JAKARTA - Berbagai perusahaan besar di dalam negeri memprediksi bahwa Indonesia akan menghadapi banyak ancaman eksternal dan internal tahun depan. Salah satu ancaman ini adalah intrusi, yang didefinisikan sebagai tindakan memasuki suatu tempat atau sistem yang dilakukan tanpa izin untuk melancarkan kegiatan kriminal atau kejahatan. Indonesia juga diperkirakan akan menghadapi dampak yang lebih besar akibat ancaman intrusi ini dibandingkan dengan negara lain.
Hal ini merupakan temuan utama dalam World Security Report yang diterbitkan oleh G4S untuk pertama kalinya. World Security Report merupakan laporan yang melibatkan 1.775 Chief Security Officer (CSO) dari berbagai perusahaan global yang berlokasi di 30 negara dan memiliki total pendapatan yang melebihi 20 triliun dolar AS.
Berdasarkan laporan ini, 38 persen responden memperkirakan bahwa intrusi akan menjadi ancaman eksternal yang membawa dampak lebih signifikan di Indonesia dibandingkan dengan negara lain di dunia. Angka ini lebih tinggi dibandingkan angka rata-rata global (16 persen) dan regional (18 persen).
Selain itu, Indonesia diperkirakan akan menjadi negara kedua secara global yang paling terdampak oleh sabotase, phishing, dan social engineering di tahun mendatang.
Perihal ancaman internal, Indonesia diperkirakan akan menjadi negara yang paling terdampak oleh kasus kebocoran data. Untuk ancaman yang satu ini, Kenya lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia. Indonesia dan Jepang sama-sama menduduki peringkat ketiga secara global, di mana 44% responden mengatakan bahwa penyalahgunaan data perusahaan akan menjadi ancaman internal yang mengkhawatirkan.
Para CSO yang disurvei memperkirakan bahwa ancaman kejahatan ekonomi di Indonesia akan naik dari 27 persen pada tahun 2022 menjadi 60 persen pada tahun 2023. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan angka rata-rata global (49 persen) dan regional (51 persen). Selain itu, Thailand diperkirakan akan terkena dampak lebih besar akibat kejahatan ekonomi di Asia Pasifik.
Indonesia merupakan negara tertinggi kedua secara global setelah Amerika Serikat, di mana 62 persen CSO memandang bahwa ancaman subversi, atau kejahatan yang dilakukan untuk melemahkan keamanan sistem sehingga mudah diretas, sebagai masalah yang juga mengkhawatirkan di masa mendatang. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan angka rata-rata global (50 persen) dan regional (48 persen). Tahun lalu, risiko ancaman subversi berada di angka 40 persen.
Sebanyak 58 persen CSO di Indonesia menilai bahwa perubahan iklim dapat menjadi ancaman yang mempengaruhi keamanan pada tahun mendatang. Angka ini paling tinggi dibandingkan dengan negara lainnya dan lebih tinggi dibandingkan dengan angka rata-rata global (38 persen). Kemudian, 49 persen CSO menyebutkan bahwa krisis ekonomi akan menjadi bahaya terbesar kedua tahun depan yang dapat berdampak pada keamanan.
Banyak perusahaan di Indonesia yang menerapkan teknologi untuk mengantisipasi berbagai permasalahan yang dapat muncul. Laporan ini menunjukkan bahwa 69% perusahaan Indonesia sudah menggunakan teknologi canggih. Angka ini lebih tinggi di atas angka rata-rata regional (43 persen) dan global (38 persen). Dalam lima tahun ke depan, 62 persen CSO di Indonesia berharap dapat menggunakan lebih banyak teknologi kecerdasan buatan (AI) dan pembelajaran mesin (machine learning) dibandingkan dengan negara lainnya di kawasan Asia Pasifik.
Faisal Muzakki, Managing Director G4S in Indonesia mengatakan, banyak perusahaan internasional yang beroperasi di Indonesia karena negara ini kaya akan sumber daya alam. Namun, ancaman intrusi seringkali menjadi masalah utama karena lokasi operasional mereka yang berada di daerah terpencil.
"Salah satu cara untuk mengurangi risiko ancaman ini adalah dengan bekerja sama dengan masyarakat setempat dan mencari solusi yang dapat diterapkan melalui kegiatan tanggung jawab sosial. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan, mengedukasi, dan mempekerjakan masyarakat setempat," ujar Faisal, dalam keterangannya, Rabu 11 Oktober.
Sanjay Verma, Regional CEO G4S Asia Pacific mengatakan, Asia Pasifik merupakan kawasan yang sangat penting dan dinamis bagi berbagai perusahaan besar di dunia. Banyak yang menjalankan kegiatan manufaktur dan rantai pasokan global di kawasan ini. Meskipun demikian, kawasan ini juga rentan mengalami ketegangan geopolitik yang terus meningkat.
“Tahun depan tampaknya akan penuh tantangan, di mana Asia Pasifik diperkirakan akan sangat terdampak oleh krisis ekonomi. Para pemimpin perusahaan telah menyadari hal ini dan mulai berfokus mempersiapkan keamanan seiring dengan kawasan Asia Pasifik yang mengalami pemulihan pasca pandemi serta tingkat pertumbuhan yang positif pada tahun 2023," jelas Sanjay.