Sintetik Filament; (e) Komoditas bahan baku plastik, termasuk 12 HS Code yang sudah disampaikan kepada pemerintah.

Selanjutnya, (f) Komoditas non-woven untuk bahan baku dan bahan penolong industri, seperti industri otomotif juga pertambangan dan smelter yang belum sepenuhnya dapat diproduksi dalam negeri; (g) Komoditas kabel serat optik untuk bahan baku dan bahan penolong industri hilir, yang belum sepenuhnya diproduksi dalam negeri.