Tidak Boleh Gabung Jadi Satu Platform, Ini Alasan <i>Social Commerce</i> dan <i>e-Commerce</i> Perlu Dipisah
Ilustrasi social commerce (Foto: Freepik.com)

Bagikan:

YOGYAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan jajarannya untuk memisahkan antara social commerce seperti TikTok Shop dan e-commerce. Instruksi tersebut disampaikan Jokowi dalam rapat terbatas (Ratas) yang digelar di Kompleks Istana Kepresidenan, Senin, 25 September 2023. 

“Arahan presiden, social commerce harus dipisah dengan e-commerce dan ini sudah antre, banyak social commerce juga yang mau menjadi punya aplikasi transaksi,” tutur Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki.

Lantas, apa alasan social commerce dan e-commerce perlu dipisah? Simak informasi selengkapnya berikut ini.

Alasan Social Commerce dan e-Commerce Perlu Dipisah

Sebagai informasi, social commerce merupakakan proses jual-beli barang dan layanan melalui media sosial. Social commerce memungkinkan konsumen untuk bisa berinteraksi langsung dengan brand, mencari berbagai produk, dan melakukan transaksi.

Sementara e-commerce adalah model bisnis yang memungkinkan perusahaan atau individu bisa membeli atau menjual barang secara online.

Perbedaan social commerce dan e-commerce adalah pada social commerce, pengguna dapat melakukan kegiatan jual-beli sekaligus mendapatkan pengalaman bermedia sosial.

Lantas, mengapa social commerce dan e-commerce perlu dipisah?

Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan membeberkan alasan social commerce dan e-commerce perlu dipisah.

Menteri yang karib disapa Zulhas itu menyampaikan, tujuan dipisahkannya kedua platform tersebut adalah untuk mencegah penggunaan data pribadi untuk kepentingan bisnis.

“Ini tidak ada kaitannya jadi dia (social commerce) harus dipisah, sehingga algoritmanya tidak semuanya dikuasi. Dan ini mencegah penggunaan data pribadi untuk kepentingan bisnis,” ucap Zulhas.

Zulhas mengatakan, aturan ini nantinya akan termaktub dalam revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag).

Sementara Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Budi Arie Setiadi mengatakan, perdagangan di social commerce harus diatur sedemikian rupa supaya tercipta perdagangan yang adil di Tanah Air.

Dia menambahkan, pemisahan social commerce dan e-commerce bertujuan untuk mencegah adanya monopoli alamiah dan sebuah platform.

“Kita tidak mau kedaulatan data kita dipakai semena-mena. Kalau algoritma sudah social media, pinjaman online, dan lain-lain, ini kan semua platform ini akan berekspansi berbagai jenis, ini harus kita atur, ditata, supaya jangan ada monopoli organic, alamiah,” terang Budi.

Selain memisahkan social commerce dan e-commerce, revisi Permendag juga mengatur sosial commerce sebagai media promosi barang atau jasa.

Dengan demikian, social commerce seperti TikTok Shop tidak diperbolehkan untuk bertransaksi secara langsung.

Selain itu, aturan baru Permendag juga mengatur daftar produk yang boleh masuk ke Indonesia. Daftar barang tersebut bakal tertuang dalam positive list.

Barang-barang impor akan mendapat perlakuan yang sama dengan yang ada di dalam negeri. Misalnya, produk makanan diwajibkan untuk memiliki sertifikat halal, produk kecantikan harus mempunyai izin edar kosmetik dari BPOM, dan lain sebagainya.

E-commerce juga tidak diperkenankan bertindak sebagai produsen. Terakhir, barang-barang impor di bawah 100 dollar AS dilarang dijual di e-commerce.

Bila ada e-commerce yang melanggar ketentuan tersebut bakal mendapatkan sanksi tegas dari pemerintah.

“Kalau ada yang melanggar, tentu ada surat saya ke Kominfo untuk memperingatkan. Setelah memperingatkan, kemudian ditutup,” ucap Zulhas.

Demikian informasi tentang alasan social commerce dan e-commerce perlu dipisah. Dapatkan update berita pilihan lainnya hanya di VOI.ID.