Bagikan:

JAKARTA - Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan beberapa Bank Perekonomian Rakyat (BPR) mengalami kebangkrutan sekitar 6 sampai 7 setiap tahunnya.

“On average selama 18 tahun yang kita lihat itu ada 6 sampai 7 rata-rata BPR jatuh, bukan bank, tapi BPR. Di awal (2024) ada dua yang diserahkan ke LPS dan kami tangani dengan cepat dan smooth,” kata Purbaya dalam konferensi pers KSSK Kuartal I-2024 di Selasa 30 Januari 2024.

Purbaya mengatakan pihaknya telah melakukan penanganan secara cepat dan halus sehingga tidak memunculkan keresahan di masyarakat dan dalam proses tersebut dana masyarakat telah diganti dengan cepat.

“Sehingga bisa mengubah citra kami yang katanya ‘kalau LPS datang malaikat maut (karena) banknya jatuh’ sekarang kalau LPS datang nasabah senang,” ujarnya.

Purbaya menjelaskan, bangkrutnya beberapa BPR setiap tahun tersebut bukan dikarenakan melemahnya kondisi ekonomi Indonesia, melainkan karena praktik fraud (kecurangan) yang sering terjadi di dalam manajemen. Sedangkan untuk kondisi bank umum hingga saat ini masih tercatat dalam kondisi solid.

“Bukan karena ekonomi yang buruk atau dampak ekonomi ke BPR itu, tapi karena Fraud di BPR tersebut kalo BPR sakit seperti itu kita lihat nggak bisa diperbaiki lagi. Kita tutup dengan cepat. Tapi tentunya itu tergantung kebijakan OJK (Otoritas Jasa Keuangan)” iumbuhnya.

Purbaya mengatakan pada awal 2024 sudah ada 2 BPR yang bangkrut yakni BPR Wijaya Kusuma pada 4 Januari 2024 dan BPRS Mojo Artho Kota pada 26 Januari 2024 dan masih ada beberapa BPR yang akan bangkrut. Meski demikian dia tak menyebut berapa jumlahnya.

“Tapi dampaknya ke ekonomi tidak akan signifikan dan gejolak perekonomiannya juga tidak terlalu besar karena kita juga tutup dengan cepat dana-dana yang dibutuhkan masyarakat,” jelasnya.

Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar menyampaikan OJK sebagai pengawas dan LPS sebagai penjaminan simpanan terhadap BPR bermasalah.

Selain itu, menurut Mahendra pihaknya akan melakukan konsolidasi guna mendukung perkembangan dan pertumbuhan yang sehat dari BPR di seluruh Indonesia.

“Hal itu dilakukan antara lain dengan penggabungan dari beberapa BPR yang dimiliki oleh pemilik yang sama,” ujarnya.

Mahendra menambahkan akan mendorong kebijakan single present policy. Sehingga tidak ada satu orang yang memiliki beberapa BPR.

“Namun perlu ditekankan proses konsolidasi ini bukan untuk dalam rangka mengurangi jumlah semata tapi justru memperkuat dan memberi kesempatan perkembangan pertumbuhan dari BPR itu sendiri. Sehingga aspek masyarakat, UMKM, dan inklusi keuangan yang terkait BPR bukan hanya dijaga tapi diharapkan meningkat kedepannya,” tuturnya.