Bagikan:

JAKARTA - Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian (PPVTPP) Kementerian Pertanian (Kementan) memberikan relaksasi dengan menurunkan biaya pemeriksaan substantif permohonan Hak Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) dan biaya tahunan Hak PVT.

“Kami memahami kegundahan para pemohon hak PVT terhadap biaya PVT yang dirasakan masih memberatkan sehingga kami melakukan terobosan relaksasi biaya PVT,” kata Kepala Pusat PVTPP Kementan Leli Nuryati dalam keterangan tertulis di Jakarta, dikutip dari Antara, Sabtu 17 Februari.

Leli menyampaikan penurunan biaya PVT dengan tarif Rp0 untuk iuran tahunan melalui PP Tarif Nomor 28 Tahun 2023 dan Permentan Nomor 36 Tahun 2023 untuk kalangan WNI perseorangan, perguruan tinggi dalam negeri, dan litbang pemerintah.

Selain itu, pihaknya juga menerapkan biaya Rp0 untuk biaya perjalanan dinas dari komponen pemeriksaan substantif untuk metode pemeriksaan growing test atau official test di Kebun Pemeriksaan Substantif (KPS) Pusat PVTPP .

"Selama ini biaya perjalanan dinas merupakan komponen terbesar sebanyak 70 persen dari pemeriksaan substantif yang menjadi alasan utama bagi para pemulia tanaman tidak mengajukan hak PVT.

Menurut Leli penerapan kebijakan tersebut akan menurunkan biaya pemeriksaan substantif secara signifikan untuk semua kelompok pemohon hak PVT terhitung mulai berlaku sejak Februari 2024.

“Terobosan pengurangan biaya tersebut, dapat kami lakukan dengan menempatkan seluruh Pemeriksa PVT di 3 KPS PVT milik PVTPP," katanya.

Dia menerangkan pemohon Hak PVT hanya akan dikenakan biaya permohonan dan penanaman/pemeliharaan sebesar Rp1.750.000 untuk tanaman semusim dengan umur di bawah enam bulan atau Rp2.250.000 untuk tanaman semusim dengan umur di atas enam bulan.

Leli juga menyampaikan sebelumnya biaya PVT di Indonesia setara dengan negara-negara lain, namun dengan terobosan ini biaya PVT akan jauh lebih murah dibandingkan negara lain. Sebagai contoh Jepang sebesar Rp6 juta, Vietnam Rp5 juta - Rp14 juta, Belanda Rp25 juta.

"Penurunan biaya ini diharapkan akan berdampak pada meningkatnya permohonan Hak PVT yang nantinya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi melalui inovasi perakitan varietas unggul baru," katanya.

Leli menuturkan bahwa langkah tersebut sejalan dengan arahan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman sebagai upaya pemerintah dalam memberikan pelayanan publik yang murah dan mudah bagi seluruh pemangku kepentingan.

Leli menjelaskan Hak PVT adalah perlindungan khusus yang diberikan oleh negara terhadap varietas tanaman yang dihasilkan oleh pemulia tanaman. Untuk mendapatkan Hak PVT harus memenuhi persyaratan baru, unik, seragam dan stabil melalui pemeriksaan administratif dan substantif.

Sejak operasional PVT, kata Leli, jumlah hak PVT yang dikeluarkan oleh Kementan sebanyak 709 yang 55,9 persen dimiliki oleh swasta/industri benih dalam negeri, lembaga penelitian/pemerintah 25,7 persen, swasta luar negeri 8,7 persen, perseorangan 5,8 persen, dan perguruan tinggi 3,9 persen.

“Ini menunjukkan hak PVT didominasi oleh swasta sedangkan lembaga penelitian, perseorangan dan perguruan tinggi masih tergolong rendah,” ucap Leli.

Menurut Leli rendahnya permohonan dari kelompok litbang, perseorangan dan perguruan tinggi dikarenakan tingginya biaya pemeriksaan substantif dan biaya tahunan, sehingga pihaknya memerikan relaksasi biaya sesuai arahan Menteri Pertanian Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman.

Ke depan, kata Leli, PVT memiliki dampak positif dalam peningkatan penelitian dan pengembangan varietas tanaman serta sebagai ajang promosi hasil riset pemuliaan tanaman.

"Selain itu, PVT memberikan insentif bagi penelitian dan pengembangan (R&D), juga dalam pemasaran varietas tersebut kepada masyarakat dan petani. Melalui PVT, para pemulia dapat memperoleh pengembalian biaya investasi yang telah dikeluarkan dalam proses R&D," katanya.

Leli menegaskan, Pusat PVTPP akan selalu berkomitmen untuk memberikan layanan terbaik kepada pemangku kepentingan terutama dalam perlindungan varietas tanaman.

“Perlindungan Varietas Tanaman telah menjadi bagian penting dalam sektor pertanian Indonesia selama lebih dari dua dekade sejak diundangkan melalui UU Nomor 29 Tahun 2000,” kata Leli.