JAKARTA - Restrukturisasi kredit PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk berangsur turun. Per September nilainya menjadi Rp116,45 triliun atau turun 54,5 persen dari posisi selama pandemi COVID-19 Rp256 triliun.
"Selisihnya ke mana? Mayoritasnya adalah lancar kembali dan bisa bayar kewajibannya sesuai dengan ketentuan. Bahkan banyak yang sudah lunas" ujar Direktur Utama BRI Sunarso dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu 16 November.
Sunarso juga memperkirakan sebanyak 10 persen dari total restrukturisasi kredit atau sekitar Rp25,6 triliun tersebut tidak bisa diselamatkan atau kredit macet.
Sementara itu Direktur Manajemen Risiko BRI Agus Sudiarto menambahkan, nilai restrukturisasi kredit tertinggi hampir menembus 29,28 persen pada September 2020. Dengan demikian, hingga akhir kuartal III-2022 tercatat Loan at Risk (LAR) BRI sebesar 19,28 persen atau turun dibandingkan periode sama 2021 sebesar 25,62 persen.
"Saat ini LAR kita angkanya 19,3 persen. Dari 19 persen itu 8 persen merupakan angka karena COVID, sedangkan 11 persen merupakan angka nonCOVID," ujar Agus.
BACA JUGA:
Sementara itu dari jumlah nasabah kredit, ia merinci saat ini jumlah nasabah yang tersisa sebanyak 1,4 juta nasabah atau turun dari 2,5 juta dari posisi tertinggi yang sempat menembus 3,9 juta nasabah pada September 2020.
"Sudah turun dan tersisa 1,4 juta nasabah dan terus kami monitor supaya kita bisa jaga kualitasnya dengan baik dan tidak terjadi surprising ke depannya," lanjutnya.
Sementara itu terkait kebijakan Otoritas Jasa Keuangan mengenai restrukturisasi kredit COVID-19 yang akan berakhir Maret 2023 mendatang, Agus menyatakan BRI telah menyiapkan soft landing strategy antara lain dengan menyediakan pencadangan yang memadai serta restrukturisasi terukur terhadap nasabah.
Adapun saat ini BRI menyiapkan dana pencadangan kredit COVID-19 mencapai Rp29,95 triliun, atau hampir 26 persen. "BRI secara bank sudah siap apabila realisasi POJK tidak diteruskan di Maret 2023," pungkasnya.