JAKARTA - Pemerintah memberikan relaksasi ekspor kosentrat terhadap lima perusahaan yakni PT Freeport Indonesia dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara untuk konsentrat tembaga, PT Sebuku Iron Lateritic Ores untuk besi besi, dan dua smelter milik PT Kapuas Prima Coal, yakni PT Kapuas Prima Cita untuk timbal dan PT Kobar Lamandau Mineral untuk seng.
Menanggapi hal ini, Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan, pemberian relaksasi ekskpor konsentrat itu menimbulkan diskriminasi terhadap pengusaha nikel dan bauksit yang selama ini sudah diwajibkan hilirisasi di smelter dalam negeri.
"Dampaknya, mereka akan menuntut relaksasi ekspor bahan mentah serupa. Kalau pemerintah memenuhi tuntutan tersebut, tidak bisa dihindari nasib program hilirisasi akan porak-poranda," ujar Fahmy melalui keterangan tertulis yang diterima VOI, Senin 26 Juni.
Ia menjelaskan, sebelumnya dengan berani dan bernyali, Presiden Joko Widodo memberlakukan kebijakan larangan ekspor bijih nikel terhitung sejak Januari 2020. Jokowi bahkan bergeming saat kebijakan itu diadukan ke World Trade Organization (WTO).
Kendati kalah di Forum WTO, lanjut dia, Jokowi justru semakin berani dan bernyali melanjutkan pelarangan ekspor seluruh hasil tambang dan mineral, tanpa hilirisasi di smelter dalam negeri.
"Tujuan hilirisasi adalah untuk menaikkan nilai tambah dan pembangun ecosystem indutri terkait. Program hilirisasi terbukti menaikkan nilai tambah yang berlipat-lipat," imbuh Fahmy.
Kemudian, pasca pelarangan ekspor bahan mentah, Indonesia berhasil meningkatkan nilai ekspor produk turunan nikel hingga 19 kali lipat, yang semula hanya Rp17 triliun atau 1,1 miliar dolar AS pada 2017 meningkat menjadi Rp326 triliun atau 20,9 miliar dolar AS pada 2022.
BACA JUGA:
Demikian juga dengan nilai tambah yang dihasilkan produk turunan Bauksit telah meningkatkan pendapatan negara dari Rp21 triliun pada 2017 menjadi sekitar Rp62 triliun pada akhir 2022.
"Namun sayang nyali Jokowi itu berhasil dipatahkan oleh Freeport McMoran, yang memaksa Pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan relaksasi (penundaan) larangan ekspor konsemterat, bahan baku timah, perak, dan emas," kata dia.
Ia menambahkan, dengan adanya relaksasi tersebut, program hilirisasi semakin porak-poranda manakala ditemukan ekspor illegal bijih nikel sebanyak 5,3 juta ton ke China yang berlangsung sejak 2020.
"Selain itu, pemberian relaksasi ekspor konsenterat dan ekspor illegal bijih nikel akan memicu ketidakpastian yang menyebabkan investor smelter hengkang dari negeri ini," pungkas Fahmy.