Pelanggan 450 VA dan 900 VA Masih Kategori Penerima Subsidi Listrik, Ketua Banggar Minta Kemensos dan PLN Integrasikan Data
Ketua Banggar DPR Said Abdullah. (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah menegaskan, sampai saat ini para pelanggan listrik yang berdaya 450 VA dan 900 VA masih termasuk kategori rumah tangga yang mendapatkan subsidi listrik oleh pemerintah. Said mengungkapkan, hal ini perlu diluruskan sebab telah diopinikan pelanggan 900 VA tidak termasuk pelanggan listrik yang disubsidi oleh pemerintah.

Opini ini untuk menggiring agar terjadi penolakan pelanggan yang berdaya 450 VA untuk dialihkan ke 900 VA. Untuk itu Said mendorong Kemensos, BPS, PLN, dan Pemda untuk bersinergi melakukan pembaharuan dan integrasi data.

Banggar DPR mendorong BPS segera melakukan percepatan registrasi sosial.Langkah bersama ini sangat penting agar akurasi program bansos sebagai kekuatan absorber makin akurat.

“Mengingat, melalui data yang akurat kita juga bisa merumuskan kebijakan strategis lainnya seperti peralihan energi agar pilihan kebijakan teknisnya juga tepat. Upaya peralihan energi tentu tidak hanya pada sektor rumah tangga. Sektor transportasi yang menyerap 46 persen dari total konsumsi energi nasional juga harus bergerak bersama menuju berpenggerak listrik. Oleh sebab itu, saya mengapresiasi langkah nyata Presiden Joko Widodo yang menjadi pelopor penggunaan kendaraan dinas pemerintah berpenggerak listrik,” ujar Said dalam keterangan resminya, Senin 19 September.

Sementara itu untuk mendukung langkah tersebut, lanjutnya, DPR telah memberikan persetujuan anggaran kepada pemerintah melalui Penanaman Modal Negara (PMN) sebesar Rp10 triliun untuk membangun infrastruktur ke sentra produksi baik UMKM maupun industri besar untuk mendorong peningkatan permintaan terhadap listrik.

Said mengharapkan, transformasi ini mengubah beban subsidi kita dari oil heavy ke electric heavy. Sehingga subsidi solar yang konsumsinya 95 persen dinikmati rumah tangga mampu setara 1,69 juta kiloliter bisa dialihkan.

Hal ini termasuk konsumsi pertalite yang dikonsumsi rumah tangga mampu sebanyak 80 persen setara 15,89 juta kilo liter bisa direlokasi untuk subsidi terhadap listrik agar lebih efisien dan tepat sasaran. Bahkan, subsidi akan lebih efisien bila secara perlahan menggeser subsidi LPG yang 68 persen dinikmati rumah tangga mampu. Anggarannya dapat dialokasikan untuk rumah tangga miskin mengakses energi listrik untuk kebutuhan sehari hari. LPG dapat dikhususkan untuk pedagang keliling, pelaku usaha mikro dan kecil.

Ia melanjutkan, sektor industri telah menyerap 31 persen konsumsi energi nasional. "Kita juga dorong secara perlahan beralih dari BBM ke listrik agar produksi mereka lebih pasti dan resilien karena tidak terpengaruh pada faktor eksternal berupa kenaikan harga minyak dunia maupun kurs. Pada kebijakan yang sangat strategis, kita perlu peralihan energi dari berbasis minyak bumi menuju listrik sebab kita punya ketergantungan impor yang sangat besar terhadap minyak bumi. Kemampuan produksi minyak bumi kita hanya 614-650 ribu barel per hari, sementara kebutuhan kita mencapai 1,4-1,5 juta barel per hari,” tandas Said.

Said menerangkan, ketergantungan terhadap impor minyak bumi mengakibatkan Indonesia terjebak dalam posisi sulit yang sering dihadapi berulang kali seperti kenaikan harga minyak bumi dan kurs kian memojokkan Indonesia dalam posisi sulit.

APBN harus mengongkosi subsidi yang kian besar, sehingga postur APBN tidak sehat dan rentan. Bila ongkos tersebut dikurangi berakibat harga Bahan Bakar Minyak (BBM) naik dan menimbulkan beban kepada rakyat. Oleh sebab itu, Indonesia harus segera keluar dari jebakan minyak bumi.

“Kita saat ini memiliki produksi listrik di dalam negeri yang sangat besar, yang sanggup menopang kebutuhan energi kita. Inilah ihwal yang melatar belakangi agar kita segera beralih energi dari minyak bumi ke listrik. Sebagian besar pembangkit listrik kita dipenuhi dari batubara. Pasokan batubara kita sangat besar, sehingga tidak bergantung suplai impor layaknya minyak bumi. Dampaknya kekuatan energi kita lebih mandiri, sambil secara perlahan kita melepaskan diri dari batubara dan mengganti pembangkit listrik kita menggunakan Energi Baru dan Terbarukan (EBT),” pungkas Said.