JAKARTA - Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menyambut positif peresmian Bursa Karbon Indonesia (IDX Karbon) yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo pada Selasa 26 September yang lalu.
Di Indonesia, kata dia, terdapat 3 sektor yang paling banyak menghasilkan emisi karbon yakni kelistrikan, transportasi dan Industri.
Dengan adanya bursa karbon ini, Komaidi menyebut akan ada konsekuensi yang perlu diantisipasi karena nantinya akan berdampak pada Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik.
"Ada impact ke BPP tenagalistrik. Kalau sebelumnya tidak ada biaya tambahan, dengan adanya bursa karbon tentu akan ada tambahan. Tergantung cappingnya di batasan berapa. Kalau lebih akan ada biaya yang harus keluar," ujar Komaidi dalam ENergy Corner yang dikutip Kamis, 5 Oktober.
Dia menambahkan, sebelum ada bursa karbon, Kementerian Lingkungan idup dan Kehutanan (KLHK) telah mengeluarkan standar baku mutu ke semua sektor.
Untuk memenuhi standar yang ditetapkan KLHK, kata dia, berdasarkan kajian PLN, terdapat tambahan Rp115-Rp120 per KWh.
"Nanti tergantung cappingnya mau ditetapkan di berapa lalu selisihnya berapa akan jadi additional cost bagi teman-teman di sektor kelistrikan," imbuh Komaidi.
Belum lagi sejauh ini sebesar 70 persen produksi listrik di Indonesia masih berbasis fosil sehingga hal ini masih harus dicermati oleh pemerintah.
BACA JUGA:
Untuk itu, Komaidi meminta hal ini tidak hanya perlu dilihat dari sisi lingkungan tapi juga perlu menyeimbangkan dengan sudut pandang sosial, ekonomi dan daya beli masyarakat.
"Betul kalau perspektif dari sudut pandang lingkungan sangat bagus. Kita kan harus balance karena ada aspek sosial, ekonomi dan daya beli masyarakat termasuk kelangsungan bisnis IPP jadi harus dilihat dari semua aspek," pungkas Komaidi.