Bagikan:

JAKARTA - Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengeluarkan dua rekomendasi yang ditujukan kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan buntut kecelakaan truk Pertamina di Jalan Transyogi Cibubur, pada Juli 2022 lalu.

Pertama adalah dengan meminta Direktorat Jenderal Perhubungan Darat untuk melarang penggunaan klakson telolet untuk kendaraan besar di Indonesia.

Plt Kepala Sub Komite Investasi Lalu Lintas Angkutan Jalan KNKT, Ahmad Wildan menjelaskan, pelarangan ini disebabkan instalasi klakson telolet mengambil sumber daya tenaga pneumatic dari tabung udara sistem rem.

"Untuk sementara waktu melarang semua penggunaan klakson tambahan yang instalasinya mengambil sumber daya tenaga pneumatic dari tabung udara sistem rem, sambil merumuskan kebijakan teknis yang tepat untuk memenuhi kebutuhan klakson pada kendaraan besar di Indonesia yang memiliki karakteristik tersendiri," ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa, 18 Oktober.

Lebih jauh, ia menambahkan, berdasarkan hasil temuan dari investigasi yang dilakukan KNKT, terdapat jalur tambahan yang mengambil dari tabung angin ke klakson sehingga membuat pengisian angin menjadi tidak optimal.

"Dengan waktu normal sekitar 4-6 menit, KNKT menemukan truk tangki Pertamina itu baru bisa mengisi penuh tabung angin selama 14 menit," imbuhnya.

Sementara itu, terkait pelarangan penggunaan klakson tersebut, Wildan menyerahkan sepenuhnya keputusan tersebut kepada Kemenhub, karena regulasi kebijakan tersebut merupakan kewenangan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat.

Rekomendasi kedua yang diberikan KNKT adalah meminta Kemenhub untuk membina dan mengawasi terhadap ketentuan ini.

Baik melalui pengujian kendaraan bermotor maupun pembinaan kepada asosiasi transportasi kendaraan barang dan penumpang.

Selain kepada Kemenhub, KNKT juga memberikan rekomendasi kepada Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) untuk mengevaluasi manajemen dan rekayasa lalu lintas pada Jalan Nasional yang ada di Wilayah Jabodetabek termasuk Jalan Transyogi.

Wildan memaparkan, BPTJ diminta untuk memperhatikan aspek keselamatan di samping aspek kelancaran lalu lintas dengan membatasi akses masuk ke jalan utama dari jalan perumahan serta mengatur pembukaan median untuk berbalik arah.

"Segala bentuk alat penurun kecepatan pada jalan primer baik berbentuk speed bump maupun speed table tidak diperbolehkan dan harus segera dihilangkan karena dapat meningkatkan risiko konflik lalu lintas," bebernya.

Selain itu, ia juga meminta BPTJ untuk mengevaluasi penempatan rambu rambu lalu lintas, iklan, papan peringatan dan lainnya yang dapat membingungkan pengguna jalan serta mengevaluasi kembali keberadaan semua APILL pada jalan primer.