Bagikan:

JAKARTA - Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Pengembangann Industri Sektor ESDM, Agus Tjahajana mengungkapkan, tidak semua pabrikan kendaraan Tesla menggunakan Lithium Ferro Phosphate (LFP).

Terkait penggunaan bahan dasar baterai untuk kendaraan listrik merupakan pilihan masing-masing pabrikan kendaraan listrik. Apalagi, LFP bukan merupakan racikan baru dan telah berkembang sejak lama dan cukup bersaing dengan penggunaan nikel sebagai bahan baku baterai untuk kendaraan listrik.

"(Tergantung) Ketersediaan. Tesla mau pakai itu silakan. Tesla dulu mau pakai solid state, tiba-tiba mau pakai LFP. Saya lihat memang lebih sekedar gimmick marketing. Kita kok jadi ribut seperti ini," ujar Agus dalam Mining Zone yang dikutip Kamis 25 Januari.

Dikatakan Agus, penggunaan nikel dan LFP sebagai baterai EV memiliki kelemahan dan keunggulannya masing-masing. Menurutnya LFP memiliki keunggulan karena bahan bakunya lebih murah dan memiliki kepadatan energi yang lebih rendah. Sedangkan untuk nikel dinilai lebih mahal karena memiliki kepadatan enenrgi yang lebih tinggi namun dianggap lebih tahan lama.

"Yang low-end pake LFP, highend pakai nikel," imbuh Agus.

Lebih jauh Agus menyebut berdasarkan data yang dimiliki sebanyak 30 persen produsen baterai EV di China masih menggunakan nikel sedangkan 70 persen lainnya telah menggunakan LFP.

"Kenapa? Karena dia engga punya nikel. Lithium dan ferro lebih mudah. Tapi denciitynya lebih rendah jadi jarak tempuhnya juga lebih pendek. Baterai berbasis Nickel-Mangan-Cobalt (NMC) skala 4 sedangkan LFP skala dua sehingga dia tidak mampu menyimpan energi lebih dari NCM. Itu yang membuat harganya lebih murah," pungkas Agus.