Menko Airlangga: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Terus Menunjukkan Tren Positif
Ilustrasi (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan pertumbuhan ekonomi menunjukkan tren positif.

Bahkan, tren ini terus berlanjut di tengah upaya menjaga momentum pemulihan ekonomi nasional.

Airlangga mengatakan, Indonesia berhasil menjaga inflasi di level 4,69 persen. Sementara negara-negara maju seperti Inggris mengalami kenaikan inflasi yang signifikan menembus 10 persen.

"Tren Inflasi berbagai negara di dunia mengalami kenaikan signifikan akibat krisis pangan dan energi. Amerika Serikat turun ke 8,3 persen, Uni Eropa 9 persen, Inggris 10 persen, dan Jerman 7,9 persen, sedangkan Indonesia di bulan Juli 2022 masih 4,69 persen," kata Airlangga, Senin, 19 September.

Kata Airlangga, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga terus menunjukkan tren positif, hal ini terlihat dari tingkat kemiskinan dan pengangguran yang menurun dan diiringi situasi sosial masyarakat yang membaik.

"Neraca perdagangan surplus 28 bulan berturut-turut dan ini menunjukkan bahwa Indonesia dalam penanganan ekonominya berada dalam jalur yang tepat. Di bulan Agustus 2022, neraca perdagangan masih surplus di 5.76 miliar dolar AS dan sektor nonmigas menjadi kunci utama," ujar Airlangga.

Ekonomi Indonesia Bisa Tumbuh di Atas 5 Persen

Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman menyampaikan dengan capaian kuartal II pada 2022, pertumbuhan ekonomi Indonesia berpeluang mencatatkan angkat di atas 5 persen.

"Kalo kami sendiri untuk 2022 masih prediksi ekonomi Indonesia tumbuh di kisaran 5,17 persen," ujarnya.

Faisal mengungkapkan, surplus perdagangan lebih besar dari perkiraan, bahkan terbesar dalam empat bulan.

Surplus perdagangan Indonesia pada 22 Agustus menjadi 5,76 miliar dolar AS meningkat dibanding periode 22 Juli yang sebesar 4,22 miliar dolar AS.

Pada delapan bulan pertama tahun ini, kata Faisal, neraca perdagangan mencatat surplus 34,92 miliar dolar AS, lebih besar dari surplus pada periode yang sama 2021 sebesar 20,71 miliar dolar AS.

"Kami masih melihat bahwa surplus perdagangan cenderung menyempit ke depan. Kami berharap impor dapat mengimbangi ekspor seiring dengan percepatan pemulihan ekonomi domestik," terangnya.

Faisal mengungkapkan, perekonomian Indonesia tumbuh lebih kuat daripada yang diperkirakan pada Semester I 2022.

Hal itu dipengaruhi aktivitas produksi dan konsumsi yang kuat.

"Ini berarti permintaan impor bahan baku dan barang modal akan lebih kuat mengikuti," ucapnya.

Faisal mencatat, neraca transaksi berjalan 2022 berpotensi mencatat surplus 0,00 hingga 0,45 persen dari PDB yang mampu menjaga cadangan devisa dan stabilitas nilai tukar rupiah.

"Selain itu, upaya pemerintah dan Bank Indonesia untuk menerapkan kembali sanksi bagi eksportir yang tidak menempatkan devisa hasil ekspor (DHE) di dalam negeri dapat semakin mendukung stabilitas tersebut," pungkasnya.

Pandangan berbada disampaikan Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Berly Martawardaya.

Ia menilai, Indonesia tidak akan masuk resesi. Namun, akan sulit untuk mempertahankan target pertumbuhan ekonomi diatas 5 persen.

"Agak berat, katakan trend positif tetapi agak sulit dipertahankan,tetapi bukan resesi ya, saya tidak bilang resesi, untuk di atas 5 lagi akan sulit. Belum kita bicara kemiskinan karena kalau bicara inflasi, biasanya meningkatkan kemiskinan," kata Berly.

Konflik geo politik antara Ukraina-Rusia diperkirakan akan terus memanas, kata Berly, hal ini memberi ketidakpastian akan harga energi.

"Geo politik ketidakpastian akan meningkat sehingga harga-harga dan Inflasi dorongan akan makin tinggi dalam enam bulan kedepan, trennya meningkat," sebut Berly.

Kemudian dampak dari harga kenaikan BBM akan terasa belakangan, mempengaruhi inflasi.

"Karena historikal, kenaikan bbm biasanya  inflasi tambahan on top antara 2-3 persen. Challenge pemerintah di lower end jangan deket tiga atau lebih dari tiga persen inflasinya. Khususnya transportasi dan sembako bisa enggan ditekan," jelasnya.

Karena itu, Berly mengatakan, tugas besar pemerintah adalah menjaga harga kebutuhan pokok dan juga transportasi.

"Kalau inflasi tinggi, maka Bank Indonesia harus ikut menaikkan suku bunga. Karena kalau inflasi tinggi nilai rupiah secara riil turun, kalau selisih terlalu jauh dengan dolar atau euro kita ada capital outflow rupiah bakal melemah, BI akan terpaksa untuk menaikkan suku bunga," jelas Berly.

Salah satu penopang perekonomian Indonesia adalah ekspor. Namun, kata Berly, pendapatan negara dari perdagangan pasti akan berkurang jika negara adidaya mengalami perlambatan.

"Kita lihat tahun ini, sumber pertumbuhan yang besar adalah ekspor, jadi kalau daya beli barat berkurang, maka ekspor berkurang dan pertumbuhan kita bisa terpengaruh," kata Berly.