Ekonom Nilai Pelemahan Rupiah Tak Perlu Disikapi secara Berlebihan
Ilustrasi (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah Redjalam mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tidak perlu disikapi dengan ketakutan secara berlebihan.

Menurut dia, kondisi perekonomian nasional masih relatif aman, kendati rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS yang terus menguat.

"Kalau menurut saya masih relatif aman, walaupun kita mengalami tekanan rupiah. Belum menjadi sesuatu yang membahayakan perekonomian kita," kata Piter, di Jakarta, Selasa, 25 Oktober.

Piter mengatakan pelemahan nilai tukar, tidak hanya terjadi pada mata uang Indonesia, tetapi banyak negara yang mengalami. Bahkan, Inggris dan Australia juga mengalami pelemahan yang luar biasa.

"Bahkan kalau kita lihat pelemahan mereka lebih dalam, justru misal kita lihat rupiah terhadap AUD, itu kita menguat," ucapnya.

Lebih lanjut, Piter menegaskan pelemahan rupiah harus dilihat secara jernih. Sebab, ada keuntungan dan kerugian dalam penurunan nilai tukar. Pelaku ekonomi yang bertumpu pada sektor ekspor pasti diuntungkan dengan penguatan penguatan dolar AS.

"Ada pihak yang justru diuntungkan oleh kenaikan harga itu atau pelemahan rupiah. Untuk eksportir, pelemahan rupiah itu menguntungkan. Kalau importir pasti akan merasa berat," katanya.

Piter mengatakan saat ini neraca perdagangan Indonesia justru lebih banyak ekspor. Artinya banyak pihak yang merasa diuntungkan dengan penguatan dolar AS.

"Sekarang posisi kita bagaimana? Lebih banyak impor atau ekspor? Kalau kita lihat neraca perdagangan, kita lebih banyak ekspor dari pada impor," tuturnya.

Meski demikian, Piter mengatakan, ada pula pihak yang terdampak dari pelemahan tersebut yakni masyarakat kecil.

Hal itu akibatkan harga barang impor akan terkerek naik sehingga bisa memicu kenaikan inflasi. "Berarti kelompok masyarakat bawah yang terdampak. Kalau inflasi kan yang pasti terdampak adalah orang miskin," pungkasnya.

BI Harus Lebih Agresif

Sementara itu, Pengamat Pasar Uang Lukman Leong menilai Bank Indonesia (BI) kurang agresif dalam menaikkan suku bunga acuan.

Kata Lukaman, kebijakan menaikkan suku bunga dua kali sebesar 50 basis poin, terlambat dari sentimen pasar.

"BI berusaha agresif dan menurut mereka sudah agresif, dua kali kenaikan 50 bps, itu memang agresif, namun telat. Ibarat saat pasar berharap 50 bps, agresif itu dikatakan oleh BI sebagai preventif harusnya 75 bps. Jauh jika dibandingkan The Fed yang sangat agresif," ujar Lukman.

Lukman mengatakan, saat ini suku bunga acuan BI berada di angka 4.75 persen, hal ini mencerminkan BI kurang yakin dengan angka inflasi.

"BI sendiri kurang begitu yakin inflasi ke depan bisa mencapai berapa. Itu masih tanda tanya, diperkirakan Oktober saja sudah di atas 6, paling tidak 8 persen tercapai sampai akhir tahun," kata Lukman.

Lukman mengatakan, angka inflasi 8 persen harus diwaspadai karena efek inflasi spiral.

Sementara suku bunga yang tidak menarik, membuat investor keluar dari Indonesia, baik dari obligasi maupun saham.

Kondisi tersebut mendorong investor mengalihkan aset mereka ke mata uang dolar, sehingga rupiah melemah.

Ia memperkirakan rupiah bisa menyentuh angka Rp16.000 per dolar. "Yang penting, sentimen investor negatif, kalau sudah negatif, seperti sekarang investor sekarang sudah melepas semua, karena tidak menarik dengan suku bunga yang ada sekarang," katanya.

Tak hanya itu, tekanan pada mata uang dan inflasi yang kian tinggi, mesti diwaspadai pemerintah.

Menurut Lukman, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah memastikan ketersediaan bahan pangan dan mengendalikan harga dengan operasi pasar.

Diberitakan sebelumnya, pemerintah berupaya terus menjaga inflasi dengan koordinasi dan sinergi antara tim pengendalian inflasi (TPID) dan Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP). Kemudian operasi pasar juga digalakkan.

"Sehingga diimbau bagi seluruh daerah untuk meningkatkan pelaksanaan operasi pasar maupun program Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga (KPSH) berkoordinasi dengan Bulog setempat," ujar Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.