JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong produk olahan industri dalam negeri dapat menembus pasar ekspor, seperti ke Uni Eropa. Oleh karena itu, Kemenperin fokus mendukung peningkatan daya saing produk hasil industri yang diekspor.
"Kami optimistis, posisi tawar Indonesia dengan Eropa harusnya sudah cukup bagus, termasuk yang telah dilakukan oleh industri pengolahan di sektor agro, khususnya produk olahan sawit," kata Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika di Jakarta, Sabtu, 28 Januari.
Putu menegaskan, mengenai revolusi pengolahan sawit di dalam negeri, Kemenperin telah memiliki unit kerja yang menangani industri hijau, sehingga dapat mendorong implementasi kebijakan green industry.
Dalam waktu dekat, kata Putu, akan diperkenalkan teknologi baru ekstraksi minyak sawit tanpa uap (Steamless Palm Oil Treatment), sehingga emisi karbondioksida (CO2) dapat berkurang jauh.
"Teknologi ini akan berdampak pada lokasi pabrik yang sudah tidak perlu lagi dekat dengan sungai. Jadi, bisa berlokasi di perkebunan, sehingga lebih efisien," ujarnya.
"Tidak perlu bleaching, melainkan menggunakan teknologi pasteurisasi, sehingga nutrisi (betacarotene, provitamine A) masih tetap terjaga dan tidak perlu difortifikasi," lanjutnya.
Lebih jauh, Putu mengatakan, bahwa produk turunan kakao dan kopi sejatinya dapat memenuhi ketentuan di pasar Uni Eropa.
"Produk olahan kakao 70 persen-nya kami ekspor dan sudah memiliki beragam sertifikasi internasional, seperti sertifikasi bukan berasal dari lahan deforestasi, sertifikat fair trade, dan lain-lain," sebutnya.
Sedangkan, untuk produk kopi, saat ini sudah terdapat 39 indikasi geografis di Indonesia yang menjadi keunggulan tersendiri memasuki pasar Uni Eropa.
Menurut Putu, diperlukan kolaborasi antara produsen dan operator industri agar memenuhi persyaratan ekspor ke pasar Uni Eropa. "Diperlukan kesepakatan mengenai how to pay atau beban biaya terkait data work tersebut," ujarnya.
Sementara, Duta Besar Indonesia untuk Belgia dan Luksemburg Andri Hadi menjelaskan, bahwa kebijakan EU Regulation on Deforestation-Free Supply adalah untuk meminimalisir konsumsi produk yang berasal dari supply chain, deforestasi, ataupun degradasi lahan.
"Tidak bisa dihindari lagi, bahwa Indonesia perlu membenahi sistem pengolahan di dalam negeri, agar tetap mengadopsi sistem yang berkelanjutan dan ramah lingkungan," ucapnya.
Artinya, produsen Indonesia perlu melakukan diversifikasi tujuan ekspor ke negara lain yang memiliki persyaratan lebih mudah. Jika ingin tetap ekspor ke Uni Eropa, sektor industri perlu memenuhi ketentuan regulasi Deforestasi Uni Eropa.
BACA JUGA:
"Sejak 31 Desember 2020, hanya produk yang dihasilkan dari lahan bebas deforestasi ataupun degradasi lahan yang boleh masuk atau keluar dari Uni Eropa," ungkap Andri.
Deforestasi sendiri merupakan perubahan struktural terhadap hutan berupa konversi lahan dari naturally generating dan primary forest menjadi hutan perkebunan.
Menurut Andri, industri yang paling berdampak dengan kebijakan EU Regulation on Deforestation-Free Supply Chain adalah produk sawit, mengingat minyak kelapa sawit merupakan produk unggulan Indonesia yang paling berkelanjutan dan tersertifikasi (ISPO, RSPO).
"Pemberlakuan kebijakan EU Regulation on Deforestation-Free Supply Chain ini pada dasarnya menambah beban administrasi bagi eksportir dalam melakukan kegiatan ekspor," imbuhnya.
Sekadar informasi, nilai ekspor Indonesia ke Uni Eropa untuk produk industri agro mencapai 6,04 juta dolar AS pada 2021 atau lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, yakni 4,5 juta dolar AS.
Namun, setelah disepakatinya EU Regulation on Deforestation-Free Supply oleh Komisi Eropa, Dewan Eropa dan Parlemen Eropa, pemerintah perlu melakukan antisipasi agar produk industri agro asal Indonesia bisa kompetitif.