Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menilai isu deindustrialisasi tak terjadi seiring dengan pertumbuhan positif industri pengolahan atau manufaktur yang tumbuh sebesar 5,20 persen secara tahunan atau year on year (yoy) pada triwulan III 2023.

Angka tersebut lebih tinggi dari periode yang sama pada 2022 yakni sebesar 4,83 persen. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan sektor manufaktur melampaui pertumbuhan ekonomi Indonesia pada periode yang sama sebesar 4,94 persen.

Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, data BPS tersebut membuktikan bahwa Indonesia tidak sedang dalam proses deindustrialisasi dini karena manufaktur tetap tumbuh positif dan mengesankan dibanding dengan industri manufaktur negara tetangga lainnya.

Tak hanya itu, sektor industri kembali menduduki peringkat pertama atau menyumbang investasi terbesar yaitu 41,2 persen terhadap realisasi investasi nasional, yaitu sebesar Rp433,9 triliun sepanjang Januari-September 2023.

"Angka ini naik 18,8 persen dari periode yang sama di tahun sebelumnya. Di sisi ketenagakerjaan, sektor industri pengolahan juga menyerap 19,35 juta atau 13,83 persen dari total pekerja," kata Menperin Agus dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 7 November.

Di sisi lain, dia juga menekankan bahwa deindustrialisasi tidak terjadi pada industri manufaktur Indonesia saat ini lantaran Sektor tersebut masih berada dalam fase ekspansi sampai dengan Oktober 2023.

Indeks Kepercayaan Industri dan Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia terus berada di atas 50,00 atau level ekspansi hingga Oktober 2023.

"Hasil survei IKI pada Oktober 2023 juga menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku usaha masih optimis terhadap kondisi usaha dalam enam bulan ke depan," ujarnya.

Optimisme itu juga tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang terjaga pada zona optimis sebesar 121,7 pada September 2023.

Lebih lanjut, Agus mengapresiasi kinerja pelaku usaha manufaktur yang mampu tumbuh di tengah berbagai tekanan penurunan daya beli dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang mempengaruhi produksi.

"Kontribusi industri pengolahan terhadap PDB semestinya bisa jauh lebih tinggi. Hal ini dapat terjadi apabila beberapa masalah yang solusinya bergantung kementerian/lembaga lain bisa diselesaikan," ucap dia.

Lebih lanjut, Agus menjelaskan sejumlah hambatan terhadap pertumbuhan industri. Pertama, program HGBT yang belum berjalan baik. Menurut dia, masih banyak industri peserta program HGBT mendapatkan gas untuk bahan baku dan energi di atas 6 dolar AS per MMBTU.

Selain harga di atas 6 dolar AS per MMBTU, pasokannya pun tidak lancar. Hal ini berdampak terhadap daya saing produk, permintaan, utilisasi, dan tenaga kerja. Akhirnya, program HGBT yang tidak berjalan baik ini telah ikut menekan pertumbuhan industri manufaktur.

Kedua, Agus menilai, pengetatan arus masuk barang impor belum optimal. Dia mengaku, saat ini pasar domestik telah dibanjiri barang impor baik yang masuk secara legal maupun ilegal.

Hal itu dikarenakan lemahnya ketegasan dan koordinasi antar kementerian/lembaga yang juga memiliki andil terhadap derasnya arus barang impor masuk ke pasar domestik.

Ketiga, lanjut Agus, pertumbuhan sektor industri pengolahan bisa meningkat jauh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional apabila kementerian/lembaga, pemerintah daerah, maupun BUMN/BUMD memaksimalkan realisasi belanja Produk Dalam Negeri.

"Kalau pemerintah bisa memaksimalkan belanjanya untuk membeli produk dalam negeri, pertumbuhan industri manufaktur akan jauh lebih tinggi dan kontribusinya terhadap PDB nasional jauh lebih besar," imbuhnya.